Bab 5: Tok Tok Tok

104 20 3
                                    

"Apa Biru bilang, Biru udah jago naik motor, kan, Yah?"

Ayah yang baru saja turun dari boncenganku memberikan wajah mengejeknya. Lalu dengan sengaja beliau menutup kaca helmku yang mengakibatkan separuh wajahku tertutupi karena helm itu kebesaran di kepala minimalisku ini.

"Jago dari Hongkong. Kalau kamu balapan sama kura-kura juga bakal menang kura-kura," kata Ayah meremehkanku.

Aku hanya bisa memberikan wajah cemberut sambil melepaskan helm yang sejak tadi ingin terbang terbawa angin. Untung saja Ayah begitu tanggap dengan terus menahan helm oversize itu agar tidak kabur dari kepalaku.

"Permisi. Apa benar ini alamatnya Permata Biru?"

Kedatangan kurir membuatku dan Ayah sontak menoleh sekaligus mengangguk bersamaan. Meskipun awalnya sedikit ragu menerima paket yang aku rasa tidak pernah memesannya, tapi aku tetap berjalan mendekati kurir untuk mengeceknya.

"Ada paket dari Grace Lie, Kak," kata kurir itu tanpa aku tanya sambil menyerahkan sebuah box kepadaku. Aku pun menerimanya sambil mengangguk dengan canggung. Tidak biasanya Grace memberiku sesuatu menggunakan jasa antar.

"Mbaknya temen Grace Lie? Aktris cilik yang sekarang jadi penulis itu?"

Aku hanya mengangguk. Setelah itu aku masuk ke dalam rumah, membuka box dengan ukuran dua jengkal tanganku di atas meja makan. Ayah dan Ibu yang begitu penasaran ikut duduk di meja makan, menungguku untuk membuka box tersebut.

Ternyata isinya sebuah cake ulang tahun.

"Ngapain lo ngirimin gue cake, Grace?"

"Buat rayain ultah kita bareng, lah," jawab Grace di seberang sana. Di depan gadis itu juga ada cake dengan warna, bentuk, dan model yang sama dengan cake di hadapanku.

Aku mengusap air mata yang dengan nakalnya lolos terjun membasahi pipiku. Grace selalu mengingat hari ulang tahun kami dan begitu effort merayakan hari spesial ini. Effortnya itu benar-benar menyentuh hatiku.

"Lo nangis, Biru?"

"Enggak. Ngapain nangis?" jawabku berbohong sambil membelakangi Grace untuk menghilangkan jejak air mata sialan ini.

Mengapa air mata ini harus keluar di hadapan Grace? Bahkan di hadapan Ayah dan Ibu yang sedari tadi menjadi penonton. Ini membuat harga diriku ternodai. Grace, Ayah, dan Ibu akan mengecap aku sebagai anak cengeng.

"Ayo, Biru dan Grace nyanyi selamat ulang tahun bareng-bareng," kata Ayah masuk dalam layar video call yang membuat Grace tertawa.

Kemunculan Ayah ikut mengundang kemunculan beberapa crew di belakang Grace—mereka sudah seperti tamu di acara ulang tahun kami. Aku dan Grace pun tertawa bersama sambil bertepuk tangan. Kami tidak ikut bernyanyi. Orang-orang di sekitar kami-lah yang menyanyikan lagu ulang tahun untuk kami.

Tepat setelah lagu selamat ulang tahun selesai, kami meniup lilin bersamaan. Dua lilin yang terpisahkan itu pun telah padam.

"Happy Birthday, Biru."

"Happy Birthday, Biru," ucap orang-orang menirukan.

"Happy Birthday, Grace."

"Happy Birthday, Grace," ucap orang-orang menirukan.

* * *

Parkiran sekolah begitu ramai sore ini setelah baru saja bel pulang berdering nyaring. Para siswa-siswi berhamburan seperti semut yang tengah dilanda rintik hujan. Mereka berbondong-bondong menuju parkiran, mencari di manakah pagi tadi mereka memarkir motor mereka. Terlihat juga seorang siswi menepuk keningnya melihat motornya berada di barisan depan yang membuatnya tak bisa segera pulang.

Ghost WriterWo Geschichten leben. Entdecke jetzt