(b) Ikatan

1.5K 313 23
                                    

Janu memiliki tugas untuk mengumpulkan dokumen Karleesha dan dirinya sendiri untuk segera mengurusnya di KUA. Tidak peduli pandangan orang-orang di sana nantinya seperti apa, yang terpenting adalah resminya pernikahan mereka. Kasus seperti terbilang ada tapi juga jarang. Kebanyakan hamil di luar nikah dengan kondisi perut yang belum terlalu besar, yang masih bisa disembunyikan dari orang lain dan akan ketahuan setelah menikah dan tak lama melahirkan. Sedangkan kasus Karleesha terbilang sangat langka, menunjukkan kehamilannya yang besar dan menikah terlambat.

Kasus Janu dan Karleesha ini sudah menjadi bahan gunjingan tetangga. Keluar masuknya Karleesha ke lingkungan perumahan mereka menjadi pertanyaan besar. Namun, tidak ada yang berani untuk bertanya langsung. Untung saja ibu Janu memang bukan tipikal yang suka berkumpul dengan tetangga dan membagi aib bersama. Beruntungnya lagi, besan orangtuanya yang tinggal di depan mereka juga tak terlalu peduli dengan masalah Janu. Orangtua Teija hanya peduli pada cucunya sendiri.

“Kalo berat bagi kamu buat menghubungi keluarga, aku akan coba bilang sama ayah dan ibu buat nggak nuntut kamu terlalu jauh.”

Karleesha langsung menggeleng tegas. “Aku udah niat untuk mengambil pilihan menikah ini. Artinya aku juga harus siap untuk menghubungi keluarga dan meminta pendapat serta restu mereka.”

Janu menghela napas dibalik kemudinya. Mobil Karleesha ini kendaraan yang hampir tidak pernah digunakan semenjak perempuan itu hamil, karena Janu yang selalu berusaha untuk antar jemput, atau Karleesha akan memesan kendaraan online. Baru kali ini mobil tersebut keluar, dan yang mengejutkan digunakan untuk ke rumah orangtua Janu. Sudah banyak hal yang membuat Janu kesal, tapi dia tidak mau membiarkan dirinya meluapkan kekesalan. Sebab Karleesha juga sedang sama pusingnya.

“Aku nggak mau memberatkan kamu. Semua ini udah bikin kamu pusing, dan mendengar cerita mengenai kondisi orangtua kamu tadi, kayaknya nggak akan mudah untuk dihubungi.”

“Benar. Memang nggak mudah buat menghubungi mereka. Mama dengan keluarga barunya yang udah sibuk sendiri. Papa yang sibuk dengan kehidupan bebasnya. Aku nggak berharap harus susah payah menghubungi mereka.”

Janu baru kali ini merasa dirinya begitu bodoh. Dia pernah berhubungan dengan seorang wanita, melakukan seks, tapi entah kenapa yang diberikan kehamilan justru Karleesha. Perempuan yang hanya satu malam menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya hamil. Mengapa dengan perempuan yang diinginkannya, tidak terjadi kehamilan itu? Kenapa bersama Karleesha semuanya malah terjadi?

Setelah menyadari betapa sulitnya meresmikan hubungan dengan Karleesha, pria itu menjadi mempertanyakan sendiri semua takdir ini. Karleesha yang tidak terlihat ingin menikah, tapi Janu terus merongrong dengan ajakan menikah. Ajakan Janu tidak berhasil, malah bujukan keluarga pria itu yang dipertimbangkan.

“Kenapa kamu akhirnya mau menikah? Apa yang Nova katakan waktu ketemu sama kamu?” tanya Janu.

“Dia nggak bilang apa-apa. Dia cuma bilang kalo disuruh Ibu buat bujuk aku supaya berubah pikiran. Dia sebenernya merasa alasan aku benar. Menikah tanpa perasaan yang saling mencinta memang sulit. Dia paham bahwa aku menikah nggak untuk berpisah. Nova sama sekali nggak memaksa aku, dia hanya menyampaikan kekhawatiran ibu kalian mengenai cucunya yang nantinya lahir di luar pernikahan. Kesulitan mengenai dokumen lahir dan semacamnya.”

“Jadi kamu berubah pikiran karena semua kesulitan yang akan dihadapi anak-anak kalo kita nggak menikah, kan? Alasan yang membuat kamu mau menikah kembali lagi soal anak.”

