33. Apologize

2.2K 295 76
                                    

"Kalau ada yang mau kamu sampaikan, bicara langsung. Jangan hanya lirik-lirik saya begitu."

Nina langsung menunduk ketika papanya buka suara. Perasaan, pergerakannya sudah sangat mulus, tetapi akhirnya ketahuan juga.

Ini hari ke empat Nina berada di rumahnya, bangunan yang dulu menjadi tempat paling hangat dan penuh kasih sayang. Setiap ada kesempatan, Nina dan papanya akan duduk di meja makan untuk bersantap bersama. Beliau juga selalu mengunjungi kamar Nina terlebih dahulu sebelum istirahat selepas bekerja seharian. Walaupun tidak banyak yang dibicarakan, setidaknya hubungan Nina dan papanya jauh lebih baik saat ini.

"Papa tonjok Zerga?" Akhirnya, pertanyaan itu lolos juga dari bibir tipis Nina.

Pak Ferdian berdecih. "Iya. Kenapa? Dia ngadu sama kamu?"

"Bukan ngadu. Aku yang nanya dia."

"Oh, kalian sudah bertemu? Pintar juga anak itu, cari waktu di saat saya tidak ada di rumah." Pak Ferdian tersenyum miring, mengejek Zerga lagi.

"Papa tonjok sekeras apa, sih? Perutnya sampai biru, lho."

Saat itu juga, Pak Ferdian menghentikan kegiatan sarapannya. Beliau melirik Nina dengan wajah garang. "Kamu habis ngapain sama dia? Kenapa bisa tahu perutnya biru? Hubungan kalian sejauh apa, sampai berani buka-buka baju segala? Jawab!"

"Eh, gak gitu! Papa salah paham!" Nina mendadak panik. Kemarahan papanya masih menjadi sesuatu yang paling menakutkan di dunia ini. "Waktu Zerga ke sini, Mbok Jum kasih air hangat buat dia kompres perutnya. Aku cuma lihat sebentar, sedetik doang, abis itu langsung buang muka. Kita juga ngobrol di ruang depan. Aku sama Zerga gak macem-macem, kok. Beneran!"

Urat tegang di wajah Pak Ferdian menjadi lebih tenang. Beliau mengembuskan napas kasar seraya mengusap dada. Kemudian, lanjut menyuap nasi tanpa berniat menjawab pertanyaan Nina tadi.

Pak Ferdian bukan tipikal ayah yang bisa menunjukkan kasih sayang dengan cara yang lembut. Karakter kerasnya ini adalah hasil dari didikan kakeknya Nina yang otoriter, kejam, dan egois. Namun, tentu saja, Pak Ferdian selalu menginginkan yang terbaik untuk putri semata wayangnya. Beliau tidak ingin hal buruk menimpa Nina. Beliau juga tidak rela melihat putrinya menangis karena alasan menyakitkan. Beliau kerja banting tulang pun supaya bisa menjamin masa depan Nina.

Tentu, Pak Ferdian tidak pernah melupakan semua luka yang pernah diciptakannya di tubuh Nina saat kecil. Dahi Nina yang berdarah karena stetoskop, pipinya yang merah karena ditampar sneli, juga pahanya yang biru karena dipukul tiang infus. Pak Ferdian mengingat semuanya dengan jelas. Beliau akan membawa penyesalan di hatinya itu ke liang lahat. Hanya satu harapannya, semoga Nina tidak dipertemukan dengan lelaki tempramental seperti dirinya.

"Zerga benar-benar menyayangi kamu. Saya bisa lihat itu sebagai sesama laki-laki," cetus Pak Ferdian seketika.

Kali ini, Nina yang berhenti sejenak untuk menikmati sup ayam buatan Mbok Jum. Dia memusatkan seluruh atensi pada sang papa.

"Saya tahu, alasan kamu ingin ikut ke Kalimantan karena Zerga telah menyakiti kamu. Sekarang masalahnya sudah selesai, kan? Jadi, kamu bisa melanjutkan hidup di sini."

Nina menelan saliva susah payah. "Tapi, nanti Papa sendirian di sana."

"Itu bukan masalah bagi saya. Lagipula saya pasti sibuk. Pulang hanya untuk tidur, besoknya lanjut bekerja sampai malam. Justru jika kamu ikut, itu akan memberatkan hati saya. Kamu akan kesepian, saya tidak punya banyak waktu untuk kamu."

Rongga mulut Nina terasa pahit. Sungguh, dia bahagia mengetahui sang papa memikirkan dirinya sampai sejauh itu. Papanya tidak mau Nina kesepian. Namun, Nina juga sedih jika mereka harus berpisah. Nina belum siap jauh dari papanya.

Sweet Revenge [Tamat]Where stories live. Discover now