(a) Propose

2.6K 462 72
                                    

[Yuk, ah, mulai pake target. Komen 50 dan vote nya, ya. Aku update berdasarkan antusias kalian😉. Komennya yang seru, yes. Jangan next, next, next terus. Aku suka bacain komen kalian buat memotivasi ide baru muncul gitu loh. Happy reading!]

Tidak mudah bagi Janu membujuk Karleesha untuk menikah. Perempuan itu terlalu keras meneguhkan prinsip yang tidak Janu pahami sama sekali. Ini bukan lagi tentang diri perempuan itu sendiri! Demi apa pun, Janu jelas memikirkan kondisi perempuan itu dan bayi di dalam kandungannya, yang adalah bagian yang dimiliki Janu juga. Iya, itu anakku.

Melihat ukuran perut Karleesha untuk yang pertama kali sudah sebesar itu, ada rasa janggal jika kandungannya berusia sekitar empat bulan. Namun, setelah perempuan itu mengonfirmasi bahwa bayi yang dikandungnya kembar, Janu bisa mengerti. Janu mulai mengenyahkan pikiran bahwa Karleesha sudah bersama pria lain sebelum Janu. Pikiran macam apa itu, Nu?! Jelas-jelas Janu adalah pria yang mengambil keperawanan Karleesha.

Kini, sudah berjalan enam bulan dan Karleesha masih saja keras kepala. Tadinya hampir setiap hari Janu tidak fokus ketika pulang ke rumah orangtuanya, karena tidak bisa memastikan kondisi Karleesha. Akhirnya muncul kebiasaan menginap di rumah teman sebagai alasan Janu pada orangtuanya. Iya, Janu belum mengatakan pada ayah dan ibunya mengenai kehamilan Karleesha Dia sudah siap mendapatkan kemarahan dari orangtuanya, tapi Karleesha mungkin tidak siap dengan respon tersebut.

“Hari ini nggak kemana-mana, Arl?” tanya Janu.

Panggilan pria itu berubah, dari Kar menjadi Arl. Begitu saja Janu mengubahnya, merasa lebih dekat dan intim ketika panggilannya diubah.

“Nggak. Aku udah minta Yora buat kirim laporan website dan segala macam ke sini.”

Karleesha tinggal di apartemen, sendiri. Yang Janu tahu, perempuan itu memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Ibu Karleesha sudah menikah lagi, sedangkan ayahnya tinggal di luar negeri—seorang bule kebangsaan Amerika. Tidak heran jika gen bule perempuan itu cukup kencang, meski begitu wajah Asianya juga mempermanis penampilan Karleesha.

“Kamu mau sarapan apa?” tanya Janu yang bergabung  duduk di sofa.

“Kamu. Boleh?”

Ucapan itu tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata saja. Karleesha mengecupi leher Janu, mengusap dada pria itu. Janu tidak melarang, justru membiarkan tubuhnya digerayangi oleh Karleesha. Ini salah satu efek kehamilan perempuan itu. Lebih sering horny, tapi jika Janu membalas gerakan itu lebih semangat maka gairah Karleesha akan langsung turun bahkan hilang. Aneh, kan? Anak-anak mereka seolah mendukung Karleesha untuk menjadi dominan, padahal pengalaman perempuan itu sangat minim.

“Kamu serius?” tanya Janu, berusaha mengepalkan tangan supaya tidak menekan pinggul Karleesha yang naik ke pangkuannya.

“Kenapa? Kamu mau pulang dulu, ya? Eh, nggak us—”

Kali ini Janu tidak bisa menahan reflek gerakan tangannya. Tak mau jika Karleesha membatalkan niatannya.

No, aku nggak pulang. Nanti aku langsung ke kebun.”

Janu merasa beruntung karena Karleesha tidak mengacau dengan gairahnya kali ini. Perempuan itu kembali melingkarkan lengannya pada Janu, mencium pria itu lebih dulu meski perut buncit Karleesha agak memberi jarak.

“Nyaman?” tanya Janu.

Pria itu memastikan lebih dulu kenyamanan Karleesha saat bercinta. Seperti saat ini, Janu memastikan posisi mereka tidak membuat Karleesha kesulitan bergerak.

“Hmm.” Karleesha mengangguk di bahu Janu.

“Kamu atau aku yang bergerak?”

“Kamu,” jawab Karleesha lirih.

Janu menggerakan dirinya secara perlahan, tidak mau terlalu semangat karena Karleesha tak suka dengan ritme buru-buru selama bercinta di kehamilan ini. Perempuan itu mengatakan bahwa ritme perlahan seperti ini mampu membuatnya lebih rileks, sekaligus mampu merasakan dengan detail penyatuan tubuh mereka.

Desahan yang keluar dari mulut Karleesha memberi asupan kebanggaan pada diri Janu. Apalagi ketika napas Karleesha semakin terengah dan mendapatkan pelepasan pertamanya. Janu suka kepanikan Karleesha datang ketika merasa tak sanggup mempertahankan keanggunannya saat mendapatkan pelepasan. Janu juga menyukai Karleesha yang meminta dipeluk kuat ketika pria itu bergerak semakin liar menuju klimaks mereka.

“Januar ... uhm!”

Jam delapan pagi, dan dengan gilanya mereka menghabiskan tenaga bahkan sebelum mengonsumsi sarapan. Tubuh mereka berkeringat, dengan pakaian yang tak sepenuhnya terlepas semua. Janu mengusap keringat Karleesha, mengecup pipi dan kening perempuan yang masih mengatur napasnya untuk kembali normal.

I don't believe it, aku seperti mengambil keuntungan dari kamu setiap saatnya, tanpa mau bertanggung jawab. Kamu tahu itu?” ucap Janu.

“Nggak, Nu. Aku tahu kamu pria yang baik. Aku yang mau, bukan kamu yang sengaja mengambil kesempatan.”

Janu menghidu aroma tubuh Karleesha. Pelukannya mengerat ketika mengatakan, “Menikah denganku, Arl.”

Janu bisa merasakan tubuh Karleesha menegang. Namun, tidak berapa lama perempuan itu kembali tenang.

“Hei, hei. It's okay. Aku nggak sedang meminta tanggung jawab kamu. Ini hanya ... about my virginity. Don't think about it too much.

“Ini bukan soal keperawanan kamu aja, Arl. I want you, I want ‘them’ in my life.”

“Kamu tetap ayah mereka, Nu. Nggak ada yang akan menggantikan kamu. Tenang, oke?”

Selain karena Janu tahu rasanya melepaskan virginitas tanpa mampu memiliki tidaklah menyenangkan, dia juga tidak bisa membayangkan anak-anaknya memanggil pria lain sebagai ‘papa’ atau ‘daddy’ atau apa pun itu ketika nantinya Karleesha memutuskan menerima pria lain dalam hidupnya. Janu tidak ingin kehilangan lagi. Setidaknya kali ini ada alasan kuat yang Janu punya untuk mempertahankan Karleesha, anak-anak mereka.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now