Halte, Hujan & Malam

79.3K 1.9K 11
                                    

"Saya terima nikahnya Aisyah Tanjung binti Imam Syarfi Tanjung dengan mas kawin emas kawin perhiasan emas 24 karat seberat 30 gram dibayar tunai." Ucapnya dengan lancar.

"Bagaimana saksi, sah?" Tanya penghulu.

"SAH!"

"Lepas sudah kau dariku, Aisyah. Aku senang melihatmu tersenyum hari ini. Aku minta maaf tidak berusaha sama sekali untuk mempertahankanmu.. Mudah-mudahan Fauzi bisa memberikan apa yang selama ini tidak kau rasakan ketika menjadi kekasihku.. Jangan tatap aku lagi.. Itu adalah dosa bagiku dan bagimu juga. " batin Iqbal saat menatapi kedua mempelai yang sudah diresmikan hari ini...

Iqbal tidak bisa berlama-lama lagi ditempat ini karena 1 jam lagi dia akan berangkat ke Jerman, kampung halamannya untuk mengembangkan bisnis disana. Karena alasan inilah dia tidak bisa meminang Aisyah yang akan dilamar orang lain kala itu.

Tapi dia sama sekali tak menyesal. Apa dia benar-benar mencintai Aisyah selama ini atau tidak pun dia tidak tahu.
Matanya beralih ke tiket pesawat yang sedang digenggamnya.Nama Iqbal Altman tertera di kertas itu. Keputusannya sudah bulat..

***

2 tahun kemudian...

Hujan deras menjadi pelengkap gelapnya langit malam ini. Jalan-jalan mulai tergenang air karena parit tidak mampu menampung tetesan air hujan. Sudah pukul 8 malam, halte mulai sesak oleh pegawai yang baru pulang dari kantornya. Tak terkecuali Nina, dia ada ditengah-tengah kerumunan ini. Badannya yang lebih kecil membuat dirinya harus kalah untuk dapat masuk ke dalam bis dua kali.

"Hufft..." Dia menarik nafas yang terasa berat. Kerumunan orang tadi sudah tidak ada lagi, hanya dia yang tertinggal di halte ini.
Rambutnya yang tergerai bermain-main dikulit pipinya karena hembusan angin. Kepalanya tunduk hingga sepasang kekasih yang berboncengan lewat dari depan halte. Nina memperhatikan mereka, sedikit iri.
"Hahh,, seandainya aku juga seperti itu..."khayalnya.

***
Iqbal POV

"Kenapa berhenti pak?" Tanyaku pada supir taxi yang menjemputku dari bandara.

"Anu mas, taxiny mogok... Mungkin mesinnya kemasukan air.." Jawab supir itu ragu.

Aku melihat kebalik kaca mobil, tampaknya hujan masih sangat deras, aku harus naik bus sepertinya.

"Pak, ada halte disekitar sini?"

"Ada mas, 10 meter dari sini".

Setelah membayar ongkos, tanpa berfikir panjang kusambar koper pakaianku dan payung yang terselip dibelakang kursiku. Aku berlari-lari kecil menuju halte yang dimaksud supir tadi. Tapi, kenapa haltenya sepi? Hanya ada satu perempuan disana. Apa jam operasi bus sekarang dipercepat? Fikirku.

Sampai juga di halte ini. Beruntung koper ini tahan air. Tak percuma dibeli dengan bandrol yang sangat tinggi.

5 menit, 8 menit, 12 menit...
Aku bosan setengah mati menunggu bus yang belum muncul dari tadi. Sepertinya satu hari ini ada saja hal yang membuatku kesal. Aku tampak gusar, dan memang hanya aku yang gusar. Gadis kecil disampingku ini tampak tenang menatap kedepan dengan pandangan yang kosong. Apa yang dia fikirkan?

Tiba-tiba angin bertiup kencang, payung yang tersandar di samping kursi dengan keadaan terbuka diterbangkan angin. Aku terkejut, dan terpaku karena gadis tadi mengejar payung itu ditengah-tengah hujan.

Aku termangu saat dia kembali dengan nafas yang terengah-engah. Bajunya yang tipis sudah basah kuyup.

"Ini payungnya Om!!" Ujarnya sambil menggigil kedinginan.

