21 "Akhir Kita"

47 5 0
                                    

Ost: Aku yang Terluka - Judika
(Btw ini lagu baru Judika dan aku baru pertama kali denger dan kagetnya ternyata cukup cocok sama episode ini. Sambil baca silahkan didengar lagunya ya readers, sedih bangett 🥺)
-

Hallo Readers!

Maaf ya, baru bisa update 😁🙏

Selamat membaca kembali. Jika ada saran, kritik, typo, apa pun silahkan komen, ya.

Happy Reading! 🥰
-iaroalix

***



Hari ini banyak yang berbeda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari ini banyak yang berbeda. Dimulai beberapa hari lalu. Salah satunya ruang rapat yang dipindah. Kini di lantai tiga. AC ruangan sebelumnya bermasalah.

Pak Handi, kepala Divisi Penyiaran sedang menjabarkan beberapa program yang akan dilanjankan divisinya. Dan semua mengangguk. Entah benar-benar paham atau sandiwara agar tampak peduli.

Derana mencoba untuk betul-betul peduli. Kerja keras harusnya dihargai. Walau pikiran kacau-balau. Terlalu berisik di sana hingga suara pintu yang dipaksa dibuka pun tak terdengar.

"Pak Baswara??" Ucap Yoana terkejut, juga mengembalikan kesadaran Derana.

Derana mendongak pada sosok pria tegap di depan pintu. Mendapati banyak amarah di sana.

"Maaf, saya harus bicara dengan Derana."

"Oh, silahkan, Pak," ucap Pak Handi. Tentu ia mengenal Baswara.

"Ayo," perintah Baswara menarik paksa tangan Derana.

"Tapi aku sedang rapat!"
Baswara acuh. Tarikannya menguat.

"Baswaraa.. Sakiit..." keluh Derana akibat genggaman kuat Baswara yang tampak tidak melonggar.

Mata Baswara tertuju pada ruang penyimpanan di ujung lorong. Terlihat tak akan dikunjungi. Lalu menarik Derana ke dalam dan menutup pintu.

Runtutan pertanyaan itu tertahan akibat rasa sesak yang membuat Baswara kesulitan bernapas. Dalam ruangan hening napasnya mematul kuat di telinga Derana.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Derana datar. Semakin menggetirkan didengar.

"Jika aku melakukan kesalahan harusnya kamu katakan! Bukannya menghilang!!" Banyak amarah tampak pada kedua bola mata Baswara yang bergetar. Derana melihatnya dengan jelas.

"Jadi, ada apa??!"

Derana mematung. Menurunkan pandangannya pada lantai berdebu itu. Tindakan yang membuat amarah Baswara menukik tajam.

"Lalu bagaimana aku bisa memperbaikinya jika kamu hanya diam?!"

"Katakan, Derana! Ada a ...."

"Kita berakhir saja."

"Hahh??"

"Aku bosan. Hubungan kita membuatku bosan."

Jawaban yang membuat tangan Baswara meluncur bebas di lengan Derana. Tidak lagi punya tenaga untuk menguncang tubuh mungil itu.

"A..apa maksudmu?? Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak."

"Sejak awal aku tidak mencintaimu,"  ucap Derana datar seperti sebelumnya. Namun yang ini jauh lebih menyakitkan.

"Hubungan kita hanya upayaku untuk bisa melupakan Karsa. Dan sekarang aku sudah melupakannya. Jadi semua menjadi membosankan."

Jiwa Baswara terasa meninggalkan raganya. Meninggalkan tubuh tanpa tenaga. Hanya bibir yang bergetar tanpa suara dan mata yang berair tanpa tangisan. Semuanya tertahan.

"Kamu bercanda 'kan?? Kamu mengerjaiku??"

"Apa aku terlihat bercanda?" ucap Derana mempertahankan mimik datar. Mempertegas kalimatnya.

Hah!!, suara yang terdengar beberapa kali. Amarah dan kekecewaan yang sepertinya tidak menemukan perhentiannya.

Semua terjadi begitu cepat. Tindakan tidak terduga Derana beserta keputusannya. Ia tak pernah tahu manusia akan begitu kejam. Pikiran naif yang malang.

Banyak amarah yang memaksa diluapkan namun tak tahu bagaimana. Dan pada siapa. Pada Derana yang menyakiti atau diri sendiri yang jatuh terlalu dalam.

Baswara menggigit bibir bawah dan menunduk. Mengusap cepat air mata yang tumpah. Mengumpulkan akal sehat yang hampir menghilang.

"Oke. Kita putus."

"Tapi ingat, jangan pernah muncul di hadapanku! Sekali pun!!" bentak Baswara. Kemudian membanting pintu dan berjalan keluar dengan langkah lebarnya.

Derana menutup pintu perlahan setelah Baswara benar-benar hilang dari pandangannya.

Lalu ia tersungkur. Jatuh ke lantai setelah sisa tenaga yang menopang kakinya sejak tadi tak lagi sanggup. Rasa sakit yang ditumpuk, meledak dan menghamburkan tangisan dalam persekian detik. Banyak bilah yang mengiris dan banyak pukulan yang menyesakkan. Begitu menyakitkan.

Membohongi perasaan dan menabur luka pada seorang yang mengajarkan arti kebahagiaan membuat rasa sakit itu tak kunjung menemui jalan akhirnya.

Dengan tubuh yang bergetar, Derana menutup mulut untuk meredam suara isakannya. Ia merengek seperti anak kecil. Namun kali ini tak ada lagi tenaga tersisa untuk memukul.

Bahkan dengan banyak air mata yang tumpah tidak mereda penderitaan itu.

Takdir melakukannya lagi. Memperkuat dugaan Derana yang sempat ragu. Bahwa ia tidak akan bahagia.

....

Tatapan kosong itu masih di sana. Menatap lurus pada layar hitam gawainya.

"Kenapa melamun?"

"Kak... Tidak ada apa-apa."

"Dengan Derana?"

"Tidak."

"Tidak usah berbohong. Kakak tahu saat kamu berbohong."

Baswara tertawa kecil.

"Jadi ada apa?"

"Kami sudah berakhir."

"Loh! Kenapa??"

"Dia mengakhirinya. Dia bahkan mengaku, dia tidak pernah mencintaiku. Sejak awal."

"Ah, tidak mungkin. Dia jelas berbohong."

"Tidak, Kak. Dia mengatakannya langsung."

Andrea menghela napas pendek. Duduk di samping Baswara kemudian.

"Kakak ini perempuan. Kakak tahu bagaimana jika seorang perempuan jatuh cinta. Dan Kakak melihat itu jelas di Derana. Dia sangat mencintaimu."

"Tapi Kak, dia mengatakannya dengan serius! Dia tidak mencintaiku!" bentak Baswara. Suaranya bergetar. Amarah itu masih di sana.

"Kamu ini. Ya sudah, nanti Kakak bantu bicara dengan dia. Kakak sangat yakin, dia mencintaimu. Kalian saling mencintai."

"Dan jika seorang wanita jatuh cinta, perasaan itu tidak pernah benar-benar berubah."


***

Apakah Kita Akan Bahagia? (END) Where stories live. Discover now