3. Scary People

2.6K 361 54
                                    

Papa
Kamu pulang kuliah jam berapa?
Ada yang mau saya bicarakan.

Papa
Saya tunggu di kafe depan kampus.

Tanpa sadar, Nina menggigit bibir bawahnya begitu melihat pesan yang tampil di layar ponsel. Baru saja ia merasa senang karena bisa merebahkan diri di atas kasur setelah belajar seharian, kebahagiaan itu langsung sirna. Sudah satu jam berlalu. Tidak mungkin papanya masih di kafe untuk menunggu Nina, bukan?

Gadis itu sedikit terperanjat ketika benda pipih di tangannya bergetar panjang. Papanya menelepon. Nina terdiam untuk beberapa saat. Dia ingin menolak panggilan itu dengan alasan masih ada kelas, tetapi takut akan menimbulkan masalah besar. Dengan berat hati, ia menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih kesayangannya ke daun telinga.

"Ha-halo, Pa."

"Kelas kamu belum selesai?" tanya seseorang di seberang sana. Seperti biasanya, nada bicaranya terdengar tegas dan dingin.

Nina mengedarkan pandangan ke sekitar. Otaknya perlu bekerja ekstra untuk pertanyaan sesederhana itu. Lagi-lagi, yang bercokol di kepalanya adalah ketidakmauan untuk menimbulkan masalah. Jadi, mau tidak mau, Nina harus menghadapi sang papa supaya urusan mereka segera selesai.

"Udah, kok. Baru beres," jawab Nina pada akhirnya.

"Sekarang temui saya di kafe depan Adiwidya."

"Emang Papa mau bicara tentang apa? Gak bisa lewat telepon aja?"

"Gak bisa, harus bicara langsung. Ada sesuatu yang mau saya kasih ke kamu juga. Cepat ke sini, saya harus kembali ke rumah sakit."

"Iya, Pa."

Panggilan diputus begitu saja. Nina memasukkan ponsel kembali ke tas ranselnya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Selama Nina tidak membantah perkataan sang papa, maka tidak akan ada keributan yang tercipta di hadapan umum. Tubuhnya pasti akan baik-baik saja, tidak akan terluka.

Sama halnya pada sang mama, Nina tidak bisa berpikiran positif ketika papanya minta bertemu. Dia sama sekali tidak merasa senang. Yang ada, pertanyaan-pertanyaan negatif bercokol di kepala kecilnya. Kenapa harus bertemu papa? Bagaimana jika pembicaraan mereka berujung perdebatan? Bagaimana jika tubuh Nina lebam nanti? Lelaki lima puluh tahun yang duduk di dekat jendela kafe itu, yang sebagian rambutnya sudah berwarna putih, selalu menjadi sosok yang menakutkan bagi Nina.

"Bagaimana kabar kamu?" tanya Pak Ferdian-papa Nina-ketika anak gadisnya duduk di seberang meja.

"Baik," singkat Nina. Demi kesopanan, dia pun balik bertanya, "Papa sendiri gimana? Sehat, kan?"

"Lumayan."

Sekalipun jawaban itu bisa mengandung banyak arti, Nina tidak bertanya lebih lanjut.

"Kamu mau pesan apa?" Pak Ferdian menggeser buku menu ke hadapan Nina.

Gadis itu menggeleng cepat. "Gak usah. Aku ada kelas bentar lagi, gak bakalan sempet kalau pesan makanan," dustanya. Padahal kelas Nina sudah selesai. Dia tinggal pulang.

Pak Ferdian mengangguk paham. Beliau ingat betul, mereka memang tidak pernah duduk berdua lama-lama. Kemudian, beliau mengeluarkan sesuatu dari brief case hitamnya. Benda berwarna putih itu disimpan di atas meja.

"Kamu harus datang ke pernikahan mama kamu."

Detik itu juga, dada Nina terasa nyeri. Matanya terkunci pada kertas cantik yang berhiaskan pita berwarna emas di hadapannya, undangan pernikahan sang mama. Dia sudah meninggalkan kertas itu kemarin, sang papa justru kembali mempertemukan mereka.

Sweet Revenge [Tamat]Where stories live. Discover now