"Terima kasih, dek!" Hanya itu yang bisa ku ucapkan. Pemandangan didepanku ini membuat jantungku tidak karuan. Tidak baik jika orang lain juga melihatnya. Ku buka jas yang ku pakai dan dengan secepat mungkin ku balutkan ke tubuhnya untuk menutupi kemejanya yang basah itu.

Dia tersentak, aku tahu itu. Sejenak dia baru sadar, dan memandangiku dengan tatapan takut, yah mungkin terlihat seperti itu.

"Tenang aja! Aku tidak tergiur dengan anak-anak." Ucapku seloroh. "Tapi, apakah seragam kerja kalian harus setipis itu? Bagaimana kalau kamu bertemu orang jahat dengan kondisi seperti ini?"

Hening, tak ada respon darinya. Dengan canggung dia kembali duduk dan menutupi dadanya dengan tasnya. Hm, sepertinya aku membuatnya takut. Mungkin lebih baik, aku duduk juga.

Angin masih berhembus kencang, jalanan pun sudah lebih sunyi.

Dari jauh terdengar suara klakson bis. Tapi gadis disampingku ini terlelap dalam mimpinya entah sejak kapan. Apa yang harus aku lakukan?

Bis sudah berhenti di depan halte. Kernet bis membantuku mengangkat koper yang kubawa, dia ramah dan masih kuat meskipun umurnya mungkin sudah setengah abad.

"Dek, bis sudah datang." Ujarku sambil menggoyang bahunya. Tapi dia masih tertidur. Badannya panas sekali. Badannya yang mungil, ku gendong dibelakang punggungku. Kakiku melangkah sedikit hati-hati saat memasuki pintu bus agar tidak tergelincir.
Ku dudukkan dia tepat disampingku. Selanjutnya, bagaimana? Aku tidak tahu dia tinggal dimana.

Bis berhenti di halte berikutnya. Aku sudah harus turun. Tapi dia belum bangun.
"Dek, dek! Bus sudah berhenti."
Dia melenguh pelan, lalu menatapku heran setelah matanya terbuka.

"Hah? Ini dimana?" Tanyanya sambil menatap keluar jendela. "Alhamdulillah, syukurlah!

Kami turun, dia berterima kasih padaku karena aku telah membayar ongkosnya ketika dia masih tidur tadi. Wajahnya yang memucat masih terlihat lucu saat tersenyum. Berapa umurnya? 16? 15? Entahlah.

"Rumah om dimana?" Tiba-tiba dia bertanya.
"Apartemen Sunset Condominium"

"Waahhh.. Apartemen mahal itu? Om pasti orang kaya. "Ujarnya blak-blakan.

"Tidak, aku hanya punya uang tabungan lebih untuk membeli apartemen itu 3 tahun yang lalu"

"Kurasa, uang tabunganku selama 10 tahun pun tak cukup untuk membelinya. Om suka merendah!"

"Rumahmu dimana dek?"

"Di gang ini." Kami berhenti tepat didepan gang yang dia maksud. "Aku duluan yah om! Tapi, jas ini???"

"Pakailah. Rumahmu masih jauh kedalam?"

Dia menggeleng. "Itu, rumah ke tiga sebelah kanan. Yang didepannya ada lampu jalan". Dia menunjuk ke rumah kecil itu.

"Kamu tinggal sendirian dek?"

"Iyah Om, Ayah lagi keluar kota. Ada pesta pernikahan di Medan. Katanya itu pernikahan anak temannya.

"Oh.. Gak takut?"

Dia menggeleng. "Udah biasa kok om.." Jawabnya sambil tersenyum. Dia berlari-lari kecil menuju rumahnya. Setelah yakin dia sampai dengan aman, q melanjutkan langkahku ke apartemen.

***

Ku rebahkan tubuhku kekasur. Hp ku bergetar. Sebuah pesan masuk langsung kubaca.

"Iqbal, besok datanglah kerumah. Papamu menunggu. Ingatkan apa yang kau janjikan? Jangan kecewakan kami."

Sial, itu sms dari mama. Aku ingat, aku kembali untuk menikah. Tapi, aku sendiripun tak mempunyai calon. Bagaimana ini?

My Bride (Finished)Where stories live. Discover now