Prolog

644 106 129
                                    

          "DASAR KELUARGA GAK TAU DIUNTUNG!!"

          Aku menangis tanpa suara sambil terus membuntuti kedua orang tuaku yang berjalan di depan. Ucapan Om Raka masih terngiang di telingaku. Wajah penuh amarahnya yang belum pernah aku lihat berhasil membuatku bergidik ngeri dan menghentikan langkahku. Ibu yang menyadari aku berada jauh di belakangnya lantas berhenti dan menoleh, memanggil namaku dengan suara lembutnya agar aku segera menyusul. Mendengar suara Ibu, Ayah juga ikut berhenti untuk mengecek keberadaanku. Ayah ikut memanggilku agar segera menghampiri. Melihat Ibu dan Ayah yang masih bisa tersenyum dan menungguku dengan sabar, membuatku lantas menyeka air mata, mengambil tas yang sempat aku jatuhkan dan berlari kecil menyusul mereka.

          "Mana biar ayah yang bawa tas kamu," ucap Ayah mendekatiku dan mengambil alih tas besar yang aku tenteng dengan susah payah. Setelah itu Ayah melanjutkan perjalanan.

          Ibu tersenyum sambil mengusap-ngusap kedua lenganku. Tangannya yang kasar itu menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi wajahku. "Ayo, Biru! Sebentar lagi kita sampai."

          Kami kembali berjalan tanpa suara. Ayah berjalan di depan seperti seorang masinis. Ibu berjalan di gerbong tengah dan aku di gerbong belakang. Iya, kami seperti sedang bermain kereta api. Meskipun kenyataannya kami sedang menyembunyikan kesedihan agar tidak terlihat lemah.

          Siang tadi aku baru saja pulang dari sekolah dengan wajah senang karena akhirnya Grace kembali masuk sekolah dan duduk di sebelahku. Baru saja aku dan Grace turun dari mobil, kami langsung mendapati teriakan Om Raka—Papa Grace—dari rumah bawah tanah. Aku segera berlari disusul Grace di belakangku. Belum aku menginjakkan kakiku menuruni anak tangga, Om Raka muncul dengan wajah penuh amarahnya, disusul Ayah dan Ibu membawa tiga tas besar. Melihat aku berdiri mematung dengan wajah penuh tanya, Ayah mendekatiku, memberikan tas besar milikku, lalu beliau berjalan menuju pagar besar. Ibu mendekatiku dan menggandengku berjalan perlahan, menyusul Ayah.

          Sementara Om Raka yang berada di belakang kami terus-terusan berteriak.

        "PERGI! PERGI JAUH! JANGAN PERNAH KEMBALI!"

        "DASAR KELUARGA NGGAK TAHU DIUNTUNG!"

        Langkahku terhenti mendengar kalimat terakhir Om Raka. Aku masih tidak paham mengapa Om Raka mengatakan kalimat sejahat itu kepada keluargaku. Grace dengan wajah sama bingungnya mendekati Ibu dan bertanya, "tante mau kemana? Biru mau dibawa kemana, Tante?"

        Grace mendekatiku, menarik tanganku, menggenggamnya dengan kuat. Dia menggeleng-geleng dengan mata yang berkaca-kaca.

          "Jangan pergi Biru!"

        Om Raka dengan segera menarik putrinya. Beliau melarang Grace untuk mendekatiku dan keluargaku. Sementara Ibu menyuruhku agar segera mengikutinya dan jangan menoleh ke belakang.

        "ENGGAK, PA! BIRU NGGAK BOLEH PERGI!"

        "SUDAH GRACE! NGGAK ADA UNTUNGNYA KAMU BERTEMAN SAMA DIA!"

        "GRACE NGGAK BISA HIDUP TANPA BIRU, PA!"

        Air mataku pecah mendengar teriakan Grace. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kemana pun Ayah dan Ibu melangkah.

        Sudah satu jam lebih kami berjalan kaki, tanpa aku tahu kemana tujuan kami. Ayah dan Ibu sama sekali tak mengeluarkan suara, kecuali menyuruhku untuk terus melanjutkan perjalanan. Sikap mereka membuatku bertanya-tanya, ada apa gerangan? Mengapa kami harus pergi dari rumah Om Raka? Mengapa Om Raka terlihat begitu marah kepada Ayah dan Ibu? Apa salah kami?

Ghost WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang