(b) Sidak

1.6K 364 79
                                    

Janu tidak pernah membayangkan bisa memiliki perasaan begitu cemas pada perempuan lain, selain pada anggota keluarganya, dan mantan yang tidak dia ketahui bagaimana laju kehidupannya di negeri orang. Baru kali ini Janu sebegini protektif kepada perempuan selain ibunya, Nova, dan Meida. Mungkin lebih tepatnya cemas pada keberadaan anak-anaknya yang dikandung Karleesha. Apa pun itu! Janu tetap tidak mudah membiarkan Karleesha sendirian.

“Aku lagi males minum jus, deh, Nu. Kamu mau nggak beliin bubur ayam?” Karleesha mengadu begitu Janu selesai mandi.

“Iya, boleh. Bubur ayam yang di foodcourt bawah kamu mau, kan?”

Di seberang bangunan apartemen Karleesha, ada foodcourt yang berisi banyak makanan. Kebanyakan buka pada waktu malam hari, sepagi ini biasanya toko makanan khusus sarapan saja yang buka. Seperti nasi uduk, soto bening, dan bubur ayam. Janu, sih, sering beli sarapan di sana, tapi tidak tahu bagaimana Karleesha. Sebab menurut Janu harganya tidak se-luxury selayaknya apartemen Karleesha. Foodcourt tersebut memiliki harga yang mirip kaki lima meski agak di atasnya. Setidaknya Janu tidak perlu merogoh kantong terlalu dalam hanya untuk membeli makan.

“Hm ... nggak apa-apa, deh!”

“Kok, gitu jawabnya? Kamu nggak biasa makan menu di sana? Takut sakit perut kayak kaki lima, ya?”

“Bukaaan! Emangnya aku segitu anak orang kayanya di mata kamu, ya? Aku makan apa aja. Cuma selama hamil, aku pilih-pilih makanan banget. Biasanya aku langganan Capcay, tongseng, sama berbagai hidangan seafood. Tapi semenjak hamil, mau ke sana pasti bayinya ngajak balik. Bukan aku yang gaya, tapi anak-anak kamu yang rewel!”

Janu tidak bisa membantah itu, dia memang orang yang cukup rewel soal makanan. Tidak boleh mahal dan tidak boleh terlalu sering beli di luar. Sedari kecil ibunya selalu memasak di rumah, makan tidak pernah kemana-mana, hanya dari rumah. Jadi, Janu tidak membiasakan diri dengan hal-hal semacam itu. Dia bisa menghitung pengeluaran dan me-manage nutrisi hariannya setiap hari. Sebenarnya tidak seketat itu juga. Yang terpenting bagi Janu adalah dia tahu makanan yang dikonsumsi setiap hari ada unsur 5 sehat 4 sempurna, dan itu didapatkan dari masakan rumah selama ini.

“Nah, kan, kamu diem. Berarti emang kamu yang rewel!”

“Aku beli buburnya dulu, ada request khusus?” balas Janu.

“Hm, nggak pake kacang. Nggak pake emping!”

Padahal semua itu adalah bahan yang Janu suka, tapi Karleesha malah kebalikannya. Janu juga suka sate usus dan ati rempela, tampaknya Karleesha tidak menyukainya juga.

“Oke. Aku beli dulu, kamu jangan berubah pikiran begitu aku dateng, oke?”

“Iyaaa.”

Janu berangkat membeli bubur untuk dirinya sendiri dan pesanan Karleesha. Untung saja tempat makan itu belum dikerubungi pelanggan hingga Janu bisa cepat selesai dengan urusannya. Begitu kembali, dia melihat Karleesha yang langsung menyodorkan ponsel milik pria itu. Ada nomor ayahnya, meminta panggilan video sepagi ini.

“Biarin aja,” ucap Janu.

“Tapi dari tadi neleponnya nggak berhenti. Kayaknya ada hal penting. Kamu angkat, gih! Jangan sampe ketinggalan kalo ada info soal keluarga.”

Karleesha hanya bisa memberikan tatapan cemas. Sebagai perempuan yang jauh dari keluarga, bahkan seperti tak dianggap, Karleesha jelas tak mau Janu menjadi seperti perempuan itu.

“Akan aku angkat setelah kita makan.”

“Januarrr!” protes Karleesha.

Janu menghela napasnya dan mau tak mau menuruti Karleesha yang tampak cemas sendiri. Bubur yang dibeli diletakkan lebih dulu di meja, sembari Janu mematikan panggilan video. Dia mengganti panggilan suara dan me-loudspeaker seperti biasanya.

“Halo, assalamualaikum, Yah.”

“Janu, pulang. Ayah mau ngomong sama kamu, penting!”

Janu melirik Karleesha yang sama bingungnya.

“Iya, ada apa, Yah? Nggak bisa ayah sampein sekarang?”

“Nggak bisa! Kamu pulang sekarang juga, dan ... bawa perempuan itu!”

Sekarang kepanikan itu merambat dengan cepat. Janu sudah bisa menebak siapa perempuan yang ayahnya maksud.

“Ayah—”

“Kamu turuti Ayah atau Ayah sendiri yang cari kamu sekarang?!” bentak Arsaki.

“Oke. Aku pulang,” ucap Janu mengalah.

“Bawa perempuan itu. Jangan membangkang dalam hal ini! Atau Ayah sendiri yang akan bertindak!”

Panggilan itu diputus oleh Arsaki sendiri. Janu mengamati wajah Karleesha yang tegang, tapi masih mampu untuk tenang.

“Kayaknya kita ketahuan, Nu.”

Janu mengangguk, mengambil bubur miliknya dan membukanya tenang.

“Kita makan dulu, jangan dalam perut kosong.”

Karleesha menuruti kemauan Janu. Mereka menyantap bubur lebih dulu sebelum menghadapi sidak yang akan dilakukan oleh keluarga Janu.

“Nu,” panggil Karleesha.

“Hm?”

Karleesha berdehem lebih dulu. “Kok, kayaknya enak bubur kamu ya?”

Janu tahu pasti yang semacam ini akan terjadi. Perempuan hamil memang selalu memiliki kebiasaan tidak terduga.

“Ini, makan aja.”

Karleesha tersenyum, dan memberikan buburnya pada Janu. Bukan apa-apa, Janu tidak keberatan buburnya diberikan pada Karleesha, tapi dia malah dihadapkan dengan bubur yang sudah diaduk.

“Kenapa? Kamu nggak mau bekas aku?” todong Karleesha.

“Ini mau aku makan.”

Nasib menjadi calon ayah. Janu hanya bisa menelan bubur tersebut agar cepat habis, dan setelah ini mereka harus menghadapi orangtua Janu.

Wrong Turn, Embryo!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora