37. New Chapter

2.2K 313 61
                                    

"Kakak!" pekik Lubis ketika Nina baru saja turun dari mobil. Gadis itu langsung berlari, lalu menggandeng tangan Nina penuh posesif. "Kok, lama banget, sih? Aku nungguin Kakak dari tadi, lho."

"Tadi agak macet pas keluar tol. Biasa, lah, musim liburan," jawab Nina seraya menarik sling bag putihnya dari jok belakang.

"Biarin dulu Kak Nina istirahat, Dek. Pasti dia capek," tukas Belva sambil membantu sang papa mengeluarkan koper dari bagasi.

Lubis tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang dihiasi gingsul. "Eh, iya. Kakak pasti capek, ya? Yuk, kita masuk rumah."

"Sebentar, bantu bawa barang-barang dulu."

"Udah, biarin aja. Itu tugas Kak Belva."

Pada akhirnya, Nina hanya bisa mengembuskan napas panjang ketika Lubis menarik tangannya untuk masuk rumah.

Sejuk tetapi menghangatkan hati, sepertinya itu yang bisa Nina gambarkan untuk suasana rumah Pak Hari. Rumah bercat cokelat muda itu hanya dibangun satu lantai. Begitu melewati gerbang, yang pertama Nina lihat adalah taman kecil yang berhiaskan bunga aneka warna. Nina harus sedikit mendesis ketika menginjakkan kaki di lantai. Sangat dingin, mungkin faktor cuaca juga.

Tidak ada banyak ornamen di ruang tamu. Hanya ada sofa cokelat, bunga krisan ungu berdiri di atas meja bundar berbahan kaca, satu lukisan abstrak, dan kipas angin yang menempel di langit-langit. Sofa untuk berkumpul keluarga menghadap Android TV berukuran 30 inch. Di ruangan yang sama terdapat meja makan bersisian dengan ambang pintu menuju dapur. Yang menarik perhatian Nina adalah salah satu dinding yang dipenuhi banyak sekali foto. Yang paling besar adalah foto saat pernikahan sang mama dengan Pak Hari.

"Ternyata foto ini beneran di pajang?" ungkap Nina seraya menunjuk foto besar di hadapannya.

Bu Reva-berdiri tepat di samping putrinya-pun mendelik. "Beneran, lah. Emang kamu pikir mama bohongin kamu?"

"Kali aja waktu itu Mama cuma basa-basi."

Pandangan Nina beralih ke foto itu lagi. Tidak sia-sia waktu itu Nina berusaha tersenyum, kesedihannya berhasil ditutupi dengan baik. Dia terlihat cukup cantik di sana. Bergeser sedikit, Nina menatap lekat wajah Zerga yang berdiri di sampingnya. Lelaki itu tersenyum tipis, membuat matanya membentuk bulan sabit. Nina ingat betul Zerga terus mengusap punggungnya saat foto itu diambil, berusaha memberikan kekuatan.

"Mama percaya, kamu pasti akan cepat sembuh di sini," ucap Bu Reva sambil merangkul bahu putrinya. Beliau ikut memandangi sosok Zerga yang sangat gagah di foto itu.

"Aku juga yakin, Ma," balas Nina sembari tersenyum tipis.

"Tapi, menurut mama, gak ada salahnya sesekali kamu hubungi Zerga. Entah sekadar kasih kabar atau menanyakan keadaan dia. Jangan benar-benar putus komunikasi."

Nina menggeleng. "Enggak, Ma. Aku takut itu hanya akan membebani Zerga. Aku mau kita fokus sama kehidupan masing-masing dulu."

"Kalau nanti Zerga malah kepincut perempuan lain, gimana? Anaknya ganteng, lho, Nak. Baik banget juga. Masa mau dilepas gitu aja?"

Ucapan sang mama sukses membuat Nina terkekeh geli. Dia geleng-geleng kepala dan berkata, "Ya ... gak apa-apa. Kalau perempuan bisa bikin Zerga bahagia, aku akan ikut seneng. Tapi kalau Zerga ternyata yang jadi jodoh aku, pasti tetap aku pemenangnya."

Sweet Revenge [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang