(d) Ingatan

1.4K 295 19
                                    

“Kamu udah disuruh Ayah pulang,” ucap Karleesha.

Janu memeluk pinggang istrinya dan menyandarkan kepala di bahu perempuan itu. Di ruang keluarga, dimana biasanya anggota keluarga Janu menonton televisi bersama, keduanya duduk di karpet bawah menyandarkan bahu di kaki sofa.

“Kamu kalo duduk di bawah begini, berdirinya susah nggak?” tanya Janu mengalihkan pertanyaan.

Karleesha berdecak dengan respon yang suaminya lakukan. Janu tidak bersedia pergi, makanya berlama-lama di sini.

“Jangan ngalihin topik pembicaraan, Janu. Kamu udah disuruh pulang sama Ayah.”

“Ini aku udah pulang, ini rumahku.”

“Iya, aku tahu ini rumah kamu. Maksudnya Ayah kamu disuruh—”

Ucapan Karleesha dihentikan dengan Janu yang meraih dagu perempuan itu. Meminta sang istri untuk sepenuhnya menatap Janu.

“Bukan masalah rumah ini. Maksudku adalah aku udah pulang. Kamu tempatku pulang mulai sekarang. Dimana pun kamu ada, itu rumahku pulang. Paham?”

Karleesha menahan tawa di bibirnya, posisi wajah mereka begitu dekat hingga Karleesha lebih dulu melebarkan jarak dengan suaminya itu barulah tertawa. Meski tidak terbahak-bahak, tapi Janu tidak mau ditertawakan oleh ibu dari anak-anaknya.

“Aku nggak lagi melucu, Arl. Kenapa kamu ketawa, sih?” tegur Janu.

“Ya, aku ketawa karena kamu lucu. Baru kali ini kamu bisa bicara sweet begini. Aneh juga dengerin kamu ngegombal, tapi seru juga dapet kata-kata manis dari kamu.”

Janu memajukan wajahnya, berusaha untuk mendapatkan jatah cium dari perempuan itu. Namun, Karleesha mengelak dan membuat bibir Janu berakhir mencium pipi Karleesha saja. Karleesha ingin terus menguji pria itu. Bukan hanya Arsaki yang ingin memberikan batasan, Karleesha juga ingin melihat seberapa jauh Janu mampu berusaha untuk perempuan itu.

“Aku nggak pantes ngegombal?” tanya Janu.

“Hm, jawaban jujur... iya. Kamu nggak pantes gombal sama sekali. Mungkin karena aku sebelumnya udah tahu tipe gombal yang menawan hati, jadi dengan kamu agak aneh aja dengernya.”

Punggung Janu langsung tegak begitu ucapan Karleesha terdengar membahas masa lalunya. Dari ekspresi wajahnya, Janu tidak begitu saja menerima perbandingan yang istrinya sampaikan.

“Masa lalu kamu bisa kasih gombalan yang menawan hati? Emangnya yang menawan hati itu seperti apa?”

Karleesha memajukan wajahnya seakan sedang meneliti sesuatu. “Kamu cemburu?” ucap perempuan itu.

“Jawab dulu yang tadi. Gombalan menawan hati itu yang kayak gimana?”

“Ya, yang bisa bikin hati seorang perempuan bergetar. Balik lagi, mungkin karena pembawaannya lebih pandai bicara, makanya pantes ngerayu. Beda sama kamu. Kamu itu ngerayunya memang pantes dilakukan dengan gerakan.”

Karleesha merasa bangga karena dia mampu untuk mempengaruhi suaminya itu untuk melupakan pembahasan mengenai masa lalu yang perempuan itu punya.

“Gerakan apa?” balas Janu yang mengikis jarak mereka berdua.

Karleesha tersenyum saat suaminya merapatkan diri. Mau tak mau Karleesha mengalungkan lengannya pada leher pria itu.

“Kayak gini,” ucap Karleesha sebelum menerima ciuman Janu.

Mereka berdua memang memiliki keterikatan secara fisik yang cukup kuat. Karleesha tidak memerlukan kata-kata romantis, dia membutuhkan kehadiran pria itu. Meski memang untuk ungkapan kata cinta memang senantiasa dinantikan oleh Karleesha. Ungkapan kata cinta jelas berbeda dengan ungkapan kata romantis lainnya. Tak perlu bicara ngalor ngidul mengenai rasa cinta, yang perlu dikatakan Janu adalah aku menikahi kamu karena aku mencintai kamu. Sudah. Tapi itu keinginan yang sulit untuk didapatkan Karleesha. Jadi, ya, sudah. Biarkan saja hubungannya dan Janu seperti ini. Kuat dengan komitmen bersama. Yang terpenting juga Karleesha diterima keluarga pria itu dengan baik.

Ehem!”

Dengan cepat Karleesha dan Janu memisahkan diri. Mereka terkejut dengan suara Arsaki yang berat dan pertanda mereka terus diawasi.

“Kenapa kamu belum pergi? Ayah udah ngantuk, Nu. Kamu jangan macem-macem, ya. Ayah beneran akan tungguin kalo kamu masih di sini aja.”

Karleesha mendapati Janu berkesah karena teguran ayahnya. Saat itulah Karleesha mengecek baju tidurnya yang memang agak naik akibat ulah tangan Janu. Dasar pria dan nafsunya!

“Ini mau keluar, Yah. Pamitan dulu sama istri dan anak.”

Arsaki bersedekap, lalu memperbolehkan. “Iya, cepat pamitannya. Ayah tungguin di sini.”

“Ayah beneran mau lihat? Aku pamitan—”

“Cepetan pamitan seadanya, nggak pake cium-cium! Jangan bikin Ayah kesal dan seret kamu keluar.”

Karleesha tersenyum melihat Janu yang tidak bisa membalas ucapan ayahnya. Segera Janu mencium pipi Karleesha dan perut perempuan itu.

“Papa tidur di tempat lain. Kalian jangan kangen. Sebentar lagi, begitu kalian lahir, kita tidur bareng-bareng. Jangan sedih, ya.”

“Yang sedih itu kamu, bukan istri dan anakmu. Udah sana, tidur ke tempat Nova. Jangan nginep hotel, Ayah tahu kamu tukang ngirit. Simpen uangnya buat lahiran dan beli rumah buat keluargamu.”

Setelah Janu secara terpaksa pergi, Karleesha masuk ke kamar Janu. Arsaki juga langsung mengunci rumah dan mematikan lampu sebelum benar-benar tidur. Karleesha mengamati isi kamar itu dan mencoba mencari hal yang mungkin bisa ditemukannya mengenai masa lalu Janu. Namun, tidak ada apa pun di kamar pria itu.

“Papa kalian sepertinya memang bukan orang yang ribet,” ucap Karleesha sembari menyentuh perutnya.

“Dia nggak nyimpen apa pun barang kenangan. Tapi kenapa dia patah hati banget waktu itu, ya? Gimana bisa Papa kalian patah hati tapi nggak punya kenangan apa pun soal mantannya?”

Karleesha memang bertanya-tanya, tapi yang paling penting adalah percaya bahwa Janu memang bukan pria yang suka menyimpan barang perempuan yang sudah menjadi masa lalunya. Semoga saja ini merupakan pertanda yang baik.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now