(c) Propose

1.9K 401 78
                                    

[Komennya udah 60, nih. Jadi double update, nih. Komen dua bab ini lebih dari 60 bisa aku kasih triple. Yops. Happy reading😍.]

Apa katanya tadi? Memberikan kesempatan bagi Janu untuk berpikir? Memberikan kesempatan Janu untuk tetap menikah atau mencari perempuan lain untuk menjadi pendamping hidup? Janu menggelengkan kepala, semakin bingung untuk mengerti apa maunya Karleesha. Mana ada perempuan di luar sana yang menolak dinikahi padahal sudah hamil? Mana ada perempuan lain yang menyuruh ayah dari bayi mereka mencari pasangan lainnya? Karleesha Rumi ... dia waras atau nggak? Sebab Janu tidak mengerti harus melakukan apa lagi untuk mengubah pendirian tersebut.

“Bang, nih!”

Janu terkejut dengan kedatangan Agus membawa Jairo ke kebun di siang hari yang panas ini.

“Apaan, nih, Gus?”

“Ini, jagain ponakan lo. Gue ada perlu. Jadi gantian jagain Jairo.”

Janu mencegat langkah adiknya untuk pergi. “Kemana orangtuanya?”

“Bapaknya kerja, dan Nova lagi ngurusin ibu yang masuk angin di rumah. Jairo nggak bisa diem dan kemungkinan besar nggak bisa bikin Nova fokus ngurus ibu. Jadi, lo sebagai Om yang baik, jagalah anak ini sepenuh hati.”

Janu menatap Jairo yang tidak banyak bicara. Namun, ketidakberisikannya sering membawa masalah besar. Terlepas dari pengamatan sedikit saja, diamnya Jairo bisa merusak seluruh isi rumah.

“Kamu mau ikut Om Agus atau Om Janu, Ro?” tanya Agus.

“Om Janu.”

Agus menggerakan tangan seolah mendapatkan kemenangan. Kalimat yes, yes, yes! tidak bisa luntur dari bibir Agus. Merasa menang karena Jairo mendukung rencana ini dengan baik.

Selama ini Jairo bukan keponakan kesayangan Janu, juga sebaliknya. Mereka seolah membangun tembok tinggi sebagai keponakan dan paman. Sepertinya saat di dalam kandungan Nova dulu, bisik-bisik Teija direkam dengan jelas oleh Jairo. Ketika besar, Jairo tidak begitu akrab dengan Janu, seperti hubungan Janu dan Teija yang gersang, kaku, sekaligus dingin jika disatukan di tempat yang sama berdua saja.

“Udah, kan? Abang denger sendiri, anaknya pengen sama Abang. Jadi, tolong mulai mengakrabkan diri. Anggap aja lagi latihan momong anak, Bang. Siapa tahu cepet ketularan dapet momongan!”

Janu hampir melemparkan pot tanaman yang ada di sekitarnya akibat ucapan sang adik. Namun, dia mendadak ingat bayi kembar yang akan hadir di hidupnya. Tanpa momong anaknya Nova, aku udah bakalan jadi ayah sebentar lagi. Namun, dia tidak bisa mengatakan hal itu sekarang. Ketidakpastian hubungannya dengan Karleesha menjadi hal utama yang menghalangi niatan Janu mengatakan pada semua orang.

Begitu Agus sudah tak terlihat lagi, Janu menatap Jairo yang mendongak menunggu sang paman. Dalam kondisi diawasi begini Jairo memang terkesan menurut. Namun, diberi kebebasan tanpa pengawasan sedikit, Jairo akan berubah menjadi monster kecil.

“Kenapa kamu nggak mau sama Om Agus?” tanya Janu.

“Om Agus berisik,” jawab Jairo.

“Tapi Om juga nggak suka ada anak kecil di tempat kerja.”

“Ini kebun kakek, bukan tempat kerja. Tempat kerja itu kayak punya papi aku.”

Janu berdecak mendapati balasan cerdas Jairo. Anak itu bahkan belum sekolah, tapi ucapannya sangat kritis. Bagaimana jika nanti dia mendapatkan pendidikan dari sekolah? Bisa tambah mengesalkan saja si Jairo ini.

“Nggak semua orang kerja kayak papi kamu. Tempat kerja orang nggak cuma kantor. Ada yang kerja jadi petani di sawah, tukang bersih-bersih rumah, nelayan di laut, dan di sini Om kerja sebagai pemilik kebun. Kakek udah punya kebun lain di Bandung, di sini tempat Om kerja. Paham?”

Jairo mengangguk tanpa membalas apa pun. Janu akhirnya berjalan masuk ke ruangan istirahatnya. Saat menoleh, Jairo tidak ada di belakangnya.

“Anak itu!” gerutu Janu.

Mau tak mau Janu kembali ke tempat Jairo berada, dan benar, anak itu masih berdiri di sana diam saja.

“Jairo! Ngapain kamu berdiri di situ? Ikut Om!” seru Janu.

Diberikan perintah begitu, barulah Jairo mengikuti instruksi sang paman. Jairo mengikuti pamannya dan Janu mulai paham bahwa Jairo tidak akan bergerak jika tidak diberitahu. Anak itu tertib, tapi entah bagaimana bisa luar biasa jika ada ibu dan papinya. Mungkin karena Jairo sadar, yang menghadapinya saat ini adalah paman yang tidak sebegitu sayang padanya. Makanya tidak mau berulah.

“Kamu udah makan?” tanya Janu.

“Belum.”

“Kamu mau makan apa?”

“Hokben.”

Janu mengernyit, anak kecil sudah paham dengan makanan cepat saji. Untuk yang satu ini Janu agak kesal pada pengasuhan Nova.

“Oke, sekali ini aja. Lain kali kamu nggak boleh pesen makanan cepat saji terus.”

“Hokben sehat, Om. Ada dagingnya, sayurnya, sama nasi. Bubu bilang itu mencakup nutrisi aku. Yang nggak sehat itu burger, pizza, sama chicken yang dikasih bumbu-bumbu cabe itu.”

Janu termenung dengan balasan Jairo. Namun, dia tidak mau terkalahkan oleh pendapat anak kecil di hadapannya.

“Bubu kamu salah. Yang paling sehat adalah makanan rumah. Makanan yang dimasak sendiri. Hokben tetap makanan cepat saji. Nggak bagus dikonsumsi terlalu sering. Nanti, kamu harus bilang ke Bubu kamu soal ini. Paham?”

Jairo mengejapkan matanya beberapa kali sebelum mengangguk.

Janu membuka ponselnya, bersiap memesan makanan yang Jairo inginkan.

“Nasinya dua, Om.” Jairo berkata.

“Iya, dua. Untuk Om dan kamu—”

“Bukan, bukan! Dua buat aku. Kalo satu, aku nggak kenyang.”

Janu semakin tak percaya dengan apa yang dirinya dapati ini. Namun, Janu tidak ingin memperlama waktu. Dia memesankan dua bento special, dan paket promo yang lebih murah. Tidak peduli paket promo tersebut ada dua, yang terpenting lebih murah dibanding menu untuk Jairo si monster kecil pemakan segala.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now