🌱S3. Part 2

1.4K 121 8
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Universitas Jaya Bangsa, tempat Erika menimba ilmu selama tiga tahun belakangan ini

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Universitas Jaya Bangsa, tempat Erika menimba ilmu selama tiga tahun belakangan ini. Tempat yang dirindukan Erika. Tempat yang dipenuhi kenangan berharga.

Pemandangan di kampus masih sama seperti dulu. Taman-taman ditanami bunga melati. Mobil dosen terparkir rapi di depan gedung. Para mahasiswa berjalan bergerombolan ataupun bersantai di taman. Sekedar mengobrol, menyanyi, maupun membuat tugas kelompok.

Dejavu. Erika merasakan Dejavu melihat pemandangan di sekelilingnya.

"Erika!"

Teriakan seseorang menghentikan langkah Erika. Ia berbalik, menatap sosok yang memanggilnya. Siapa lagi kalau bukan Shila, teman dekatnya.

Erika menyipitkan matanya melihat penampilan berbeda Shila. Rambut panjang Shila berubah menjadi sependek bahu.

"Tungguin gue!!" Teriak Shila dari kejauhan. Padahal tanpa diucapkan pun, Erika tetap menunggu Shila mengingat mereka telah janjian ke perpustakaan.

Ketika sampai di dekat Erika, Shila refleks memukul lengan Erika. "Outline judul Lo udah selesai?"

"Kebiasaan." Erika mendumel sambil mengusap lengannya yang nyut-nyutan. Kembali melanjutkan jalannya yang tertunda, diikuti oleh Shila.

"Udah selesai belum?" Tuntut Shila. Enggan menanggapi ucapan Erika sebelumnya.

"Belum. Outline gue baru selesai satu, itupun baru kemarin selesainya."

"Syukurlah. Gue ada teman. Kita ngajuin judul di gelombang dua aja ya."

Erika mendesah pelan. "Iya lah. Gak sanggup gue buat dua outline hari ini," ujarnya mengingat pengajuan judul gelombang satu hanya sampai tanggal 11 Januari.

Shila tiba-tiba menunjuk ruangan ketua prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. "Lihat tuh! Banyak banget yang ngantri minta tanda tangan. Kalau kita ngajuin judul hari ini, pasti ngantri sampai kampus tutup." Decaknya. Disambut anggukan setuju Erika.

"Oh iya, Lo ambil bidang apa?" tanya Erika kepo.

"Linguistik atau Bahasa. Kalau Lo?"

"Rencananya sastra dan bahasa."

"Gue pusing kalau mengkaji sastra. Mending pengajaran aja sekalian."

"Lebih pusing pengajaran. Harus melakukan penelitian ke sekolah. Apalagi syarat pengajuan judulnya harus disertai bukti wawancara di sekolah."

Erika dan Shila menghela napas kompak. "Kenapa ya ngajuin judul skripsi aja ribet?" tanya Erika lesu.

Shila mengangkat bahu cuek. "Entahlah."

Mereka terus bercerita mengenai skripsi. Mengeluh dan saling menyemangati.

Kala sampai di perpustakaan, mereka langsung berpencar mencari referensi.

Setelah mendapatkan sedikit pencerahan, barulah mereka mengerjakan outline.

"Permisi, kak."

Erika mendongak. "Ya?"

"Boleh duduk di samping kakak?"

Erika mengangguk polos. "Itu aja kok nanya?" Bisiknya pelan seraya melanjutkan pembuatan latar belakang masalah penelitian.

"Kakak sedang buat skripsi ya?"

"Iya." Erika menjawab singkat.

"Wah. Sama dong. Kayaknya kita seangkatan nih. Btw gue Naufal, angkatan 20. Kalau kakak?"

Erika tersenyum paksa. "Gue Erika, angkatan 20 juga." Hatinya mendumel kesal akibat diajak berbicara di saat otaknya mendapatkan pencerahan.

"Kemarin PL dimana, Ka?"

"Duh, maaf banget nih ya. Gue mau fokus nulis outline. Jadi, bisa gak Lo berhenti ngajak gue ngobrol?"

Naufal mengusap tengkuk canggung. "Maaf, Ka."

"Dan, sekedar TMI aja, gue tuh udah nikah." Cetus Erika sambil berdiri. Memutuskan pindah ke kursi lain karena merasa tak nyaman sedangkan Naufal langsung keluar dari perpustakaan. Merasa malu telah modus ke istri orang.

"Kiw kiw, gue cepuin ke Kelvin nanti ah. Pasti dia bakal cemburu." Ledek Shila kala Erika duduk di dekatnya.

"Eh, jangan dong. Bisa ngambek dia nanti." Decak Erika. Langsung bisa membayangkan reaksi Kelvin. Meskipun mereka sudah menikah, Kelvin masih saja posesif dan cemburuan.

Namun, Erika tak merasa kesal karena tahu itulah cara Kelvin mencintainya. Itulah cara Kelvin mengekspresikan perasaan.

****

Perut Erika berbunyi. Pertanda minta diisi.

Erika melirik jam tangannya dan manggut-manggut pelan ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 16.30.

Tanpa terasa, tiga jam sudah berlalu sejak dirinya memasuki perpustakaan.

"Pulang yuk, Shil."

"Yuklah. Gue udah capek."

Erika dan Shila segera membenahi barang bawaannya. Lantas, keluar dari perpustakaan.

Erika sedikit terkejut melihat Kelvin duduk manis di depan perpustakaan. "Sejak kapan Lo di sini?"

Kelvin menyimpan ponselnya dan menghampiri Erika. "15 menit lalu, sayang."

"Kok gak masuk ke dalam perpus?"

"Gue gak tega ganggu Lo. Soalnya Lo kelihatan serius banget."

Shila berdehem pelan. "Gue duluan ya. Gak mau jadi nyamuk gue." Celetuknya sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Erika yang tertawa geli melihat tingkahnya.

Kelvin tiba-tiba menempelkan tangannya di dahi Erika. Menarik perhatian Erika. Gadis itu menatap Kelvin heran. "Kenapa?"

"Lo pusing?"

"Enggak."

"Kok wajah Lo pucat ya?"

"Masa sih wajah gue kelihatan pucat?"

Kelvin mengangguk serius. "Iya loh. Wajah lo rada pucat. Kayak orang sakit, tapi anehnya dahi Lo gak panas."

"Mungkin karena gue kelaparan."

Kelvin memijit pangkal hidungnya kesal. "Apa gue bilang tadi? Harusnya Lo makan siang dulu, baru pergi ke kampus. Bandel banget sih dibilangin."

"Hehe."

"Malah nyengir." Kelvin mencubit kesal kedua belah pipi Erika.

"Ih, sakit." Erika menepis tangan Kelvin, menangkup pipinya, dan menatap Kelvin kesal.

Erika hendak mengomeli Kelvin, tapi...

"Kak Kelvin." Seorang perempuan berpakaian hitam putih menginterupsi niatnya. "Siapa cewek ini?!" Tudingnya sambil menunjuk Erika, membuat Erika melongo kaget.

"Pin, Lo selingkuh?"

Bersambung...

1 Februari 2024

firza532

Kelvin: Possesive BoyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt