(b) Ingatan

1.4K 310 13
                                    

Sebenarnya masih segar dalam ingatan Karleesha bagaimana pertemuannya dengan Nataka yang diyakini sebagai permulaan pinangan, niatan menuju serius, malah berakhir menjadi pertemuan yang terakhir kalinya dan tidak benar-benar diakhiri dengan sikap yang baik.

Terakhir kalinya, Karleesha salah menyimpulkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Nataka. Pria yang dikira akan memberikannya mahligai rumah tangga malah membebani Karleesha untuk mengambil keputusan berpisah. Astaga, mereka bahkan menjalani usia pacaran yang tidak sedikit. Apa bisa dengan mudahnya diputuskan begitu saja dengan kata, "Aku minta maaf sebelumnya, Kar. Aku menodai hubungan kita dengan satu kesalahan besar."

Pria itu menunjukkan gestur yang jelas sekali membuat Karleesha mampu menebak apa yang terjadi. Masalah yang terjadi. Tidak ada kabar baik yang akan diberikan pada Karleesha. Kabar buruk sudah terpatri di ekspresi Nataka. Bahkan ucapan maaf yang memberikan arti bahwa ada kesalahan besar yang mungkin tidak termaafkan adalah indikasi fatal.

"Menodai dalam bentuk apa? Kesalahan besar apa? Kamu nggak pernah pandai basa basi, tapi kenapa sekarang pakai minta maaf dan kata-kata yang aku nggak sukai itu?"

"Kamu tahu aku mencintai kamu, Kar. Begitu besar, tapi aku mungkin mengacaukan kepercayaan kamu atas rasa cinta yang aku punya."

"Taka, langsung pada intinya aja!"

Sebab semakin ditunda, semakin diperpanjang, bukan semakin sopan layaknya mahasiswa mengatakan izin pada dosennya, tapi malah semakin membuat Karleesha tidak tenang.

"Aku ... menghamili seseorang."

Karleesha tidak tahu harus melakukan apa. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia duduk mematung, berusaha mencerna, tapi tidak berhasil mendapatkan pembenaran atas apa yang terjadi. Situasi mereka salah. Apa yang dilakukan Nataka salah. Bahkan respon Karleesha saat itu juga dianggap salah karena langsung meninggalkan tempat setelah berdiam diri cukup lama.

Namun, diamnya Karleesha saat ini tidak untuk kabur dari tatapan semua orang yang sudah begitu siap menikahkannya dengan Janu. Iya, Karleesha duduk di samping Janu, menunggu pria itu menyelesaikan kalimat ijab hingga selesai. Dadanya berdegup kencang, meski kelegaan setelahnya datang karena akhirnya ada legalitas dalam hubungannya dan Janu.

Karleesha tidak tahu apa yang didiskusikan oleh pak Arsaki. Sepertinya membahas mengenai keinginannya untuk menikahkan kembali anaknya setelah Karleesha melahirkan. Untuk hal semacam itu, Karleesha tidaklah memahaminya. Dia patuh saja mengikuti aturan yang pak Arsaki buat. Bagaimana pun, Karleesha sekarang sudah sepenuhnya menganggap pak Arsaki sebagai ayahnya sendiri, keluarganya. Jadi, aturan yang pria itu terapkan akan tetap Karleesha iyakan. Termasuk aturan untuk memisahkan Karleesha dan Janu hingga bayi mereka lahir.

"Janu, kamu sudah janji sama ayah untuk mengikuti semua aturan yang ada. Kamu masuk ke mobil adikmu, Nova. Kamu tinggal di sana sampai anakmu lahir."

