"Sudah puas keluyuran?"

Aisyah mengangguk.

Gus Ilham berdecak kesal. "Pake ngangguk lagi, bangga kamu, hah?"

"Memang sudah kebiasaan, jadi susah berubahnya!"

"Ilham!" Umi Maryam menyahut. "Mending kamu pergi ambil wudhu sana, jangan emosi dulu."

"Awas kamu!" Ancam Gus Ilham menatap tajam Aisyah sebelum melenggang pergi dari sana.

Umi Maryam merangkul bahu Aisyah. "Udah nggak apa-apa, jangan terlalu dipikirin marahnya suami kamu."

"Iya umi, Aisyah minta maaf."

"Gak masalah, tapi lain kali, kalau mau pergi lagi bilang aja ke umi. Kalau bisa anak-anak kamu titip di umi, kasian juga kan, tinggal di rumah berdua aja."

Aisyah menatap mertuanya begitu sangat baik. "Makasih umi, umi mertua Aisyah paling baik."

"Ya iyalah, memang ada mertua kamu yang lain selain umi sama abi?" Kekeh Umi Maryam bercanda.

"Sekarang, Aisyah percaya, kalau rejeki itu bukan hanya berbentuk uang tapi punya mertua sebaik umi juga rejeki."

Umi Maryam tertawa renyah. "Bisa aja deh, kamu."

"Ya sudah, kamu pergi bersih-bersih dulu sana, panggil Ilham juga ya, suruh menghadap sama umi."

"Siap umi!"

Aisyah kemudian melangkah naik keatas rumahnya, saat di tangga, Aisyah berpapasan dengan suaminya. Aisyah tersenyum hendak menyentuh rambut Gus Ilham yang berantakan namun di tepis pelan oleh sang empu.

"Mas Ilham di panggil umi—" belum sempat ia melanjutkan ucapannya, suaminya sudah melangkah pergi.

Aisyah menatap punggung suaminya yang mulai menjauh, ia menunduk sedih, Gus Ilham tidak merespon ucapannya. Kini kaki Aisyah tiba depan pintu kamar anak-anaknya. Sebelum bertemu mereka, Aisyah harus terlihat baik-baik saja.

Ceklek.

"Assalamualaikum!"

"Umi!"

Arsyi memegang kedua pipinya setelah memeluk tubuh uminya.  "Aci nangis!"

"Nangis kenapa sayang?" Tanya Aisyah yang sedang memangku Arsya.

"Aci bobo cendili, kalna umi pelgi..."

"Kan, ada Arsya temenin."

"Umi jangan tinggal lagi ya, Aca nda mau ditinggal umi," ucap Arsya.

"Umi tinggal sebentar kok."

"Jangan ya, umi. Please!" Arsya dan Arsyi menangkup kedua tangannya didepan dada, dengan pupil mata yang membesar.

Aisyah menghela nafas pelan dan tersenyum. "Iya."

"Janji?" Kedua anak itu menyangkut jari kelingking mereka.

"Janji." Balas Aisyah menyatukan jarinya.

"Makasih umi, sayang umi satu fiksi!"

Aisyah tertawa. "Nih kado dari tante Fatia, kalau ini dari tante Luna. Uang jajan buat kalian. Tapi uangnya biar umi simpan, oke?"

"Oke, umi. Aci bica minta beli es klim, kan?"

"Bisa dong, tapi nggak sekarang, soalnya udah sore. Udah pada mandi belum?"

"Belum, mandiin Aca ya!"

"Aci juga mau di mandiin!"

"Oke deh!"

Aisyah Aqilah || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang