(a) Ikatan

1.5K 316 17
                                    

[Ihhhh, kalian nggak kangen apa, ya sama Janu dan Karlee? Kenapa komennya aku tungguin nggak nyampe-nyampe 🥲? Ya, udahlah. Aku update ini. Ayo, semangat komennya lagi, yuk! Oh, iya. Boleh banget mampir ke extra part nya cerita Nova dan Teija, ada cuplikan rempongnya hukuman yang Janu dapet, loh🤭]

Janu tahu dia diabaikan oleh keluarganya sendiri. Saat dirinya diminta pulang, dia sudah melihat Karleesha duduk dengan santai di ruang keluarga dan diperlakukan lebih manusiawi ketimbang Janu yang notabene adalah anak kandung di dalam rumah itu. Kemarin Janu baru saja kelimpungan memastikan keadaan Karleesha baik-baik saja, lalu hari ini dia menemukan perempuan itu berkumpul bersama keluarga Janu.

“Nah, itu biang onarnya udah dateng. Kita bisa bicarakan sekarang, Yah.”

Samila tidak pernah memberi label pada anaknya dengan sebutan ‘biang onar’ sebelumnya. Namun, kini dia mendapatkan sebutan itu tanpa persiapan untuk mendengar panggilan tersebut.

“Duduk kamu! Ngapain berdiri di sana aja. Cepetan kita bahas pernikahan kalian,” ucap Arsaki.

Janu tidak bisa berhenti terkejut karena Karleesha tidak tampak tertekan dengan pertemuan hari ini. Sebenarnya apa yang perempuan itu persiapkan? Baru kemarin dia mengatakan segala hal untuk mengetuk kepala Janu dengan penjelasan rumitnya yang tak mau menikah. Lalu, hari ini Karleesha duduk sembari menimpali beberapa obrolan kecil yang Samila layangkan. Kenapa orangtua Janu terlihat lebih menyayangi dan mengenal Karleesha ketimbang putranya sendiri?

“Kamu kemarin baru bilang ke aku kenapa kamu nggak mau menikah denganku. Kamu menuntut aku dengan alasan yang kurang kuat kalo menikah karena anak. Kamu nggak mau anak kita dibebani dengan—”

“Kamu mau bahas itu sekarang? Disaat mbak Karlee bahkan sudah mau mengubah keputusannya untuk menikahi kamu, Janu?” potong Samila. “Jangan buat perempuan yang sedang mengandung anakmu berubah pikiran lagi. Emosi ibu hamil itu naik turunnya nggak terduga. Sekarang kita bahas mengenai rencana pernikahan kalian.”

Janu tidak memiliki pilihan selain menuruti ucapan ibunya. Meski dia masih terus mengamati wajah Karleesha yang tidak terusik dengan tatapan lurus dari Janu. Perempuan seperti Karleesha tidak pernah bisa Janu mengerti. Keputusannya tidak pernah bisa Janu tebak.

“Mbak Karlee, saya sebagai orangtua Janu merasa malu karena kelakuan putra saya. Dari awal saya kenalkan mengenai Mbak Karlee dia nggak respon, tapi giliran saya biarkan mengurus kebun di sini, malah tahu-tahu membuat Mbak Karlee hamil. Maafkan kelakuan putra saya, ya.”

Janu mendesah kesal karena ucapan Arsaki. Pria itu tampaknya bersikap baik karena Karleesha adalah langganan yang tidak boleh pergi begitu saja. Sikap Arsaki tidak seperti menghadapi calon menantu yang hamil di luar nikah. Hanya Janu yang kesannya salah di sini.

“Saya juga salah, Pak Arsaki. Saya bersikap begitu murahan untuk menarik perhatian Janu. Kalau mau disalahkan, saya juga memiliki andil besar. Saya seolah sengaja tidak melakukan proteksi, padahal besar kemungkinan kehamilan terjadi. Tapi saya merasa senang karena bisa hamil, jadi saya nggak bisa merasa menyesal untuk bagian ini. Sejujurnya saya memang mendambakan keluarga kecil saya sendiri. Tadinya saya nggak masalah kalau harus mengurus anak-anak sendiri. Sayangnya takdir membuat Janu tahu mengenai kehamilan saya—”

“Sayangnya? Kenapa kesannya kamu nggak rela kalo aku tahu soal kehamilan kamu?” tukas Janu.

