Bab 15: Atap yang Bocor (Grace POV)

75 15 0
                                    

Lemparan bola yang mengenai perutku sama sekali tidak sakit. Aku sengaja berpura-pura merintih kesakitan demi mendapat perhatian dari Biru. Sudah lama gadis itu tidak pernah mengontakku tanpa aku ketahui alasan di baliknya. Kehadiranku di sekolah juga sepertinya tidak membuatnya sebahagia dahulu, atau mungkin Biru membencinya dan melampiaskan kebenciannya itu dengan terus melemparkan bola kepadaku.

Aku memandang Biru yang membeku di sana cukup lama. Bibirku hampir saja melengkung kala melihat Biru mulai melangkah maju. Tapi entah mengapa gadis itu segera menghentikan langkahnya dan kembali diam memandangiku yang mulai dikerubungi oleh teman-teman. Biru hanya diam, memandangku entah dengan artian apa. Sementara aku terus memandang Biru dengan harapan mendapat belas kasih.

Aksi pura-puraku ternyata tidak berhasil. Biru tidak lagi melangkah maju kepadaku, gadis itu malah maju meninggalkan lapangan. Biru meninggalkanku.

"Biru...ini sakit, Biru," ucapku lirih disela isak tangisku.

Bukannya mendapat perhatian dari Biru, aku malah mendapat kekecewaan. Wajahku basah dengan air mata. Semua teman-teman begitu khawatir akan kondisiku. Semua heboh menanyai kondisiku dan membantuku untuk pergi ke UKS. Tapi bukan mereka yang aku inginkan, aku ingin perhatian itu dari Biru.

Sampai hari ini, aku masih tak mengerti mengapa Biru tidak menolongku hari itu. Apakah aku telah melakukan kesalahan kepadanya? Apakah karena mencuatnya skandal itu, sehingga ia tak bisa lagi menerbitkan novel?

Sumpah ini membuat kepalaku pusing. Dari semua spekulasi mengapa Biru menjauhiku, aku tidak bisa menentukan manakah kiranya spekulasi yang benar. Aku tidak bisa membaca pikiran Biru. Semakin memikirkannya, semakin aku merindukan Biru.

Dari kecil, kami selalu bersama. Mulai dari dalam kandungan, Mama dan Tante Kemuning sudah mengenalkan kami. Bahkan kami pun lahir di hari yang sama. Sepertinya takdir memang telah menetapkan jika kami adalah sahabat.

Biru adalah satu-satunya sahabat yang aku miliki. Aku sulit sekali percaya dengan teman-teman yang mendekatiku, sebab tidak sedikit dari mereka yang hanya mendekatiku karena Mama yang merupakan penyanyi terkenal atau karena aku yang merupakan seorang aktris. Dalam dunia entertainment saja aku tidak begitu dekat dengan aktor dan aktris lain, kami hanya sebatas rekan kerja, berbincang seadanya, tidak lebih dari itu. Beda dengan Biru, aku tidak hanya ingin berbincang dengannya, tapi ingin membuat kenangan yang banyak dengannya. Biru seperti langit bagiku, tidak pernah terganti.

Dulu saat kami masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, aku pernah terkena bola voli kala pelajaran olahraga. Pukulan bola voli yang mengenai perutku benar-benar sakit, aku tidak berpura-pura seperti hari itu. Di saat semua teman sekelasku hanya diam memandangiku, Biru segera berlari kepadaku. Wajahnya begitu khawatir dan sedikit bercampur kebingungan harus melakukan apa. Pada akhirnya, Biru menggendongku. Meskipun tubuh gadis itu sangat kurus, dia begitu kuat menggendongku ke UKS, walau setelah itu dia terjatuh lemas bersandar pada dinding UKS dan meneguk habis sebotol air mineral.

Aku juga masih ingat, saat Biru memberikan surprise setelah aku pulang dari syuting pertamaku. Saat itu kami masih berusia 10 tahun, masih kelas 4 Sekolah Dasar, bahkan Biru masih mengenakan seragam merah putihnya untuk menyambut kepulanganku.

"SURPRISE!!"

Konfeti yang terbuat dari kertas lipat bertebaran mengenaiku. Sementara itu di depanku, Biru memegang kertas karton bertuliskan 'SELAMAT ATAS IKLAN PERTAMANYA, GRACE LIE' dengan spidol warna-warni dan gambar-gambar kecil di sekelilingnya yang aku yakini adalah gambaran Om Ruby.

"Biru," panggilku manja kepada Biru. Segera aku memeluk sahabat yang telah aku tinggalkan selama 2 hari itu. Kami berpelukan cukup erat seolah telah lama terpisahkan.

Ghost WriterWhere stories live. Discover now