(c) Sidak

1.6K 370 90
                                    

[Oy, oy, oy! Mana, nih, komennya? Masa bab kemaren nggak ada 60? Nggak tembus targetnya😭 aku yang tadinya mau semangat jadi nggak semangat taukk. Udah baca duluan di extra part 3 The Baby's Contract? Nah, ini versi yang Janu. Dramanya babang Janu memang agak lebih beratttt. Pegangan yang kuat, yes🤭]

Janu tahu dia hanya memperlama waktu dengan menghabiskan makan paginya bersama Karleesha. Diam-diam dia memikirkan apa yang harus dilakukan untuk situasi yang datang. Tidak bisa gegabah, sebab kondisi Karleesha yang sedang berbadan dua.

“Janu?” panggil Karleesha.

“Sudah siap?” tanya pria itu sembari membukakan pintu mobil.

Are you okay, Nu?”

Janu menatap Karleesha sejenak. “Harusnya itu yang aku tanyakan ke kamu. Apa kamu baik-baik saja dengan apa yang akan terjadi?”

“Aku udah menyiapkan diri sejak awal, hanya menunggu waktu semua ini akan terjadi, kok. Aku nggak punya ekspektasi apa pun, selain kemarahan yang akan keluarga kamu tunjukkan. Aku bisa paham kalo pak Arsaki bakalan menilai aku berbeda kali ini.”

Disaat mengatakan semua itu, Karleesha masih bisa tertawa. Janu tidak paham dengan alur pikiran perempuan itu. Bagaimana bisa tertawa memikirkan semua skenario terburuk?

Janu akhirnya hanya bisa mengangguk. Siap tidak siap, semua ini harus dihadapi. Melihat sikap Karleesha, perempuan itu mungkin lebih dari siap. Dibawa datang ke rumah orangtua Janu dengan perut yang besar, ini sudah seperti ingin melakukan bungee jumping tanpa persiapan apa pun alias melompat ke jurang.

Janu merasa perjalanan ini agak lebih panjang ketimbang seperti biasanya ketika dia pulang ke rumah. Rasanya tidak tenang, tidak menyenangkan, dan tidak ... tidak ada persiapan. Kepalanya berputar di sana terus menerus. Telepon ayahnya hari ini sudah pasti dadakan, Janu saja tidak memikirkan apa-apa. Tahu-tahu saja ditelepon, dibentak, disuruh pulang, dan diminta membawa perempuan yang tidak ayahnya sebutkan namanya.

Begitu memarkirkan mobil di tempat biasa, pintu rumah langsung dibuka. Ada Samila dan Arsaki yang sudah siap menunggu. Janu tidak bisa bohong, dentum jantungnya lebih cepat dari biasanya. Ada adrenaline yang terpacu, tapi bukan untuk menaklukkan permainan ekstrem, melainkan menghadapi orangtua yang sudah menunjukkan kekecewaan mereka begitu Janu membukakan pintu untuk Karleesha yang perutnya menyembul besar.

“Astaghfirullah! Ayah ...”

Janu bisa mendengar kalimat memohon ampunan pada Yang Maha Kuasa dari bibir ibunya. Janu tetap memastikan Karleesha memijak lantai dengan benar.

“Assalamualaikum, Yah, Bu.”

Salam itu tetap dijawab. Janu bahkan masih sempat mencium punggung tangan orangtuanya, begitu pula Karleesha. Begitu sudah di dalam rumah, suasana menegang seketika. Janu tidak melihat keberadaan adik-adiknya. Berempat, berhadapan dengan ayah dan ibunya, Janu merasa seperti Nova dan Teija kedua.

“Jelaskan!” todong ayahnya begitu saja.

Meski berhubungan baik dengan Karleesha, kemarahan Arsaki kali ini tidak bisa ditahan.

“Jadi, kalian punya hubungan apa?! Kamu menghamili istri orang begitu, Janu?!” tambah ayah Janu.

“Pak Arsaki, saya belum menikah dengan siapa pun.”

Karleesha dengan cepat menjelaskan statusnya yang masih lajang.

“Januar! Kenapa kamu nggak ngomong apa pun?! Kamu mau berlindung dibalik seorang perempuan?! Sepengecut itulah kamu?!”

Janu menatap ayahnya lurus. Dia mengumpulkan ketenangan dan akhirnya bisa mendapatkannya.

