(b) The Twins

1.4K 296 28
                                    

Pada jam makan malam, barulah Samantha dan Janu benar-benar berhadapan. Wanita itu langsung menyodorkan tangannya pada Janu dan sudah pasti mendapatkan reaksi yang sempurna.

“Oh, ini suaminya Karleesha. Kalo dilihat langsung begini keliatannya kayak lebih dewasa dari Karleesha, ya. Padahal kata ayahmu kamu dibawahnya Karleesha.”

“Mama, nggak penting banget komentar begitu.”

Karleesha memberikan peringatan kembali pada Samantha yang sudah menghapus riasan wajahnya. Sekarang Samantha lebih terlihat wanita biasa ketimbang saat datang tadi.

“Lah kenapa? Mama cuma menyampaikan apa yang ada di pikiran. Nggak bikin kamu kesal, kan, Janu?” tanya Samantha pada sang menantu.

“Iya. Nggak masalah, Ma. Lagi pula umur nggak penting, yang penting siap menjalani rumah tangganya.”

“Hmmm. Pinter ngomong juga kamu, ya. Apa karena pengen ngambil hati mertuamu ini?”

Semakin dibiarkan, semakin aneh-aneh saja memang celotehan Samantha. Wanita itu seolah tidak pernah ingin berhenti membuat Karleesha ketar ketir di hadapan keluarga Janu.

Untungnya mereka sudah mulai fokus menyantap makan malam. Lalu, begitu ada Agus yang datang rumah menjadi lebih ramai. Karleesha bisa menebak bahwa celoteh Samantha dan Agus akan mengisi ruang makan tanpa ragu-ragu.

“Tante ini mantan penyanyi di Amerika, ya?” ucap Agus.

Samantha dengan terkejut menatap adik Janu itu. “Karleesha yang cerita ke kamu?”

“Bukan, yang cerita justru Bang Janu. Dia beberapa bulan ini kalo nggak bisa maksa nginep di sini pasti ngajak aku ketemu. Terus jadi suka cerita ngalor ngidul. Keren juga ternyata keluarga ini punya besan penyanyi. Kapan-kapan kita harus ngadain acara kumpul-kumpul sambil Tante yang jadi pengisi acaranya. Keluarga ini bakalan jadi keluarga besar, Tante. Bang Janu kayaknya juga bakalan punya banyak anak.”

“Tante udah nggak nyanyi lagi. Suami Tante yang sekarang nggak suka kalo Tante nyanyi.”

“Kenapa?”

“Katanya bisa bikin laki-laki lain kepincut kalo Tante nyanyi.”

“Lah? Nggak nemenin istrinya ke Jakarta aja boleh, masa nyanyi doang cemas. Aneh, ya, suami Tante.”

“Yang aneh itu kamu. Masih muda, kok, bibirmu itu luwes banget komenin suami orang!”

Karleesha hanya bisa menggelengkan kepala dengan kelakuan mereka berdua. Namun, juga bersyukur karena keadaan rumah menjadi ramai. Agus memang sosok yang bisa diandalkan untuk hal-hal semacam ini.

“Nu,” panggil Karleesha setelah meletakkan sendoknya.

“Kenapa?”

“Perut aku nggak enak.”

“Nggak enak kenapa? Mules? Kontraksi?” sahut Janu dengan tingkat kepanikan yang luar biasa.

Sontak saja semua orang di meja makan menjadi turut memfokuskan diri kepada pasangan yang bicara dengan pelan itu.

“Gimana? Kamu mau lahiran, Kar?” sahut Samantha.

“Kayaknya, iya. Mulesnya lebih intens dari sebelumnya.”

Terkadang memang terjadi kontraksi palsu yang membuat Karleesha juga panik. Meski berusaha untuk tetap tenang, nyatanya momen pertama akan menjadi seorang ibu tidak dapat diatasi begitu santainya.

Janu dengan sigap menggeser kursi makan. Membantu tubuh sang istri untuk berdiri dan memboyongnya menuju mobil. Samila langsung membuka kamar yang selama ini digunakan oleh menantunya dan mengambil satu tas yang sudah disiapkan jauh-jauh hari menjelang melahirkan. Untung saja Karleesha tinggal bersama Samila dan Arsaki, jadi tidak ada agenda panik dan kebingungan karena tidak memastikan seluruh kebutuhan Karleesha menjelang persalinan terpenuhi dengan baik. Bagaimana pun, Samila sudah pernah berada di posisi ini selama lima kali. Dia tahu apa yang dibutuhkan untuk menyambut cucu keduanya.

Agenda makan malam itu menjadi rusuh, Agus bingung antara tetap menyuapkan makanan ke mulut atau mengikuti para tetua yang ke sana kemari dan meminta diambilkan ini itu.

“Heh, kamu ini malah makan aja!” seru Samantha.

“Saya nyuapin makanan sambil waspada, kok, Tante.”

“Waspada apa? Ini kakak iparmu mau melahirkan, kamu bukannya bantuin malah masih duduk di situ!”

Agus melirik ibunya yang sudah siap dengan tasnya. “Bu, yang lahiran Mbak Karlee, apa aku perlu ikut antar ke rumah sakit?”

“Nggak, kamu beresin rumah. Itu semua makanan amankan. Jangan kamu biarin. Sisa makanan juga bersihin. Ibu pulang udah harus bersih. Belajar urusin rumah sendiri, kamu bentar lagi jadi suami siaga juga, Gus!”

Tidak ada yang bisa menyelamatkan Agus dari titah tersebut. Dia memang harus siap siaga di rumah untuk menjadi orang yang akan disuruh-suruh mengambil barang atau apa pun. Nasib memang sungguh asyik kepada Agus saat ini, sebab dia tidak bisa menyuruh adik-adiknya yang sedang kuliah di luar kota.

“Agus! Jangan bengong, cepetan kerjain.”  Bukan Samila yang menegur lagi, melainkan Samantha yang heboh sekali menggunakan kacamata hitam untuk menemani putrinya ke rumah sakit.

“Iya, iya. Lagian ngapain Tante pake kacamata hitam segala?”

“Ini biar nggak ada orang yang ngenalin. Siapa tahu heboh ada yang minta tanda tangan atau foto.”

Agus mengernyit sekaligus miris kepada kakak iparnya. Rupanya wanita bernama Samantha itu tidak sepenuhnya waras. Mungkin karena impiannya tidak tercapai hingga seperti ini. Yang sabar mbak Karlee. Semoga anaknya nggak niru neneknya yang bernama Samantha.

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang