12 "Aku dan Kebahagiaanku, Kamu dan Penderitaanku"

56 11 0
                                    

Updatenya pagi soalnya lagi mood dan lagi sempat 😁

Jika ada koreksi, pendapat, apapun itu, jangan segan meninggalkan komentar.

Happy Reading 🥰
- iaroalix


***


"Terima kasih sekali lagi. Saya harap kita bisa bekerja sama di lain kesempatan."

Riuh tepuk tangan menyambut ucapan perpisahan Baswara dengan karyawan City News.

"Kalau begitu, ayo makan siang untuk merayakan," Gia menawarkan dan disambut antusias koleganya.

"Umm, maaf karena saya dan Derana tidak bisa ikut." Penolakan Baswara mengagetkan mereka. Juga Derana.

"Kenapa, Pak?"

"Saya akan makan siang dengan Derana." Jawaban yang bahkan lebih mengagetkan.

Derana mengerutkan wajah pada Baswara, berharap Baswara menarik kalimatnya. Namun hanya senyuman yang ia dapat.

Dalam persekian detik mereka melongo. Berusaha mencerna momen canggung sedikit menggemaskan yang sedang terjadi.

"Ahh.. Oke, oke," ucap Gia menyeringai. Disambut anggukan dan senyum sipu yang lain.

"Kalau begitu kami duluan. Nikmati makan siang kalian berdua."

"Iya."

Gia berlalu yang lain mengikuti. Dengan bisik dan kekehan keramaian yang menghilang dari pandangan Baswara dan Derana.

"Kenapa mengatakan itu di depan semua orang??"

"Memangnya kenapa?"

"Tidak masalah. Hanya saja, ini terasa bukan momen tepat untuk memberitahu semua orang."

"Saya rasa ini momen tepat. Momen bahagia."

"Tetap saja. Aku 'kan malu..." Suara Derana yang mengecil menuju akhir kalimatnya.

"Kamu malu?"

"Bu..bukan begitu maksudku ...."

"Iyaa, saya tahu," potong Baswara merangkul Derana yang masih tersipu.

"Ya sudah, ayo pergi. Perut saya sudah bunyi dari tadi," lanjut Baswara. Kali ini mengeratkan jari-jarinya di sela jari Derana.

Baru beberapa hari lalu, perasaan berbunga itu lagi mekar-mekarnya. Kebahagiaan yang menggantikan seluruh kesedihan Derana membuatnya tak kunjung berhenti bersyukur untuk setiap detik yang menyadarkan bahwa Baswara kini berdiri di sisinya. Bahwa Baswara mencintainya setulus itu.

....

"Saya tidak tahu ada restoran di sini."

"Bapak kurang bergaul sepertinya."

"Kamu ini, masih saja."

"Maaf-maaf, aku masih berusaha menghilangkan kebiasaan itu."

Rasa bersalah yang ditunjukkan Derana membuat Baswara terkekeh. Menggemaskan.

"Kamu juga tidak usah menggunakan "saya". Supaya tidak terlalu formal."

"Umm, oke. Akan aku coba. Aku terbiasa dengan hal formal."

Kali ini kekehan Derana yang terdengar. Dan Baswara mengikuti.

"Oh iya, aku baru saja membeli sebuah vila di Labuan Bajo dan berencana pergi untuk mengeceknya sabtu ini. Ayo pergi bersamaku."

Uhukk

"Tiba-tiba?" Derana terkejut. Belum cukup seminggu hubungan mereka berjalan namun Baswara terus memberikan perlakuan terlalu istimewa. Meminta punya hak untuk hidupnya tempo hari, kali ini liburan mewah ke vila pribadi. Sesuatu yang membuat Derana merasa tidak layak untuk itu. Dengan sedikit ketakutan bahwa harapannya sendiri yang akan kembali melukainya.

"Apakah tidak sebaiknya bersama rekan kerjamu saja. Aku merasa ...."

"Kenapa?"

"Aku hanya..."

Kali ini bukan hanya ketidakyakinan yang menghentikan kalimat Derana namun genggaman tangan Baswara juga. Yang menguat setelah bola mata mereka bertemu.

"Kamu adalah pasanganku. Seperti kubilang sebelumnya, aku ingin kamu berhak atas hidupku. Mulai sekarang, aku ingin kamu ada di setiap pilihan yang aku ambil. Termasuk pembelian vila itu."