“Kami—aku dan Karleesha melakukan hal yang tidak sepantasnya kami lakukan sebelum pernikahan. Satu kali, kami menghabiskan malam bersama. Aku berniat bertanggung jawab, mengantarkan niatan menikahinya. Tapi Karleesha menolak. Empat bulan setelah itu, aku tahu Karleesha hamil. Bukan dari dia sendiri, melainkan kecurigaan berdasarkan kegiatannya yang terus digantikan anak buahnya. Selama dua bulan belakangan, aku nggak bisa menahan diri untuk selalu datang ke tempat tinggalnya untuk menetapkan hubungan. Mengajak Karleesha menikah, tapi tidak ada bujukanku yang berhasil. Dan di sini, akhirnya ayah panggil aku.”

Arsaki memejamkan mata, tampak menahan gejolak amarah.

“Jangan menumpuk dosa lagi. Kalian harus menikah!” ucap Arsaki dengan tegas.

“Aku juga nggak keberatan menikah, tapi Karleesha nggak menginginkan demikian.”

Janu tahu, ucapannya ini kesannya menyalahkan Karleesha sendiri. Namun, memang itu yang terjadi. Karleesha tidak  menghendaki pernikahan selama kehamilan, entah untuk alasan apa.

“Alasan tidak masuk akal apa yang sedang kalian lakukan?! Ayah nggak mau anak yang tidak bersalah nggak punya data-data yang resmi hanya karena keegoisan orangtuanya!

“Saya memang yang tidak mau menikah, Pak Arsaki—”

Janu terkejut ketika Karleesha tidak mampu melanjutkan ucapan akibat ayah pria itu memukul meja kaca hingga hancur.

“Ayah!” seru Nova.

Semuanya terjadi begitu cepat. Nova menghampiri ayah mereka, menahan kemarahan pria itu. Namun, tidak bisa. Janu akhirnya mendengarkan kalimat kekecewaan ayahnya.

“Dibesarkan dengan susah payah, kamu malah melakukan keburukan sejauh ini? Kemana sifat sok dewasamu itu? Kamu menggurui Ayah, tapi nggak bisa bertindak dengan benar!?”

Semua ucapan Arsaki memang dihunuskan kepada Janu. Bahkan meski mendengar sendiri Karleesha yang mengatakan tak menginginkan pernikahan, Janu tetaplah pihak yang disalahkan. Ayahnya pasti mengira Janu yang memaksa Karleesha mengatakan hal demikian. Ayahnya pasti mengira Janu-lah pihak yang tak mau bertanggung jawab.

“Ayah, kita bersihin dulu lukanya.” Nova masih terlihat berusaha membujuk ayah mereka.

“Lihat adikmu! Ayah nikahkan dia di usia yang katamu sangat muda, tapi dia bisa bersikap lebih bijak dan dewasa! Kamu sibuk menilai itu ini salah, tapi kamu sendiri nggak sempurna sebagai manusia! Kamu sibuk menilai kehidupan adikmu yang menurutmu nggak ideal, tapi dia nggak melakukan hal kotor seperti kamu! Dia nggak melakukan hal bejat seperti kamu, Janu! Memalukan! Sudah seperti binatang kelakuanmu itu! Memalukan!”

Janu tahu dirinya salah. Untuk itu dia tidak mengatakan apa pun. Semua makian memang pantas didengarnya, karena tak mampu menikahi seorang perempuan yang sudah dihamilinya. Janu tidak masalah jika ayahnya masih ingin mengutarakan kalimat makiannya. Namun, Agus dan Teija sudah memaksa Arsaki menuju kamar.

Kini, tinggalah Samila yang mendapatkan pelukan penguat dari Nova dan mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. Kalimat kekecewaan yang menyayat Janu.

“Ibu ... nggak bisa melihat kamu sebagai anak Ibu yang dulu, Janu. Ibu kecewa. Ibu marah. Kamu menghancurkan perjuangan kami sebagai orangtua. Kami sibuk memaksa adikmu yang seorang perempuan menikah disaat dia belum lulus sekolah, karena kami nggak mau dia menimbun dosa. Tapi apa yang kamu lakukan, Janu? Apa ini?!”

Tidak lama, Samila meminta Nova membantu wanita itu ke kamar. Janu termenung bersama Karleesha di sampingnya yang tidak berani mengatakan apa pun.

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now