Bagian 22

323 51 19
                                    

Donghae menutup botol kaca terakhir yang berisi darah Jeonghan. Darah ini sudah cukup membuat ramuan penangkal.

Tubuh Jeonghan terlihat sangat mengenaskan sekarang. Kulitnya keriput membungkus tulang. Tidak ada Jeonghan sang malaikat, yang melihat pasti mengira dia adalah mumi. Jeonghan sudah tak mampu berteriak seperti sebelumnya untuk mengekspresikan rasa sakitnya. Dia sudah sekarat, sekedar bernafaa saja sudah berat untuknya.

Sebuah botol kaca kecil dari dalam berangkas tersembunyi Donghae keluarkan. Botol terakhir yang bisa mengembalikan darah Jeonghan.

"Maaf Jeonghan, pasti sangat menyakitkan. Aku berjanji ini yang terakhir, kedepannya kita semua akan menjaga agar tak setetes darahpun keluar dari tubuhmu." Donghae membuka penutup botol, menuangkannya kedalam mulut Jeonghan.

Air mengalir kedalam kerongkongan Jeonghan. Perlahan tubuhnya kembali menggemuk, tak seperti tulang berbungkus kulit lagi. Paras malaikat Jeonghan sudah kembali.

Mata Jeonghan berkedip, menahan silau cahaya lampu diatasnya. Kapan terakhir kali dia merasakan sakit luar biasa seperti ini? Ah, sepertinya bertahun-tahun lalu saat dirinya menjadi kelinci percobaan pertama kalinya. Jeonghan kecil pertama kali merasakan benda tajam masuk ketubuhnya. Diruangan tertutup yang dipasangi kaca disalah satu dingdingnya. Sudahlah, dia tak mau memgingatnya kembali.

"Hyung..." Suaranya parau, tenggorokannya kering dan perih.

Donghae mengelus rambut Jeonghan lembut. Memberi tatapan bangga pada adiknya yang telah berjuang.

"Tidurlah dulu, kau perlu waktu mengembalikan tenagamu."

"Bisakah aku kembali ke kamar? Aku tak nyaman tidur disini."

Donghae tau, Jeonghan masih tidak suka ditempat seperti ini. Tempat yang dipenuhi buku, benda tajam, tabung kaca dan lainnya, dia tak suka laboratorium.

"Wajahmu masih sangat pucat aku tak yakin kau bisa kembali sendiri. Biarkan aku menggendongmu kekamar."

"Tidak hyung... kau harus mulai meracik ramuannya kan... Aku... bisa melakukannya sendiri." Bagaimana Donghae bisa percaya kalau bicara saja Jeonghan masih bersusah payah.

Donghae mengangkat tubuh Jeonghan paksa, menggendongnya ala bridal style. "Jangan selalu berlaga kuat Han, saat bersamaku kau sama seperti yang lain. Adik kecil yang harus kulindungi, berhenti bersikap paling dewasa."

Kepala Jeonghan sangat berat. Jika biasanya dia akan menimpali ucapan Donghae, sekarang ia hanya mengusakkan kepalanya ke dada bidang hyungnya. Hangat, Jeonghan itu sangat suka dipeluk. Hanya saja sikap sok dewasanya, membuat Jeonghan melupakan hal-hal favoritnya. Dia harus terlihat dewasa, berwibawa dan dapat diandalkan.

Masuk kebangunan utama Donghae bertemu Seungkwan yang baru turun dari kamar Hoseok. Matanya bengkak, hidungnya merah, terlihat jelas ia baru saja menangis.

Seungkwan berlari kencang saat melihat yang berada didekapan Donghae adalah Jeonghan.

"Jeonghan hyung!!!"

Seungkan tak percaya akan yang ia lihat. Tak ada yang kurang dari tubuh Jeonghan, tapi ia baru pernah melihat wajah Jeonghan sepucat ini. Mirip mayat yang baru saja dibangkitkan.

"K-kenapa dengan Jeonghan hyung??? Mengapa wajahnya sangat pucat???" Air mata Seungkwan sudah siap lolos kembali.

Dibelainya pipi Jeonghan yang sudah terlelap perlahan, tak ingin hyungnya terbangun. Dari semua penyebab rasa pedih didunia, melihat saudaranya terluka atau sakit adalah suatu yang paling menyakiti Seungkwan.

"Seungkwan adikku yang paling cerah seperti matahari. Kau anak yang pintar kan, bisa hyung meminta bantuanmu? Sekarang Jeonghan sangat membutuhkan Seungkwan." Donghae berbicara secara halus. Seungkwan hanya mengangguk sembari terus menatap wajah Jeonghan.

Righteousness Where stories live. Discover now