Bab 9: Menghapus Prasangka

71 18 0
                                    

"Motor lo di sebelah mana, sih?"

Grace berdiri dan berjinjit untuk mencari motorku yang bahkan dia tidak tahu seperti apa bentuknya. Aku memahami rasa bosan Grace yang sudah menemaniku duduk di pinggir taman kecil dekat parkiran meskipun baru lima menit. Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu menunggu hingga parkiran cukup lengang agar aku dapat dengan tenang mengeluarkan motorku dari parkiran. Tetapi Grace yang tidak memahamiku terus-terusan mengomel karena dia lelah menunggu.

"Duduk aja," kataku menarik tangan Grace untuk kembali duduk di sebelahku, "masih lama."

"Masa lo udah punya SIM tapi nggak bisa keluarin motor dari parkiran, sih?"

"Lo bisa diem nggak, sih, Grace? Dari kemarin ngomel mulu."

"Bosen tahu nunggu lama," jawab Grace, lalu gadis itu memegang perutnya yang berbunyi, "perut gue udah nggak sabar makan tumis kangkung buatan Tante Kemuning."

Aku juga ikut memegang perutku yang ikut berbunyi. "Gue juga udah laper, Grace," kataku lesu.

Grace bangkit dari duduknya sambil mengangkat tubuhku untuk ikut bangkit juga. Gadis itu membersihkan rok bagian belakang kami dan berkata, "ayo kita keluarin motor lo bareng-bareng."

"Emang lo bisa bantuin apa? Narik motor gue?"

Gadis itu menggeleng cepat. "Gue bantuin bawa helm lo aja."

Aku memutar bola mataku kesal, lalu mendorong tubuh Grace dengan lenganku seraya berkata, "sama aja gue yang ngeluarin."

"Terus kita harus nunggu berapa lama lagi, Biru?" tanya Grace sambil menormalkan kembali tubuhnya yang doyong akibat doronganku.

"Kagak sampe kiamat pokoknya," jawabku sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Namun tiba-tiba Grace membalas mendorong tubuhku seperti yang aku lakukan tadi hingga tubuhku doyong dan hampir saja terjatuh jika Rafael terlambat sedetik untuk menopang tubuhku. Posisiku benar-benar sudah seperti di film-film, di mana tokoh wanita ditangkap oleh tokoh pria ala bridal style, hanya saja kakiku masih bertapak di tanah. Satu hal yang membuatku diam tak berdaya adalah tatapan mataku dan Rafael yang bertemu. Aku bahkan sampai menelah air ludahku karena begitu canggung.

Rafael mengangkat tubuhku untuk berdiri seperti semula. Laki-laki itu tersenyum begitu manis sambil berkata, "hati-hati kalau bercanda. Nanti kalian bisa luka."

Aku yang mendengar nasehat Rafael hanya bisa mengangguk canggung. Sementara Grace yang berdiri di sebelahku masih saja menyenggol lenganku pelan, meskipun sudah dinasihati oleh Rafael. Grace bahkan terus menyenggolku agar aku mendekat pada Rafael yang tentu aku tahan karena tidak ingin menimbulkan image cewek gatel di hadapan Rafael.

"Kalian lagi nunggu jemputan?"

"Enggak." Grace melambaikan tangan, lalu kembali menyenggol lenganku. "Ini Biru enggak berani ngeluarin motornya dari parkiran," jawab Grace.

"Mana kunci lo? Biar gue keluarin motor lo," kata Rafael sambil menengadahkan tangannya padaku. Grace kembali menyenggol lenganku yang langsung aku beri tatapan tajam sebagai isyarat agar gadis itu berhenti menggodaku. Tapi Grace malah memberikan isyarat dengan matanya agar aku segera memberikan kunci motorku pada Rafael. Dengan rasa tidak enak yang harus aku lawan agar Grace tidak mengomel lagi, aku pun memberikan kunci motorku pada Rafael.

Astaga. Terlalu sibuk menyuruh Grace untuk diam, aku sampai lupa belum memberitahu Rafael di mana letak motorku, tetapi cowok itu sudah berlari pergi. Ajaibnya, tidak butuh waktu lama, Rafael menghampiriku mengendarai Si Mega Mendung.

"Padahal aku belum bilang motorku di sebelah mana," kataku saat Rafael memarkirkan Si Mega Mendung di depanku.

Rafael yang baru saja turun dari motor itu tersenyum dan memberikan gaya memencet remot dengan tangannya. Aku membuka mulutku dengan kikuk, karena merasa malu. Aku lupa jika kunci motorku itu sudah dilengkapi dengan sistem smart key yang bisa menghidupkan mesin motor dari jarak dua meter.

Ghost WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang