18. Strawberry Ice Cream

2.1K 334 69
                                    

Walaupun cukup sulit, Nina selalu berusaha untuk merelakan Alden selama sebulan ini. Dia berusaha menerima kenyataan bahwa kisah cinta mereka harus ditutup dengan pengkhianatan. Meskipun sempat ada kemarahan, Nina berusaha tidak membenci lelaki itu. Melepaskan segala sesuatu tentang Alden dengan begitu mudahnya bukan karena apa yang dilakukan lelaki itu adalah perkara kecil. Melainkan karena Nina tidak ingin terus terkungkung kesedihan.

Kendati demikian, Nina tidak pernah menyangka bahwa waktu yang dibutuhkannya relatif singkat. Dia tidak lagi merasa terbebani ketika melihat Alden datang ke kampus dengan Ruby. Mereka berpegangan tangan, saling melempar tawa, bahkan merangkul satu sama lain pun bukan sesuatu yang menyakitkan lagi. Delapan bulan yang mereka lalui bisa dilepaskan begitu saja dalam sebulan. Bahkan, Nina sudah bisa merasakan debaran menggelikan karena orang lain.

Zerga Liam Wiratama.

Lelaki itu bisa membuat dada Nina berdebar.

"Lo bisa jadikan gue sebagai rumah lo, Nin. Kapan pun lo mau ngerasain pulang, gue akan datang buat lo."

Bagaimana lembutnya nada bicara Zerga, kesungguhan yang terpancar dari kedua netranya, juga sepasang tangan hangat di pipi, masih Nina ingat dengan jelas. Zerga juga memeluknya semalam. Terus memberikan isapan lembut di punggung Nina yang bergetar karena tangisan yang tak kunjung usai. Bahkan, lelaki itu juga meninggalkan satu kantung plastik Yupi rasa cola sebelum pulang.

Makan ini bisa bikin mood lo lebih baik. Tapi jangan dimakan sekaligus juga, nanti lo batuk. Kalau lo kebangun, telepon gue.

Nina tidak menelepon lelaki itu meskipun terbangun tengah malam. Justru ia terbengong di depan setumpuk Yupi itu seraya mempertanyakan apa yang salah dengan hatinya.

"Nina Bobo!"

Gadis itu terlonjak ketika sebuah tepukan lumayan keras mendarat di bahu kanannya. Ia segera menyembunyikan sticky notes yang diambilnya dari plastik Yupi semalam ke dalam saku kardigan. Dia melempar pandangan ke seisi perpustakaan, lalu melototi tersangka yang mengejutkannya barusan.

"Gak usah ngagetin juga, Ga! Kalau aku teriak, gimana? Kamu mau jadi pusat perhatian semua orang!" desis Nina dengan rahang yang mengetat keras.

Zerga tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. "Masih lama, gak? Ayo pulang. Tadi udah janji mau ke kedai es krim deket kosan."

"Besok aja, gimana? Sekarang udah terlalu sore."

"Baru juga jam lima. Masih sempet, kok. Tutupnya jam tujuh, kan?"

"Tapi tempat makan baru buka, tuh, pasti diserbu banyak orang, Ga. Apalagi ada promo, tempatnya udah pasti penuh."

"Makanya, kita harus ke sana sekarang. Nanti malah kehabisan. Buruan, simpen bukunya! Gue mau pergi sekarang!"

Nina memutar bola matanya malas seraya menghela napas jengah. Demi apa pun, Zerga seperti anak kecil hari ini. Semenjak melihat ada kedai es krim baru di dekat indekos, lelaki itu terus saja mengoceh, mereka harus ke sana sepulang kuliah. Terhitung sudah sembilan kali dia merajuk pada Nina dengan gaya anak kecil yang keras kepala. Jika tidak melihat otot melotot di kedua tangannya, sudah pasti Nina mencubit bibir lelaki itu sejak tadi.

"Kak Zerga!"

Seperti memiliki antena, Nina bisa mendengar suara yang menyebut nama Zerga barusan. Padahal, orang itu sudah berbisik, telinga Nina bisa menangkapnya dengan sangat jelas. Kedua matanya sontak memicing ketika mendapati seorang gadis sudah duduk di samping Zerga.

"Kak Zerga, kan? Alumni SMA 23?"

"Iya," jawab Zerga dengan wajah bingungnya.

"Masih inget aku, gak, Kak? Aku April, adik kelas Kakak."

Sweet Revenge [Tamat]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz