Bab 19: Biru yang Baru

109 16 0
                                    

"Ngerjain apa, Biru?" Aku terperanjat mendengar suara Ayah yang tepat di samping telingaku. Beliau menyejajarkan wajahnya dengan wajahku untuk melihat apa yang sedang aku kerjakan tengah malam di meja makan.

Sontak aku menjauhkan wajahku dari wajah Ayah. Dengan wajah kesal aku seraya berkata, "jantung Biru hampir aja copot."

Ayah malah terkikik-kikik. Beliau mengusap-usap puncak kepalaku. "Kamu nulis cerita lagi?" tanya Ayah sambil masih mengecek hasil tulisanku di layar laptop.

Malu karena Ayah membaca tulisanku yang cringe, aku langsung sedikit menutup layar laptop. Ayah terheran dan menatapku. "Kenapa ditutup? Ayah belum selesai baca."

"Ini bukan bacaan umum, Ayah."

"Kenapa? Kalau ceritanya bagus, kan, bisa kamu kirim ke penerbit."

"Biru enggak ada pikiran ke sana. Lagi pula, cerita ini cuma pelampiasan Biru kalau lagi frustrasi ngerjain skripsi."

Ayah melotot, menjauhkan wajahnya dariku. Lalu beliau menyentil keningku seraya berkata, "skripsinya dikerjain dulu. Tulis ceritanya nanti kalau udah beres semua."

"Nggak bisa, Yah. Menulis itu udah kayak separuh jiwa, Biru."

Aku mengatakan demikian karena sejak kecil aku suka sekali menulis. Kesukaan itu bermula dari buku cerita milik Grace yang tidak pernah dibaca olehnya, sementara Grace harus memberikan resume bacaan itu kepada Tante Camella. Grace yang tidak tertarik dengan buku yang kala itu penuh dengan gambar berwarna pun memintaku untuk membaca buku-buku itu. Nantinya jika aku sudah selesai membaca buku-buku yang dibelikan Tante Camella, aku harus menceritakan ulang kepada Grace untuk gadis itu salin dalam otaknya—tanpa imbalan karena aku suka membaca. Sejak saat itulah aku selalu membaca di mana pun, kapan pun, dan apa pun.

Kebiasaan membaca yang awalnya hanya untuk membantu Grace berakhir menjadi hobi yang melekat padaku. Setiap kali Grace menanyaiku ingin dibelikan oleh-oleh apa ketika dia sedang bepergian, aku pasti menjawab buku. Berjalannya waktu bacaanku pun menjadi berkembang, yang awalnya membaca buku cerita penuh dengan ilustrasi, aku mulai beralih ke buku cerita yang sedikit ilustrasi, dan tanpa ilustrasi. Dari banyaknya buku cerita yang telah aku baca, dari situlah awal aku tertarik dengan dunia kepenulisan.

Aku suka sekali membayangkan apa yang tengah aku baca, di mana itu membuat imajinasiku makin bertambah. Aku jadi suka berimajinasi hal-hal yang tidak pernah aku lakukan atau aku miliki sebelumnya, dan itu menyenangkan. Dalam dunia imajinasi, aku bisa menjadi apa saja, aku bisa melakukan apa saja, dan aku bisa mengubah takdir burukku. Agar imajinasi-imajinasi menyenangkan itu tidak hilang, aku pun menulisnya.

Pertama kali aku menuliskan cerita saat berumur 10 tahun, aku menulis sebuah cerpen yang menceritakan tentang dua sahabat yang ternyata tertukar sejak bayi. Tokoh utama yang awalnya hidup sebagai anak dari keluarga miskin menjadi hidup bergelimang harta. Cerita mainstream yang kemudian aku rombak lagi menjadi novel Birthday dan Deathday yang kini menjadi penasaran orang-orang siapakah penulisnya.

Terbongkarnya skandal Grace membuat aku memutuskan untuk berhenti menulis. Keputusan itu aku pilih karena aku beranggapan percuma aku menulis jika tidak ada penerbit yang mau menerima naskahku. Bayang-bayang Grace masih menghantui diriku, yang mana itu membuatku selalu berpikir bahwa aku tidak akan bisa menjadi apa-apa tanpa campur tangan Grace.

Berjalannya waktu, anggapan dan pikiranku itu mulai tenggelam. Setiap kali aku merasa bosan dan muak dengan kehidupan yang datar, aku kembali menulis hingga saat ini. Aku menyadari jika menulis itu bukan tentang sebuah buku cetak saja, tapi kepuasan batin. Aku puas meskipun naskahku hanya memiliki 1 pembaca, yaitu diriku sendiri. Tapi tidak dengan Ayah dan Ibu, mereka terus mengatakan agar aku mengirim naskah yang sedang aku tulis ke penerbit.

Ghost WriterWhere stories live. Discover now