Janu mendapati Karleesha yang menatapnya dengan cepat. Ada ekspresi lelah yang perempuan itu tunjukkan.

“Salah,” ucap Karleesha.

“Salah? Apanya yang salah?” balas Janu.

“Aku mengubah keputusan karena aku ingin merasakan memiliki keluarga. Ibu dan ayah kamu menerima anak-anakku, menerimaku. Aku nggak mempedulikan kamu mau jadi keluargaku atau nggak, Nu. Aku memikirkan betapa baiknya orangtua kamu, aku mendambakan orangtua sebaik mereka. Nggak harus sempurna, tapi bisa menerimaku sebagai keluarga. Yang mau mengajakku masuk ke dalamnya, bukan yang membiarkan aku di dalam keluarga tapi sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku ingin aku dan anak-anakku punya keluarga, Januar.”

Janu merasakan ada bagian di dadanya yang menciut sekaligus nyeri. Dalam ucapan yang Karleesha sampaikan, bagian perempuan itu tidak mempedulikan apakah Janu mau menjadi keluarga bagi Karleesha atau tidak, itu sungguh menyesakkan. Apa keraguan Janu begitu terlihat jelas? Tidak, tidak. Janu tidak ragu untuk membangun keluarga bersama Karleesha. Yang membuat Janu ragu adalah bisa atau tidak ya perasaan cinta itu tumbuh. Masalahnya, Janu pernah mencintai begitu dalam, memberikan segalanya tapi berakhir ditinggalkan. Janu sekarang ragu, apakah dia harus memberikan perasaan yang penuh? Karena dia sedang menginginkan perasaan yang biasa saja agar tak kembali terluka secara berlebihan.

“Aku rasa memang kamu nggak pernah memikirkan aku untuk masuk ke dalam hidup kamu, Arl.”

“Memangnya kamu pernah menunjukkan keinginan itu? Seingetku kita melakukan seks pertama kali juga karena patah hati yang kamu rasakan. Aku adalah tempat bercerita yang membuat kamu nyaman. Seingetku juga kita agak mabuk makanya kamu mau melakukannya. Kalo kamu sepenuhnya sadar, mungkin nggak akan ada kejadian begini.”

Urat di kepala Janu kini tercetak jelas di dahi. Kemarahan naik ke ubun-ubun karena ucapan Karleesha yang seolah menuding Janu tidak menginginkan seks jika tidak mabuk. Juga kesan bahwa Karleesha akan baik-baik saja jika tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan ini terjadi.

“Ucapan kamu terlalu kasar kamu tahu? Seolah aku sebegitu sampahnya sampai nggak pantas untuk jadi pendamping kamu kalo nggak terpaksa.”

Karleesha mendengkus keras. “Yang ada juga kamu yang anggap aku nggak begitu penting kalo nggak ada anak-anak ini. Kalo kamu memang memikirkan untuk jadi pasanganku, nggak perlu nunggu aku ketahuan hamil. Seharusnya sehabis kejadian itu, kamu cari aku buat membicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan!”

“Sekarang kamu bilang begini? Padahal setelah yang terjadi aku udah mau tanggung jawab! Kamu yang mendorong aku pergi!”

“Karena aku tahu kamu cuma panik waktu itu! Aku kasih kamu waktu buat mikir, dan memang kamu nggak benar-benar niat buat tanggung jawab karena berhenti untuk cari aku!”

Janu memarkirkan mobil tersebut di pinggir jalan. Kemarahan menguasainya dan dia tidak bisa meneruskan perjalanan jika dalam kondisi marah seperti ini.

“Kenapa malah berhenti? Harusnya kamu jalan, aku nggak mau di sini! Aku mau cepet sampe rumah!”

“Aku nggak mau kita dalam bahaya dengan nyetir dalam kondisi marah!” balas Janu keras.

Karleesha terlihat menahan tangisannya. Perempuan itu terdiam dan menggunakan ponselnya untuk membuka aplikasi kendaraan online.

“Apa yang kamu lakukan? Aku nggak izinin kamu pergi pake ojol.”

“Aku nggak butuh izin kamu. Karena kamu bahkan belum jadi suamiku!”

Bahaya. Ini bahaya. Mereka akan terus saling menyerang dengan kalimat yang menyakiti satu sama lain. Apa ini yang namanya ujian sebelum pernikahan?

Wrong Turn, Embryo!Kde žijí příběhy. Začni objevovat