"Tapi aku juga tidak akan memaksa. Kalau kamu merasa ...."

"Aku akan pergi."

Jawaban yang mengangkat pandangan Baswara secepat kilat. Disusul senyum lapang yang merekah. Senyum yang Derana lihat tempo hari di bandara.

"Terima kasih."

Obrolan mereka berlanjut. Perbincangan yang diselingi tawa. Melewati detik yang menelan menit dan menit memusnakan jam. Menggantikan matahari dari posisinya di sudut langit.

"Sudah mulai gelap. Sebaiknya kita pulang. Aku harus menjenguk Mama."

"Oh iya, kamu benar. Tunggu ya, aku bayar dulu."

"Oke."

Baswara berlalu. Tidak lama sampai ia kembali dan menggenggam kuat tangan Derana keluar dari restoran bergaya vintage itu. Meninggalkan tempat yang akan mereka ingat sejak hari itu.

***

"Sudah hampir setahun kita bersama, dan kamu masih saja sulit berubah!"

"Akh! Aku?? Kamu yang tidak bisa mengerti, Karsa!"

"Sekarang aku?? Kamu Cecil! Kamu menghabiskan malam bersama pria itu!"

"Dan kamu pikir aku tidak tahu??!"

"Aku tidak melakukan apa-apa!! Aku hanya mengantar dokumen dan melakukan rapat singkat!"

"Di dalam kamar hotel?? Berdua??! Sudah jelas kamu tidur dengannya!!"

"Tidak, Karsa! Aku tidak melakukannya... Aku serius... Aku hanya mencintaimu!"

"Sekarang keluar! Aku tidak ingin melihatmu lagi!! Keluar!!"

"Baiklah..baiklah... Dengarkan aku dulu."

Cecil menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya. Yang terjadi adalah kecelakaan. Ia tahu ini mungkin akan menghancurkan hati Karsa, namun jujur mungkin akan memberikan kesempatan.

"Aku khilaf saat itu. Aku mabuk, aku tidak menyukainya! Sedikit pun!"

Karsa tersenyum miring. Juga tercenggang. Jujur saja ia berharap Cecil terus menyangkal sekuat tenaga walau itu kebohongan. Sayangnya kebenaran itu keluar dari mulut Cecil bahkan tanpa ancaman.

"Dengar!! Mulai sekarang tidak ada lagi kita! Kita sudah berakhir. Sekarang keluar!!"

"Tidak Karsaa, dengarkan aku dulu..."

"KELUAR!!!" teriak Karsa. Menyeret Cecil di lantai apartemennya. Melemparnya keluar lalu membanting kuat pintu.

Suara rengekan Cecil masih terdengar dari balik pintu. Memohon pada Karsa mempertimbangankan sekecil apapun alasan untuk memaafkannya. Namun Karsa menghindar sejauh mungkin. Masuk dalam kamar dan mengunci pintu. Membiarkan dirinya tersungkur di sudut ranjang. Membiarkan sisa tenaganya melepaskan rasa sakit itu.

Tidak ada yang salah dari air mata seorang pria yang ditumpahkan. Apalagi alasannya untuk meleburkan rasa sakit. Hal itu adalah apa yang Karsa yakini sejak dulu. Ia yakin bahwa air mata adalah penilaian paling adil dan pengungkapan paling jujur.

Air matanya menderas. Tidak berkurang sedikit pun untuk pekhiatan dari wanita yang paling singkat ia kenal namun yang ia berikan rasa cinta paling dalam.

Karsa memukul-mukul dadanya untuk penyesalan yang semakin ia sadari. Kebodohan yang secara sadar memberikan semua kepercayaannya pada wanita yang ia tahu namun ternyata tidak ia kenal.

Penyesalan itu mengais-ngais rasa sakit yang menumpuk. Lalu sampai pada dasar. Yaitu masa lalu.

Jadi ini yang kamu rasakan.

Ini yang kamu lalui.

Rengekan Karsa bersama napas tersengatnya memenuhi ruangan. Terdengar begitu memilukan dengan dominan rasa bersalah. Dan kalimat yang terucap berulang...

"Maafkan aku..."

"Maafkan aku... Derana."

***

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Where stories live. Discover now