Bab 14: Yang Nyata yang Menang

82 15 2
                                    

Melihat Grace yang kembali lagi ke sekolah dan mendapat sambutan hangat dari semua orang membuatku muak. Setelah apa yang Grace lakukan selama ini, mengapa semua orang masih bisa menyukai gadis itu. Mengapa semua orang dengan mudah memaafkan kesalahan Grace.

Bahkan Rafael yang telah menjatuhkan hatinya pada gadis itu terlihat bahagia bisa kembali dekat dengan sang pujaan hati. Padahal cinta Rafael bermula dari quotes novel Birthday yang ia tahu adalah tulisan Grace. Lantas mengapa setelah tahu dia telah tertipu akan hal itu, hatinya masih jatuh pada Grace. Benarkah Rafael menyukai Grace karena tulisannya? Ataukah ia mencintai paras cantik wajah Grace?

Tanganku mengepal, siap menghantam cermin di depanku. Aku tertawa sinis melihat diriku dalam pantulan cermin itu. Jika kebohongan dapat dimaafkan, maka apa gunanya menjadi jujur?

Semburat tawa lepas dari mulutku. Dunia ini sangat lucu hingga aku tidak bisa memahaminya.

Aku basuh wajah penuh amarahku agar api itu mulai padam, walau bukan airlah pemadamnya. Selepas mengeringkan wajahku dengan tisu, aku pun segera keluar dari kamar mandi yang terasa menyesakkan itu. Sepertinya, dari pada mengisi perutku dengan makanan, lebih baik aku mengisi otakku dengan cerita-cerita baru. Namun, baru saja aku melangkah keluar dari kamar mandi, Rafael menarikku tanpa mengucap satu kata pun. Tarikan dan genggaman tangannya yang kuat membuatku pasrah mengikuti ke mana dia membawaku pergi.

"Menurut lo ini lucu, Biru?"

Rafael melepaskan genggaman tangannya selepas kami tiba di rooftop. Aku memegangi pergelangan tanganku yang sakit karena genggaman Rafael cukup kuat. "Apanya?" tanyaku balik.

"Lo ngetawain apa di kamar mandi?" tanya Rafael lagi. Wajah cowok itu begitu serius. Tatapan tajamnya itu baru pertama kali aku lihat setelah satu tahun mengenalnya.

"Kamu nggak perlu tahu Rafael."

Rafael tertawa sinis, hingga satu sudut bibirnya terangkat. "Hidup lo penuh kebohongan, ya, Biru?"

Aku sontak tertawa lepas mendengar ucapan itu keluar dari mulut Rafael. "Kamu dukun, Rafael?"

"Gue tahu semuanya Biru. Gue tahu kenapa lo foto sama display novel Deathday waktu di toko buku. Bodohnya gue percaya kalau lo fans berat, Grace. Tapi sekarang gue sadar, penggemar mana yang foto sama display novel idolanya?"

Ternyata Rafael begitu pintar menarik kesimpulan dari keraguannya. Big applause tanpa suara untuknya. Aku hanya diam menatap Rafael, karena aku bisa melihat masih banyak yang ingin cowok itu sampaikan.

"Untuk masalah itu, bukan urusan gue, Biru. Tapi persahabatan lo dan Grace, itu urusan gue. Kenapa lo..."

"Kenapa persahabatan gue dan Grace jadi urusan kamu? Emangnya kamu siapa Rafael?" Aku menyela ucapan Rafael karena tidak masuk di akalku.

Rafael menghela napas dengan keras. Dia tak menatapku lagi.

"Tanpa lo bilang, gue tahu lo suka sama gue, Biru," kata Rafael membuatku cukup terkejut. Bagaimana bisa Rafael mengetahui hal yang bahkan sulit untuk aku ketahui. Apa mungkin benar jika Rafael adalah dukun?

Kini Rafael kembali menghadapku dan menyejajarkan tinggi badannya denganku. Dia menatapku tajam dan begitu dekat. Aku bahkan merasa kesulitan untuk bernapas. "Tapi bukan berarti lo harus nusuk sahabat lo sendiri dari belakang," kata Rafael dengan suara lirih, tapi terdengar jelas karena jarak kami yang dekat.

"Maksud kamu apa?"

Pertanyaanku membuat gelak tawa keluar dari mulut Rafael. Cowok itu menjauhkan wajahnya dari hadapanku, lalu berkacak pinggang. "Jangan berlagak bodoh, Biru. Lo nggak pantes!" kata Rafael disela gelak tawanya.

Ghost WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang