(a) Sidak

1.8K 390 57
                                    

[Yuhuuuu! Komen di bab sebelumnya udah mencapai 70an, yey! Nih, double update ya. Jangan lupa baca extra part 3 The Baby's Contract—Nova dan Teija, soalnya ada clue untuk menghadapi bab Sidak ini, loh,🙈]

Janu tidak bisa tenang di rumah orangtuanya. Mengantarkan Jairo ke rumah awalnya tidak membuatnya ingin tetap di sana. Janu ingin segera ke apartemen Karleesha, menemani perempuan itu di sana. Namun, ini hari pertama ayah dan ibunya kembali dari Bandung. Rasanya tidak etis meninggalkan rumah dengan alasan menginap di rumah teman lagi. Apalagi Nova beserta keluarga kecilnya menginap di rumah, makin tidak ada alasan lagi bagi Janu bisa keluar rumah.

Namun, dia pria dewasa. Tahu mana yang baik dan benar untuk dirinya sendiri. Kenapa orang rumah harus sibuk menghalangi Janu untuk keluar? Iya, harusnya nggak apa-apa.

Janu keluar dari kamarnya setelah wangi dan bersih. Tak lupa dia membawa beberapa helai pakaian dalam tote bag, supaya memiliki pakaian ganti di apartemen Karleesha. Padahal memang Janu sudah menumpuk pakaiannya di tempat tinggal Karleesha, lama-lama isi lemari Janu semakin berkurang karena dipindahkan ke tempat Karleesha.

Langkah Janu begitu pelan. Orang rumah pastinya sudah istirahat, karena lampu ruang tengah yang sudah dipadamkan. Janu tidak akan mengganggu siapa pun jadi dia membawa kunci cadangan rumah sendiri, supaya bisa keluar masuk tanpa membangunkan anggota keluarga. 

“Janu?”

Pria itu menoleh, memastikan siapa yang memanggilnya.

“Eh, Bu. Belum tidur?”

“Udah tidur. Ibu mau ambil minum. Kamu ngapain? Mau ke mana?”

“Mau nginep di rumah temen.”

Kening Samila berkerut. “Lagi? Emangnya temen kamu nggak bisa tidur sendiri? Atau kamu yang nggak bisa tidur di rumah sendiri?”

Janu memang harus siap mendapati interogasi semacam ini dari ibunya. Wajar jika Samila ingin tahu apa yang dilakukan anaknya diluaran sana. Meskipun sudah dewasa, Janu tetaplah anak yang dicemaskan oleh orangtuanya.

“Iya.”

“Iya? Iya apa?” tuntut Samila.

“Iya, temenku nggak bisa sendirian. Dia nggak ada keluarga. Aku nggak mau dia kenapa-napa kalo sendirian. Ibu pasti paham kalo seseorang nggak pernah diawasi keluarganya, kan? Rasanya nggak tenang kalo aku setega itu biarin temenku struggle sendirian.”

“Separah itu temenmu? Harus banget kamu temani? Sebenernya dia cowok atau cewek, sih, Nu? Ibu nggak pernah tahu kamu nginep—”

Drrrttt drrrttt

Ponsel Janu yang bergetar menginterupsi ucapan Samila. Wanita itu tidak bisa mengatakan apa pun lagi karena setelahnya Janu sibuk bicara di telepon dan hanya menyalami dengan singkat pada Samila.

“ ... iya, ini mau ke sana,” balas Janu di telepon. “Bu, aku berangkat dulu, assalamualaikum.”

Janu segera menuju mobil dan mendapati ibunya yang mengintip dari balik jendela. Rasa menyesal hinggap di hati Janu, tapi dia juga belum tahu harus mengatakan kejujuran dari mana. Apalagi Karleesha tidak mau menikah dengan Janu.

“Maafin Janu, Bu.”

***

“Aku kirain kamu nggak ke sini, makanya aku telepon kamu.”

Janu mendapati kalimat tersebut begitu dibukakan pintu oleh Karleesha. Perempuan itu sudah menggunakan gaun tidur panjang tanpa lengan yang membuat perutnya menonjol indah. Janu baru kali ini memuji penampilan perempuan yang hamil, mungkin karena dia membayangkan anak-anaknya lah yang berada di perut Karleesha.

“Aku nggak bisa nggak ke sini.”

“Tapi wajar, sih, Nu kalo kamu nggak ke sini. Orangtua kamu baru balik dari Bandung, loh. Pasti mereka pengen anak-anaknya kumpul. Sebenernya aku nggak masalah kalo kamu nggak nginep. Aku bisa video call sama kamu, kok. Kita bisa sleep call bahkan, biar kayak pasangan kekasih yang bucin. Eh, tapi kamu, kan nggak bucin sama aku. Ya, pokoknya apa pun itu! Kita bisa komunikasi tanpa harus ketemuan. Lagian tadi siang aku udah ketemu kamu, anak-anak juga nggak rewel malem ini. Kamu harusnya bisa tenang, Nu.”

Mendengar ucapan Karleesha yang panjang membuat Janu tidak betah berdiri di sana. Dia memilih menggiring ibu dari anaknya itu untuk masuk ke kamar.

“Kamu harus banyak istirahat. Maaf karena harus bangunin kamu jam segini.”

Karleesha manut ketika tubuhnya diposisikan untuk tidur di ranjang. Namun, hal itu tidak menghentikan ocehannya.

“Itu bisa jadi alasan yang kuat nggak, sih, buat aku kasih tahu kode apartemen aku ke kamu, Nu?”

“Nggak juga nggak apa.”

Karleesha menyipitkan matanya, menimbang keputusan. “Pertama, kamu bukan orang terdekat aku—eits, jangan marah dulu! Maksudku, kamu bukan keluargaku, bukan kekasih aku, bukan juga suami. Jadi, aku nggak punya alasan yang kuat untuk sembarangan kasih kode apartemen ke kamu.”

“Aku ayah dari anak-anak yang kamu kandung. Dan sebenarnya, kalo kamu mau menikah denganku, aku bisa jadi orang terdekat kamu, suami kamu.”

Janu tidak suka dengan pernyataan Karleesha bahwa pria itu bukan orang terdekat. Padahal, Janu sudah mengambil tempat sebagai ayah dari anak-anak Karleesha. Mereka hanya belum meresmikan hubungan saja. Itu pun karena kerumitan pikiran Karleesha sendiri.

“Hehehe, jangan marah gitu, dong! Aku nggak bermaksud gantung kamu, kok. Aku cuma mau kamu punya waktu yang cukup untuk berpikir. Januar Saki, aku pasti akan langsung mengiyakan ajakan kamu menikah kalo nggak ada pengalaman nggak menyenangkan yang pernah terjadi. Aku juga nggak akan peduli soal perasaan kamu cinta atau nggak ke aku, tapi aku punya pertimbangan sendiri. Jangan marah-marah lagi, oke? Sini aku cium biar sabarnya makin banyak!”

Janu mengelak, tak mau jika ciuman tersebut malah membuat Karleesha tidak bisa istirahat lebih cepat.

“Tidur. Kamu jangan bujuk aku pake ciuman segala.”

“Ih, yaudah kalo jual mahal! Bye!

Wrong Turn, Embryo!Onde histórias criam vida. Descubra agora