10. Denial

2.1K 306 66
                                    

"Selamat pagi, Neng Pacar."

Sapaan itu langsung membelai indera pendengaran Nina ketika pintu indekosnya dibuka. Selama beberapa detik, dia hanya melongo melihat pemandangan di depan. Kemudian Nina geleng-geleng kepala seraya menatap Zerga yang tengah tersenyum lebar sambil menaikturunkan kedua alisnya. Tingkahnya sudah mirip duda pengangguran yang nongkrong di pos ronda. Genit!

Setelah mengunci pintu, Nina melangkah mendekati motor sport Zerga yang tampak kontras dengan area parkir yang lengang. "Jadi ini alasan semalem kamu nanya aku masuk jam berapa?"

Zerga tersenyum lebar. "Betul sekali! Biar bisa gue jemput."

"Harus banget berangkat bareng, nih?"

"Harus, lah. It's a couple things. Kalau jadwal kelas kita sama dan jok belakang motor gue kosong, kita harus berangkat ke kampus bareng," jawab Zerga dengan mantap. Lalu, ia menyerahkan selembar kertas pada Nina. "Nih, kontrak punya lo. Jaga baik-baik, jangan sampai ketahuan sama orang luar."

Pandangan Nina tertuju pada benda putih itu. Tidak langsung menyambarnya, dia justru mematung dalam diam.

Hidup ini memang penuh komedi. Seseorang yang menjadi sumber kebahagiaan bisa menjadi pengkhianat dalam satu malam. Orang asing yang kemarin tidak diketahui namanya bisa menjadi kawan berjuang hari ini. Hal yang tidak pernah terbayangkan harus dilakukan demi menuntaskan sakit hati. Hubungan kontrak. Lucu, bukan?

"Punya kamu juga harus disimpan di tempat yang aman," jawab Nina pada akhirnya, sambil mengambil alih kontrak itu. "Posisi kamu lebih rawan, sering ketemu sama Alden dan Ruby."

"Gak usah khawatir. Gue bukan orang yang ceroboh," timpal lelaki itu dengan penuh percaya diri. Kemudian, dia menyerahkan helm kepada Nina. "Kayak kemarin, ya, parkir di fakultas gue. Biar Alden sama Ruby bisa lihat."

"Iya, iya. Paham, kok."

Baru saja Nina hendak menerima helm itu, sebuah notifikasi di ponsel berhasil menarik perhatiannya. Dia meminta Zerga memegang helmnya lebih lama. Selang beberapa detik setelah memeriksa pesan yang baru saja diterimanya, wajah ceria Nina langsung berubah masam. Netra penuh semangatnya mendadak muram.

Mama
Papa yang nyuruh kamu buat gak dateng, kan? Jujur aja sama mama, kamu gak perlu takut. Biar nanti mama yang bicara, minta papa buat berhenti memanfaatkan kamu demi bisa mengusik kebahagiaan mama.

Tanpa sadar, Nina memejamkan matanya seraya membuang napas kasar. Dia memang mengacuhkan pesan sang mama sejak semalam, berharap beliau paham bahwa putrinya masih membutuhkan waktu untuk berpikir. Namun, Nina justru semakin disudutkan. Perseteruan kedua orang tua telah menempatkannya di posisi yang serba salah.

Seakan pesan dari mamanya tak cukup untuk menjadi sarapan pagi ini, sang papa menambahkan dengan sebuah panggilan. Selalu saja, tidak ada pilihan kecuali mengangkat telepon itu. Sekalipun keinginan untuk menghindar sangatlah besar, tetapi Nina selalu terkungkung rasa takut akan kemurkaan papanya.

"Ha-"

"Kamu belum mengiyakan permintaan mama kamu?" seloroh Pak Ferdian di seberang sana.

Nina diam. Sang papa tidak memberikan kesempatan untuknya memberikan sapaan sopan.

"Kenapa kamu keras kepala sekali, Nina? Saya sudah bilang, kamu harus tetap datang ke pernikahan mama kamu! Apa begitu sulit untuk kamu menuruti kemauan saya?"

"Ya, Pa. Permintaan Papa yang ini terlalu sulit. Papa bisa minta aku ngelakuin apa pun, pasti bakalan aku kabulkan. Tapi, untuk yang ini, aku gak bisa," balas Nina, penuh penekanan.

"Oh, sudah berani melawan kamu sekarang, ya? Kamu sudah tidak butuh uang? Sudah bisa membiayai kehidupan kamu sendiri?"

Rongga mulut Nina pahit seketika. Selalu seperti ini, papanya menyeret masalah materi ketika Nina teguh pada pendiriannya. "Aku gak berniat melawan Papa. Aku cuma mau Papa memikirkan perasaan aku. Coba pahami posisi aku. Anak mana yang bahagia melihat orang tuanya menikah lagi?"

Sweet Revenge [Tamat]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora