(a) Cerita

1.6K 342 42
                                    

[Hai! Maaf kemarin aku nggak jadi double update, ya. Aku sebel banget semalem karena pas nulis extra part 5 adeknya Janu laptopku malah restart sendiri :( aku nulis ulang beberapa kata dan aku udah badmood duluan buat update di sini. Jadilah pagi ini aku baru membangun mood yang bagus lagi. Extra part 5 adeknya Janu udah up, jadi aku juga udah lega. Happy reading! Dan jangan lupa komennya, karena hari ini beneran double up.]

Karleesha tidak sedang mengada-ada. Dia sangat serius dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Dia serius dengan keputusan yang menyebabkannya harus berpegang teguh akan pendiriannya. Dia bukan sedang trauma dengan pernikahan akibat kisah orangtuanya yang berpisah. Karleesha memiliki cerita lain, hingga membuatnya harus memastikan dengan kuat apakah pernikahan akan membuat seseorang baik-baik saja? Dia tidak ingin menjadi penyebab dari depresi seseorang dalam hidupnya. Setidaknya, Karleesha tidak ingin disalahkan.

"Hai! Masuk, masuk."

Karleesha mendapati Nova—adik Janu, benar-benar datang ke apartemennya. Mereka baru berkenalan beberapa hari lalu dari konflik yang terjadi di rumah orangtua Janu. Dan sekarang Nova mendatangi tempat tinggal Karleesha. Bukann untuk hal yang buruk memang, tapi Karleesha sudah bisa membaca apa yang akan adik Janu lakukan; membujuk.

"Terima kasih, Mbak."

"Jairo nggak ikut? Padahal aku bisa tanya langsung dia mau hadiah apa."

"Jangan, jangan! Hadiah yang kemarin itu sudah cukup, Mbak. Jangan dibiasakan memberinya hadiah mahal seperti itu, nanti dia kebiasaan dan malah nagih ke Mbak Karlee."

Karleesha tertawa pelan. "Ih, nggak apa-apa. Aku suka beliin dia mainan, karena nggak bisa beliin dia pakaian lucu-lucu, aksesoris, perhiasan cantik, dan lain-lain. Mainan anak laki-laki teralu ringkas untuk jiwaku yang banyak maunya ini."

Karleesha tidak menggunakan panggilan 'saya' untuk dirinya sendiri di depan Nova karena memang lebih baik membuangnya. Jangan sampai hubungannya dengan adik dari ayah anak-anaknya menjadi sangat jauh. Karleesha memang enggan memaksakan pernikahan, tapi dia tidak menutup kesempatan untuk mendekatkan anak-anaknya kepada keluarga sang ayah kandung.

"Semoga aja nanti anaknya Mbak Karlee cewek, jadi bisa didandani dan dibelikan barang-barang lucu."

"Kemungkinan besar, sih, gitu. Yang satu udah ketahuan cewek."

"Yang satu?"

Karleesha menatap Nova yang terkejut. Dia membawakan minuman untuk adik Janu yang langsung diraih supaya tidak memberatkan ibu hamil itu.

"Loh, aku waktu ngomong sama kalian 'anak-anak'. Masa nggak ngeuh kalo yang aku maksud anak kembar?"

Nova menggelengkan kepalanya, mulutnya terbuka karena tidak bisa menahan keterkejutan.

"Aku pikir itu maksudnya nanti kalian punya anak-anak yang lain."

Karleesha tertawa renyah. Dia tidak membantah dengan tebakan Nova itu. "Ya, kalo kakak kamu memang masih punya niatan menikah setelah aku melahirkan—"

"Apa nggak bisa kalo dimajuin? Menikah sebelum melahirkan?" sela Nova.

Dari apa yang Karleesha lihat, adik Janu itu memang tidak bisa berbasa-basi, sama seperti sang kakak. Sepertinya memang anak-anak pak Arsaki memiliki kecenderungan tidak memiliki kemampuan basa basi. Bahkan adik Janu yang bernama Agus sudah menghunuskan kata-kata yang tidak disangka.

"Apa aku boleh cerita sesuatu, Nova?" ucap Karleesha.

Nova mengangguk cepat. "Boleh. Aku memang di sini buat dengerin apa pun yang akan Mbak Karlee katakan."

"Ih, bisa aja kamu. Sambil nyemil buah, ya? Aku siapin sebentar."

Karleesha tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beranjak ke dapur yang tidak bersekat dengan ruang tamu apartemennya. Dari jarak pandangan Karleesha, adik dari Janu itu seolah sedang mencari-cari sesuatu.

"Kamu cari siapa?"

"Bang Janu. Dia nggak nginep di sini?"

"Sejak kami pulang dari orangtua kalian, dia nggak di sini. Aku nggak tahu dia dimana. Aku pikir dia balik ke rumah buat minta maaf sama orangtuanya. Tapi karena kamu nanya begini, itu artinya Janu nggak pulang juga."

Nova mendengkus keras. "Keliatannya paling dewasa, tapi kalo ada masalah begini juga dia cari aman dengan kabur. Dasar!"

"Mungkin dia nggak pengen ada masalah tambahan kalo langsung ngomongin hal ini. Dia tahu aku keras kepala banget soal pernikahan."

"Untuk yang satu itu memang iya, kok. Aku juga merasakan itu, Mbak Karlee keras kepala. Tapi pasti ada alasan dibalik keras kepalanya Mbak Karlee, aku paham dengan alasan yang kemaren itu. Aku juga pernah mempermasalahkan cinta, ya, meskipun lambat laun juga nggak semenuntut itu soal cinta."

Membawa buah-buahan yang sudah dipotong ke meja mereka, Karleshaa duduk dengan tenang. Tidak gugup adalah bagian dari prinsip Karleesha. Dia tidak ingin menyelesaikan masalah tanpa rasa tenang.

"Ada seorang pria di masa lalu yang menjadi pacarku, kami saling cinta, dan sampai akhirnya dia menghamili perempuan lain."

"Mbak Karlee korban perselingkuhan?"

Karleesha tidak tahu apakah dia harus menggeleng atau tidak. "Hm ... gimana, ya. Pria itu bilang nggak selingkuh. Dia baru kenal sama perempuan yang dia hamili sewaktu ada masalah dengan hubungan kami. Dia tidur sama perempuan itu waktu acara kantor, nggak sadar. Tapi aku juga nggak bisa mengatakan bahwa mantanku ini nggak bersalah. Sadar atau nggak, dia udah berkhianat. Singkat cerita dia dipaksa menikahi perempuan itu dan kita udah pasti putus. Tujuh bulan kemudian, aku dengar kabar dia meninggal karena bunuh diri. Dia depresi dan aku disalahkan oleh istrinya karena menyebabkan ayah dari anaknya meninggal."

Sakit sekali saat mengetahui orang yang pernah kita cinta harus bersama orang lain. Namun, bagi Karleesha lebih sakit lagi ketika orang itu meninggal karena masih menyimpan rasa cinta dan tak bisa menghadapi dunianya yang baru. Untuk itulah, Karleesha tak ingin menjadi pihak yang ditinggalkan sebegitu tragisnya akibat tidak diterima dan menyebabkan seseorang depresi atas keberadaannya. 

Wrong Turn, Embryo!Where stories live. Discover now