Bab 16: Birthday but Feel Deathday

77 17 0
                                    

"HAPPY BIRTHDAY BIRU!!"

Aku baru saja pulang dari sekolah dan tidak menyangka akan mendapat kejutan dari Ayah dan Ibu. Pasalnya tadi pagi kami tidak sempat bertemu karena mereka yang berangkat pagi-pagi sekali ke warung, sehingga aku berpikir jika mereka tidak mengingat hari ulang tahunku. Namun kini aku melihat mereka yang memakai topi ulang tahun, birthday cake di tangan Ibu, ruang tamu yang dihias dengan balon, dan konfeti yang menyambutku membuatku terharu. Ayah dan Ibu memang romantis sekali.

"Happy birthday, putri Ibu yang paling cantik," ucap Ibu sambil mengusap wajahku.

"Makasih, Ibu. Biru cantik juga nurun dari siapa coba?" Aku menggoda Ibu membuat beliau tersipu malu. Demi menyembunyikan pipinya yang merah, Ibu memalingkan wajah kepada Ayah dan memukul suaminya itu. Tentu saja Ayah kebingungan dan mengusap-usap lengannya yang menjadi korban rasa malu Ibu.

"Ibu kamu cantik-cantik tapi ringan tangan," bisik Ayah kepadaku, masih sambil mengusap-usap lengannya. Aku yang mendengarnya hanya cekikikan saja, tidak berani bersikap lebih, bisa gawat nanti.

"Aku denger, loh." Bahkan dengan suara Ayah yang lirih saja Ibu masih bisa mendengarnya. Tapi yang membuat Ayah gelagapan adalah sorot mata Ibu yang tajam, pisau saja kalah tajam.

"Maksudnya..." Ayah gelagapan sambil terus melotot kepadaku meminta bantuan. Aku hanya mengangkat pundak, tidak mau ikut campur. "Ma-maksudnya...ringan tangan, tuh, suka menolong. Iya, suka menolong. Benar, kan, Biru?" Aku hanya tertawa melihat wajah takut Ayah. Itu lucu sekali seperti film komedi. Ayah memang suka sekali mendapat sorotan mata tajam dari Ibu.

Ibu melengos dari Ayah, lalu beliau mengajakku untuk duduk di sofa ruang tamu. Mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan tiup lilin untukku, persis seperti di acara ulang tahun, Ibu sebagai MC dan Ayah sebagai badut—bisa joget saja, tidak bisa melakukan sulap. Aku pun meniup lilin berangka 19 tahun yang sedikit membuatku was-was, ini adalah tahun terakhirku sebagai seorang remaja.

"Say cheese!" Ayah yang memegang kamera polaroid itu memandu kami berpose. Kami bertiga pun berpose dengan senyum bahagia ke kamera yang tiga detik kemudian memancarkan flash yang mengejutkan mata.

"Mana biar fotonya Ibu simpan," ucap Ibu mengambil selembar foto dari tangan Ayah dan memasukkannya ke dalam sebuah album mini. Aku yang tidak pernah tahu menahu mengenai album foto itu pun penasaran dan meminta izin kepada Ibu untuk melihat-lihatnya.

"Ini album khusus ulang tahun kamu, Biru. Sudah ada 20 foto yang Ibu simpan di sini. Kamu bisa lihat buat mengenangnya," kata Ibu sambil menyerahkan album mini itu kepadaku.

Selepas makan malam bersama yang selalu kami lakukan, aku segera masuk ke kamar untuk belajar. Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi, sehingga aku harus rajin belajar agar tidak menyesal akan hasilnya nanti. Namun album mini yang aku pinjam dari Ibu tadi mengalihkan fokusku. Melihat-lihat album mini yang hanya memiliki 20 foto sepertinya tidak begitu banyak mengganggu waktu belajarku.

Saat aku membuka album mini itu, aku melihat diriku yang masih berada di box bayi rumah sakit sedang tersenyum ke kamera. Momen yang bagus untuk diabadikan. Lanjut ke halaman selanjutnya adalah foto-foto saat aku sedang merayakan ulang tahun yang lekat dengan birthday cake. Foto kedua memperlihatkan aku yang masih berumur 1 tahun sedang menaiki kereta bayi dan terlihat ingin merebut birthday cake mini yang Ayah pegang. Foto ketiga memperlihatkan aku yang berumur 2 tahun berhasil memakan birthday cake, namun di sebelahku Ayah terlihat melongo melihatku yang rakus. Foto keempat memperlihatkan aku yang berumur 3 tahun sedang meniup lilin ulang tahun bersama Ayah dan Ibu. Foto kelima memperlihatkan aku yang sedang duduk di pangkuan Ayah yang memegang birthday cake dengan lilin angka 4, aku yang terlihat kecil di pangkuan Ayah itu berpose dua jari—terlihat begitu lucu dan polos.

Ghost WriterМесто, где живут истории. Откройте их для себя