Janu sendiri sudah melakukan perlawanan sejak awal, tapi Arsaki tidak bisa dilawan. Ada hal yang benar di dalam keputusan Arsaki itu. Meski rasanya aneh memisahkan suami dan istri, tapi begini memang lebih baik. Janu bisa menggunakan jarak ini supaya memikirkan banyak hal, supaya kapok bertindak sembarangan juga ke depannya. Namun, yang lebih membuat Karleesha tidak mau membantah adalah beban berat yang sudah ditanggung pak Arsaki dan istrinya. Tetangga mereka sudah pasti berkasak kusuk mengenai keberadaan Karleesha yang hamil besar. Sudah banyak urat malu yang sengaja diputus oleh pak Arsaki dan istri. Jadi, Karleesha tak mau membantah lebih jauh lagi.

"Mbak Karlee —"

"Ayah, panggil Karlee aja." Karleesha lebih dulu menukas supaya kebiasaan memanggil mbak Karlee berhenti dari Pak Arsaki.

"Oh, iya. Ya Allah, lupa kalo kamu sekarang sudah jadi bagian keluarga ini. Iya, iya. Karlee, masuk ke mobil Ayah. Biarin Janu ikut sama adiknya."

Karleesha mengangguk dan lebih dulu membalikkan tubuh, meski terasa tangannya berniat digapai oleh Janu, dia tidak bisa mengacaukan perintah mertuanya.

Dari kursi penumpang, Karleesha menurunkan jendela mobil. "Jaga diri baik-baik, Nu. Jangan nakal, anakmu nanti lahir langsung dua."

Karleesha memang sengaja untuk menggoda suaminya itu. Namun, balasan Janu cukup telak. "Aku nggak boleh sentuh kamu makanya dipisahin, kalo ketemu jelas boleh. Asal ketemu di siang bolong dan nggak ajak kamu ke tempat tidur."

Pipi Karleesha bersemu saat Janu membahas mengenai ‘ranjang’. Malu karena ada mertuanya yang mendengar ucapan dari mulut Janu.

Arsaki sengaja menaikkan jendela mobil dan menguncinya. Membuat Janu memandang sebal. Setelah itu mereka benar-benar meninggalkan Janu yang terlihat ogah-ogahan memasuki mobil Nova dan Teija.

"Anak itu selalu jadi sosok pendiam di rumah. Kami beneran merasa nggak mengenal dengan baik anak sendiri. Menghamili seorang perempuan nggak masuk dalam pikiran kami. Karena Janu yang dulu selalu kerja remot dari rumah. Keluar pun cuma untuk cari suasana baru untuk mengurus pekerjaannya," Arsaki mulai bicara.

"Sepertinya memang Janu pribadi yang tertutup ke keluarga karena dia biasa mendengarkan dan menyelesaikan masalah adik-adiknya, Ayah. Aku aja kaget dengan sosoknya yang manja."

Samila menggelengkan kepalanya sendiri. "Nggak mudah membesarkan lima anak. Mungkin ini teguran juga buat Ibu dan Ayah, mungkin kami memang belum sebaik itu mengurus anak."

Karleesha menggeleng tidak setuju. "Ibu dan Ayah jauh lebih baik. Di luar sana ada yang anak satu aja nggak bisa diurus dengan baik. Ini lima anak diurusin sampai bahkan setelah nikahan secara aturan agama. Aku merasa bahagia karena bisa masuk dan jadi anggota keluarga ini, Bu. Tolong ajarin aku untuk jadi Ibu yang baik sampai mampu mengurus lima anak, Bu."

"Nak Karlee terlalu lembut dan baik. Sepertinya Janu memanfaatkan kebaikan Nak Karlee. Maafin anak Ibu itu, ya. Semoga setelah anak kalian lahir dan akad ulang, kebahagiaan dan keberkahan selalu menaungi keluarga."

Karleesha tersenyum dan mengamini. Dia senang karena mendapatkan doa yang baik dari orangtua yang menjadi nenek dan kakek dari anak-anaknya.

Anak-anak, inilah kelebihan keluarga papa kalian. Mereka suka mendoakan hal baik ke anak dan cucu. Semoga kalian bisa mendapatkan doa terbaik mereka juga. Mama senang memiliki keluarga baru ini, kalian juga harus bahagia.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now