Bab 1: Novel Pertama

336 82 74
                                    

Alarm berbunyi cukup lantang, sehingga berhasil membangunkanku dari mimpi menyenangkan. Jam di ponsel menunjukkan pukul empat pagi, menandakan bahwa kehidupan melelahkan telah dimulai. Dengan nyawa yang masih separuh, aku bangun dari tidur dan bersandar pada tembok yang usang—beberapa lapisannya telah mengelupas dan mengotori kasur. Aku sudah sering mengeluhkan hal ini kepada Bude Poppy, tapi beliau tidak pernah merespons. Mungkin memang sudah konsekuensi menumpang di rumahnya secara percuma.

Rasa kantuk masih menguasai. Berkali-kali aku masih menguap dan tubuh yang lemas ini ingin sekali melorot kembali pada kasur yang empuk. Tapi suara kran wastafel dari dapur membuatku mengurungkan niat dan memutuskan melawan rasa kantuk. Saat keluar dari kamar, aku langsung mendapati tatapan tajam dari Bude Poppy yang sedang mencuci beras. Sorotan mata beliau menandakan bahwa aku harus segera bersiap-siap berangkat ke pasar sebelum matahari memancarkan sinarnya.

Segera aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigiku. Setelah itu dengan cepat aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamarku—pergi ke pasar tak perlu berdandan rapi. 

"Kalau bisa nawar, tawar. Jangan iya-iya aja!" Pesan Bude Poppy setiap kali aku akan berangkat ke pasar.

"Iya, bude."

"Cepat! Nyerobot kalau bisa. Jangan sampai Lolly udah bangun kamu baru sampai."

Aku hanya mengangguk sambil mengambil keranjang belanjaan, catatan dan uang di atas meja makan. Berjalan dengan lesu menuju garasi untuk menemui sepeda kesayanganku—sepeda pemberian dari Ayah dari gaji pertama yang beliau dapat. Meskipun sepeda bekas, tapi kasih sayang yang Ayah sampaikan lewat sepeda itu begitu membekas.

Suasana pagi hari memang tidak pernah mengecewakan. Hawa dingin yang menerobos masuk untuk melakukan pijatan di kulit begitu menantang kekuatan tubuhku. Sesekali aku memeluk tubuhku saat mendapati lampu merah, mencoba menghangatkan tubuh meskipun tidak begitu berguna. Jarak rumah Bude Poppy ke pasar tidak begitu jauh bila ditempuh menggunakan sepeda. Sekitar sepuluh menit aku sampai di pasar yang sudah seperti lautan manusia. Susah payah aku menerobos kerumunan itu untuk membeli bahan-bahan masakan hari ini. Berkali-kali aku memeriksa barang belanjaan, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ketinggalan. Bisa terjadi perang dunia ketiga apabila hal itu terjadi. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Iya, Bude Poppy memang menyeramkan, lebih seram dari hantu di film horor.

Lihat. Cara Bude Poppy mengecek barang belanjaan saja sudah membuatku menelan ludah. Bibirku bahkan tidak bisa berhenti mengucap, "lengkap. Lengkap."

"Cuci, terus potong-potong sayuran ini. Setelah itu kamu baru boleh siap-siap."

Aku bernapas lega. Pagi ini berjalan dengan lancar.

Tapi ternyata aku terlalu cepat berpuas diri. Baru selesai keluar dari kamar mandi, sepupuku yang manja itu sudah mengomel karena aku tidak mencuci kaos kakinya. Lihat. Bibirnya yang tebal itu bahkan bisa dikucir saat dia sedang mengomel.

"Sini! Biar aku cuci."

Omelan Kak Lolly berhenti. Dengan wajah kesal dia mengulurkan kaos kaki miliknya padaku. "Harusnya ini gue pakai sekarang. Tapi untung kemarin gue udah beli kaos kaki baru," ucapnya lalu hilang dibalik pintu kamar mandi.

"Udah beli. Ngapain juga pakek ngomel-ngomel segala," batinku yang kemudian menghela napas untuk menghilangkan rasa kesal di dada.

Hari ini adalah perdana aku menjadi murid SMA. Balutan seragam putih abu-abu ini membuatku terlihat berbeda. Beda warna saja. Meskipun ini adalah hari pertama, tidak sedikit pun ada rasa senang dalam diriku. Malahan aku merasa gelisah karena Grace yang tidak bisa masuk di hari pertama di SMA. Kepalaku penuh dengan pertanyaan, apakah masa SMA menyenangkan? Apakah aku bisa berbaur dengan teman-teman? Aku memegang dadaku, mencoba untuk menenangkan diri.

Ghost WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang