(a) Ingatan

1.5K 297 17
                                    

Karleesha tidak lagi menginginkan masa dimana dia harus mengenang kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan. Sangking tidak menyenangkannya, dia bahkan menjadi sangat sensitif bila ada yang membahas mengenai kehamilan dan pernikahan. Butuh waktu lebih dari lima tahun bagi Karleesha untuk bisa lebih ikhlas menerima apa yang terjadi. Termasuk ingatan mengenai hubungannya dan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sebenarnya yang membuat Karleesha sensitif adalah bagian dimana dia, pihak yang menjadi korban, malah dipaksa untuk menjadi pelaku.

Kematian pria yang sudah menjadi mantan kekasihnya itu menambah luka dalam hidup Karleesha. Sudah menabur luka pengkhianatan, lalu ditimpa lagi dengan luka asal tuduh yang istri Nataka lontarkan. Bagaimana bisa seorang perempuan yang sudah kompak mengkhianati seorang wanita lainnya menuduh dengan mudahnya begitu sang pelaku malah bunuh diri.

"Kamu! Karena kamu suami saya jadi lupa apa yang harusnya menjadi tanggung jawabnya. Dia terlalu memikirkan perempuan yang tidak bisa memaafkannya! Dia bingung dan berakhir melukai dirinya sendiri!"

Bagaimana bisa dengan mudahnya itu terlontar tanpa tahu malu? Jika saja suasana di sana bukan disebut rumah duka, maka Karleesha akan mendebat perempuan itu dengan kalimat tajam. Namun, demi menghargai mendiang yang berpulang dan demi kedamaian semua pihak, Karleesha memilih untuk diam dan menelan sakit hatinya yang mendalam. Bahkan setelah kamu menikah perempuan ini, kamu bisa menyebabkan masalah dalam hidupku lagi, Nat.

Karleesha tidak tahu kapan tepatnya dia menyimpan rasa bersalah juga. Padahal seingatnya, dia membenci apa yang terjadi dalam hidupnya yang diakibatkan oleh Nataka. Diam-diam ada perasaan takut untuk mengenal sosok laki-laki baru. Diam-diam ada perasaan cemas jika dia kembali diselingkuhi. Diam-diam dia memberikan penilaian negatif pada pada dirinya sendiri, karena takut disalahkan lagi dalam berbagai masalah menyoal cinta.

Mengenal Janu, dia menyukai pria itu sejak awal melihat parasnya. Janu termasuk dalam tipenya. Karleesha tidak akan berbohong pada poin tersebut. Namun, dia juga tidak bisa memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk bisa dekat dengan pria itu. Ketika takdir membawanya untuk mengandung anak Janu, keinginan untuk memberitahukannya lenyap. Memikirkan skenario yang pernah terjadi dalam hidup Nataka. Bisa saja Janu depresi karena adanya kehamilan yang tidak diinginkan. Bisa saja Janu menyalahkan Karleesha karena membuat pria itu terpaksa menjadi seorang ayah. Untuk itulah Karleesha menganggap keputusannya tepat.

"Nggak! Itu nggak tepat sama sekali!" ucap Janu yang sedari tadi mendengarkan cerita Karleesha.

"Nggak tepat apanya?" balas Karleesha.

"Nggak tepat kalo kamu menempatkan aku seperti mantan kekasih kamu. Aku bukan, siapa namanya tadi?"

"Nataka—"

"Iya, itu! Aku bukan dia. Aku nggak ada pikiran sejauh itu. Depresi dan bunuh diri. Apalagi aku melakukan hubungan intim dengan kamu secara sadar."

Karleesha menghela napasnya dan memutar bola mata bosan. "Kita nggak sepenuhnya sadar waktu itu."

"Ya, maksudku mau sama mau."

"Kamu berarti selama ini nggak masuk sama penjelasan aku, ya? Aku pernah bahas ini sama adik kamu, tapi kamu nggak perhatiin, ya?"

"Bukan nggak perhatiin, aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu nggak pernah cerita yang versi lengkap, karena sibuk memberikan penolakan ke aku. Gimana aku bisa mikirin itu? Sekarang karena kamu udah mau membuka jalan untuk kita berdua, aku bisa fokus dengerin cerita masa lalu kamu dan kasih opini yang sesuai. Aku bukan orang yang pandai memikirkan banyak hal dalam satu waktu, Arl. Aku selalu fokus ke satu hal setelah hal lain selesai."

Salah satu kelemahan lagi yang dimiliki Janu setelah suka mengambil jarak dan waktu, pria itu tidak bisa memfokuskan diri pada banyak hal. Sebenarnya itu bukan masalah yang pelik, Karleesha memahami sifat Janu. Dia tahu bahwa jarak dan waktu juga dibutuhkan untuk beberapa kesempatan supaya tidak meledak disaat tidak tepat.

"Aku paham, kok. Aku tahu semua kelemahan kamu."

"Iya, aku tahu kamu memahamiku dengan baik. Untuk itu aku suka membagi cerita sama kamu. Itu sebabnya aku juga nggak ragu untuk menikah sama kamu. Yang aku tawarkan sejak pagi itu, aku serius dan aku yakin, Arl. Aku nggak perlu banyak ngomong ke kamu, tapi kamu bikin aku mau banyak ngomong dengan cara kamu."

Karleesha menekan bibir Janu, membuatnya maju hingga perempuan itu tertawa sendiri melihatnya.

"Itu yang harus kamu perbaiki. Jangan irit ngomong. You have to talk, jangan kayak perempuan yang apa-apa mau dimengerti. Kamu jangan menyaingi posisi aku, loh. Aku perempuan di sini, aku kalo marah cuma dua pilihan: ngamuk kayak banteng, atau diem kayak koala. Kamu mau aku ngamuk kayak banteng? Karena sejauh ini aku selalu kasih kamu sikap sesantai koala."

Janu mengambil tangan Karleesha dan melepaskannya dari bibir pria itu. "Kamu bisa? Aku nggak melakukan kesalahan fatal, kenapa kamu harus ngamuk banteng?"

"Oke. Berarti sepakat, jangan pernah bikin kesalahan fatal. Karena aku mungkin akan mengeluarkan jenis emosi yang nggak pernah aku sadari."

Janu mengangguk, memupus jarak dan mencium pipi Karleesha. "Bisa kita tidur di ranjang yang sama dengan pelukan hangat untuk si kembar?"

Satu lagi sifat Janu yang hanya ditunjukkan pada Karleesha: manja. Pria ini, Karleesha tidak akan membiarkan jika dia berani manja kepada perempuan lain.

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang