20. Come and Go

2.1K 334 60
                                    

Sebelum usia Nina bulat sepuluh tahun, sosok papa dalam ingatannya adalah orang yang paling romantis di dunia. Nina sering mendapatkan kejutan tidak terkira. Entah itu dijemput sekolah secara tiba-tiba, diajak berlibur tanpa perencaan sebelumnya, atau diberi barang-barang yang dia inginkan. Nina Kecil selalu bersyukur memiliki ayah yang sangat penyayang seperti sang papa. Bukan hanya padanya, beliau juga adalah sosok suami yang penuh cinta untuk istrinya.

Ketika Pak Ferdian mendapatkan jabatan sebagai dokter bedah utama, Nina dan mamanya sangat senang. Mereka merayakan momen penting itu dengan makam malam bersama di salah satu restoran ala western di daerah Thamrin. Pak Ferdian memberikan buket bunga untuk sang istri malam itu, sebagai ucapan terima kasih karena selalu mendukung pekerjaannya. Nina tak kalah bahagia setelah dibelikan sepatu kaca seperti Cinderella.

Namun, hanya beberapa bulan berselang, Pak Ferdian berubah. Beliau bukan lagi kepala rumah tangga yang mengayomi anak dan istrinya, melainkan sosok yang keras kepala, otoriter, dan tidak sungkan melayangkan pukulan ketika marah. Bu Reva harus mengenakan banyak foundation untuk menutupi lukanya. Sedangkan Nina mengenakan pakaian panjang yang membuat tubuhnya terasa pengap. Setelah empat tahun bertahan, akhirnya Bu Reva menyerah dan melepaskan diri dari suami dokter yang diagungkan banyak orang di luar sana.

Kenangan manis dengan sang papa, lenyap di ingatan Nina. Tergantikan oleh lebam, goresan luka, juga darah yang diciptakan papanya. Dia tidak pernah merasa tenang saat harus berhadapan dengan sang papa. Takut membuat kesalahan yang bisa membuat amarah beliau meledak.

Seperti sekarang. Nina tidak bisa merasa senang setelah mendapatkan pesan berisi ajakan makan siang bersama dari papanya. Dia takut pertemuan itu ditujukan untuk mengoreksi kesalahannya yang tidak disadari.

“Jika saya keluar dari Jakarta, kamu mau ikut saya atau tetap di sini?”

Pergerakan Nina—memotong steik—terhenti seketika. Dia sedikit mengangkat kepala, demi bisa mengintip ekspresi tenang papanya yang duduk di seberang meja. “Papa berencana pindah?”

Pak Ferdian berdecak, tampak tak suka ketika pertanyaannya dijawab oleh kalimat tanya. “Sepertinya begitu. Yayasan akan membangun rumah sakit baru di daerah Kalimantan. Saya yang bertanggung jawab untuk mengurus pembangunan di sana.”

Hati Nina berdenyut sakit. Baru kemarin ia melepas sang mama untuk berbahagia dengan keluarga barunya. Sekarang dia harus mendukung papanya untuk mengejar karier?

“Ini adalah peluang yang bagus untuk karier saya. Apalagi ibukota akan pindah, kesempatan ini akan sangat menguntungkan. Saya tidak perlu khawatir akan seperti apa ke depannya nanti,” lanjut Pak Ferdian. Beliau memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan melirik Nina yang masih terdiam. “Saya sengaja bicara jauh-jauh hari. Barangkali kamu mau ikut saya ke sana.”

Mau sampai kapan papa terus khawatir tentang pekerjaan dan berusaha keras untuk mengokohkan jabatan? Kapan Papa khawatir tentang aku? Kapan Papa mau peduli tentang aku? jerit Nina dalam hati. “Kuliah aku gimana?”

“Pindah.”

“Memangnya ada kampus swasta yang lebih baik dari Adiwidya di sana?”

“Itu kita cari informasinya nanti. Kalaupun tidak ada, kamu masuk perguruan tinggi mana saja, yang penting lulus. Jika perlu, mulai lagi dari awal, ambil program studi Kedokteran.”

“Kita sama-sama tahu kalau aku gak bisa masuk Fakultas Kedokteran, Pa. Otakku gak nyampe.”

Pak Ferdian berdecak keras seraya menyimpan sendok dan pisau yang dipegangnya. Beliau menatap Nina dengan tajam. “Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas otak udang kamu itu. Mama kamu yang menurunkan genetik bodoh, atau kamu yang tidak pernah bisa berusaha lebih keras lagi untuk memenuhi keinginan orang tua. Ibu dan anak sama-sama hanya bisa jadi beban!”

Sweet Revenge [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang