38. Ordinary Days

2K 292 90
                                    

Maaf kemarin gak up.
Aku tumbang lagi •́⁠ ⁠ ⁠‿⁠ ⁠,⁠•̀

***

Kebahagiaan bisa mudah dirasakan jika manusia pandai mensyukuri apa yang mereka miliki. Hal sederhana seperti bernapas dengan paru-paru yang sehat, berdiri dengan dua kaki yang berfungsi baik, juga saya tahan tubuh yang tak mudah tumbang bisa menjadi alasan untuk bahagia. Di atas langit masih ada langit. Tidak akan ada habisnya jika terus menengadah-yang ada keram leher. Sebaliknya, manusia harus bisa lebih peduli dengan kesulitan yang orang lain hadapi. Supaya mereka tahu, seberuntung apa dirinya saat ini.

Entahlah, Zerga tidak paham apa arti bahagia yang sebenarnya selama beberapa tahun terakhir. Semuanya tampak sama, tidak ada yang istimewa. Hari-hari yang ia lewati juga hanya hari yang biasa. Bangun pagi, berangkat ke kantor, rapat, makan siang seraya membahas pekerjaan, pulang, lalu tidur. Rutinitasnya sama. Berputar di situ-situ saja. Tidak ada hal istimewa yang membuat hidup Zerga jadi lebih berwarna.

Kegiatan berdiri di balik dinding kaca seperti saat ini pun sudah menjadi rutinitas Zerga. Dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana, sepasang netra di balik kacamata itu terus memindai pergerakan kecil di jalan raya sana. Membosankan memang, tetapi Zerga merasa harinya kurang sempurna jika kegiatan ini terlewatkan.

Kesunyian di ruangan empat puluh meter persegi itu pecah seketika terdengar ketukan pintu. Tanpa menoleh, Zerga berkata, "Masuk!"

Pintu pun terbuka, menampilkan seorang perempuan berambut panjang tergerai. "Siang, Pak. Saya mau antar beberapa berkas yang perlu Bapak tandatangani."

"Simpan saja di atas meja," interupsi Zerga, tanpa memutar badannya.

Tak! Tak! Tak! Tak! Tak! Tak! Tak! Tak! Tak!

Lelaki itu memejamkan mata sambil mengembuskan napas kasar. Demi apa pun, dia sedang tidak ingin suasana hatinya dirusak. Namun, kini sepasang stiletto merah sedang mengacaukan ketenangan di ruang kerjanya. Belum lagi dengan aroma vanilla yang menguar tajam, menjelma menjadi tombak yang menusuk hidung Zerga.

"Bapak sudah makan siang? Kalau belum, kita bisa makan siang sama-sama, Pak. Kebetulan saya bawa bekal dari rumah. Sengaja bawa dua kotak makan, untuk Pak Zerga," tutur perempuan itu lagi. Kini, dia sudah berdiri tepat di belakang Zerga.

 Kini, dia sudah berdiri tepat di belakang Zerga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu duluan saja. Saya tidak lapar," tukas lelaki itu. Nada bicaranya begitu rendah dan dingin, membuat siapa saja yang mendengar tertohok hatinya.

"Jangan dibiasakan menunda makan, Pak. Apalagi Pak Zerga punya kebiasaan melewatkan sarapan. Makan siangnya harus tepat waktu. Kalau Bapak sakit, gimana?"

Lagi, Zerga mengembuskan napas panjang. Kali ini lebih kasar. Dia berbalik dan menatap sekretarisnya itu dengan datar. "Kita masih di kantor, jangan melibatkan pembahasan pribadi. Sekecil apa pun itu, saya tidak suka."

Sweet Revenge [Tamat]Where stories live. Discover now