19 "Luhan dan Andrea" - Part II

33 5 0
                                    

Hallo Readers!

Selamat datang kembali dan terima kasih masih setia membaca.

Ini masih lanjutan episode sebelumnya yang menceritakan akar permasalahan  "Apakah Kita Akan Bahagia?"

Jika ada saran, masukan, kritik, typo, silahkan komen, yaa.

Happy Reading! 🥰
- iaroalix

***


Decitan pintu kamar membangunkan Wuyan sedikit terkejut. Namun sejak dua jam lalu kesadarannya tidak pernah benar-benar hilang. Menanti kepulangan suami dari luar kota.

"Sudah pulang?"

"Iya."

"Bagaimana perjalan dari Jogja?"

"Lancar. Tidak usah bangun. Lanjutkan saja tidurmu," ucap cepat Luhan menghentikan gerakan Wuyan.

"Tapi barang-barangmu?"

"Tidak apa-apa. Besok saja. Ini sudah malam. Tidurlah."

"Uumm. Cepatlah istirahat, kamu pasti sangat lelah."

"Iya. Aku membersihkan diri dulu."

"Uum."

Wuyan mecari kembali posisi ternyamannya. Perasaan lega melihat Luhan setelah seminggu tidak bertemu membuat matanya tertutup perlahan ditemani senyum tipis. Ia bahagia.

Dua puluh menit kemudian gerakan kecil di ranjang mengembalikan kesadaran Wuyan. Terbaringnya Luhan di atas kasur membuat perasaan tenang itu menguat. Walau tengkuk yang ia tatap kini. Ia memahami. Suaminya pasti kelelahan. Mungkin itu posisi terbaik untuk melebur lelahnya. Lagipula ini bukan pertama kali.

Namun mata yang hampir menutup sempurna itu terbelalak tiba-tiba. Seolah menemukan cahaya menyayat dari permukaan kulit leher Luhan. Bintik dan ruam merah sedikit lebam membuat napas Wuyan tersengat dalam keheningan malam. Dengan rasa ngilu di ulu hati, bola matanya bergetar dengan ribuan ketakutan yang berusaha ia tentang.

Tidak mungkin.

Luhan tidak mungkin seperti itu.

Suamiku tidak akan melakukan itu.

***

Kali ini ada yang berbeda di ruang makan setelah beberapa tahun. Matahari belum tampak seutuhnya namun suara nyaring piring dan gelas di wastafel sudah memenuhi ruangan.

Wuyan membasuh setiap sela dan sudut piring kotor. Mengorek semua kotoran agar tidak menganggu. Namun bergerak selincah apapun, pikirannya masih tidak di tempatnya.

"Selamat pagi." Sapaan Luhan tidak membuatnya bergeming.

"Kenapa ribut sekali?"

Wuyan masih terdiam.

"Maa..."

"Ya?"

"Sedang melamun?"

"Ah, tidak," sangkalnya.

"Kalau begitu aku pergi."

"Tidak sarapan?"

"Di kantor saja. Derana bisa terlambat."

"Kubuatkan bekal?"

"Tidak usah. Tidak apa-apa."

"Ya sudah. Kalian hati-hati."

"Iya." Luhan mengakhiri dengan kecupan di dahi. Satu lagi tindakan asing Luhan yang membuat Wuyan tercegang.

Luhan bukan pria yang romantis. Terakhir kali Wuyan rutin mendapat ciuman dahi dua tahun setelah pernikahan mereka. Setelah itu hanya sesekali. Jika ada kabar baik di perusahaan. Juga kebiasaan pulang agak larut sejak beberapa bulan lalu. Awalnya tak disadari, kini mulai mengusik.

Wuyan adalah istri yang mempercayai pasangannya dengan semua yang ia punya. Baginya, keraguanlah yang melahirkan pengkhianatan. Karena itu, bagaimana pun atau apa pun yang Luhan lakukan adalah normal. Sejak berpacaran, Luhan bukan pria yang pandai menunjukkan emosi.

Namun segala hal yang ia maklumi menjadi buram sejak ruam merah yang ia lihat semalam. Kesadaran membuat suara di kepalanya, bahwa mungkin Luhan bukan tak mampu menunjukkan perasaan, tetapi mungkin ia sudah tidak punya perasaan untuk ditunjukkan.

Suara-suara itu menghentikan gerakan tangan Wuyan. Dengan langkah cepat menuju kamar tidur. Ia mengacak-acak koper Luhan. Mencari sesuatu yang tak diketahui. Namun sampai ke sela kantong kecil pun tidak ada yang mengarah pada kekhawatirannya.

"Sepertinya aku berlebihan."

"Itu bisa saja karena serangga."

Wuyan menghela panjang.

Menenangkan pikirannya yang menjadi liar sesaat lalu. Penyesalan sedikit muncul. Seharusnya ia berpegang pada kepercayaan yang ia ciptakan sendiri.

Dengan urat yang lebih kendur, Wuyan melanjutkan pekerjaan. Kali ini tumpukan pakaian di mesin cuci.

Dan sekali lagi, gerakannya terhenti. Bukan lagi mata. Kembang-kempis hidung Wuyan menelaah aroma di kemeja putih yang Luhan kenakan semalam.

Satu lagi hal asing. Sudah belasan tahun ia mengenal pria itu dan tidak pernah ia mencium aroma soft seperti ini di tubuhnya. Sebagai wanita ia tahu betul, ini parfum wanita.

Jika sudah sejauh ini, di mana lagi kepercayaan bisa berpegang.


***

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Where stories live. Discover now