Karleesha hanya melirik, tidak membalas ucapan pria itu. Janu merasa kesal dengan sikap Karleesha ini, tapi dia juga merasa lega karena akhirnya Karleesha menyerah juga dengan keputusan tidak mau menikah itu.

“Semua orang pasti melakukan kesalahan, Mbak Karlee. Makanya saya nggak ingin ada kesalahan lain dengan membiarkan cucu saya terlantar. Saya jadikan pengalaman ini pelajaran untuk mengawasi anak-anak saya yang lain. Dan saya harap tidak perlu ada hal salah lain untuk dilanjutkan diantara Mbak Karlee dan Janu.”

Janu di sana benar-benar hanya menjadi pendengar saja. Sebab yang lebih banyak bicara adalah sang ayah dan Karleesha. Mendengarkan semua pembicaraan itu membuat Janu mengetahui bahwa Karleesha tidak memiliki keluarga yang bisa diandalkan.

“Saya nggak bisa membawa ayah kandung saya ke sini untuk menjadi wali saya, Pak Arsaki. Beliau tinggal di Amerika, dan keyakinan yang dianut sudah berubah. Saya rasa wali hakim adalah jalan terbaik.”

Arsaki yang mendengarnya terdiam sejenak. Pastilah kebingungan dengan situasi ini. Kondisi keluarga Karleesha terlalu rumit.

“Keluarga ayah Mbak Karlee yang laki-laki juga nggak bisa, ya?”

Karleesha menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Ayah saya memang non Islam tadinya, masuk Islam hanya untuk menikah dengan ibu saya. Ketika mereka berpisah, ayah saya kembali ke agamanya semula. Keluarga ayah saya nggak memiliki hubungan yang baik dengan keluarga ibu saya, jadi kondisinya memang tidak baik-baik saja.”

Janu menyadari bahwa mungkin bagian itulah yang membuat Karleesha mundur untuk menuntut pernikahan sejak awal. Kondisi keluarganya berbeda. Orang lain pasti akan kebingungan lebih dari Arsaki jika menanyakan asal usul keluarga Karleesha. Entah kenapa bagian ini membuat Janu lega. Sebab setidaknya ayahnya sudah mengenal dengan baik Karleesha lebih dulu, meski tidak tahu kondisi keluarga perempuan itu.

“Oke, kita akan gunakan wali hakim. Sekarang bagaimana dengan keluarga dari ibu Mbak Karlee? Apa bisa datang?”

“Saya akan berusaha menghubungi ibu saya. Beliau tinggal di Surabaya bersama keluarganya. Saya akan coba meminta pengertian supaya ibu diizinkan untuk hadir di pernikahan saya. Tapi kalau nggak berhasil, saya mohon pengertian Pak Arsaki dan keluarga. Sebab beginilah keadaan saya, keluarga saya. Meskipun saya terlihat sukses, saya nggak mengenal keluarga saya dengan baik. Mohon maaf kalau saya seperti calon pengantin dengan bibit yang nggak jelas.”

Janu tidak bisa berdiam diri, dia menggenggam tangan Karleesha saat mendengar kalimat yang pesimis itu. Karleesha bukan perempuan pesimis, tapi saat membahas keluarganya, dia terdengar sangat tidak berdaya.

“Ayah, Ibu. Kami akan tetap menikah, ada atau nggak ada keluarga Karleesha. Toh yang nantinya menjalani pernikahan juga kami. Kalo orangtua Karleesha nggak bersedia datang, biarkan aja begitu.”

Arsaki berdecak pada ucapan Janu itu. “Walaupun keluarganya Mbak Karlee nggak datang nantinya. Mereka harus tetap tahu dan memberikan restu. Paling nggak kita harus mendengarnya sendiri dari telepon. Bisa, kan, Mbak Karlee menghubungi keluarga?”

Karleesha mengangguk, tapi Janu tahu perempuan itu sebenarnya tidak begitu yakin. Disaat seperti ini, Janu menjadi cemas bahwa bukan Karleesha yang tak siap menikah. Namun, keluarga perempuan itu yang tak siap mendengar kabar pernikahan ini.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now