Papa mengusap wajahnya.
"Terus uang buat tas Citra Mama pake buat apa?"

Mama mengusap bahu Papa.
"Waktu itu Zara minta dibeliin skincare jadi Mama kasih uangnya ke Zara," Mama melirik kesal pada Zara, padahal Mama sudah meminta tas ransel bekas itu untuk adiknya, ketika ia merengek minta dibelikan produk kecantikan terbaru.

Papa dan Citra menatap Zara yang mengibaskan rambutnya dan menunduk berpura-pura gila. Ia melempar tas ransel itu ke dada Citra.
"Ya udah ni ambil barang bekasku! Ambil aja semua!"

Citra menahan gelegak emosi di dadanya. Ia melempar ransel itu ke wajah Zara.
"Ambil aja, biar aku bawa barang-barangku sendiri."

"Eh eh jangan, udah pake aja," Zara memungut tas itu lalu menepuknya dan memberikannya pada Citra yang terlanjur kesal dan mulai menangis.

Citra merapikan buku-buku serta alat tulisnya yang berantakan di lantai.
"Aku bisa pake tas karton atau pakai kresek sekalian!"

Papa menatap lirih pada puterinya yang selalu saja mengalah pada Kakanya yang egois, serta Mama yang lebih mendahulukan segala permintaan sang Kaka dibandingkan dirinya. Sifat kekanak-kanakan Zara ini juga yang membuat Papa tidak bisa menaruh kepercayaan untuk melepasnya ke Belanda seorang diri.

Citra terisak dan berkata lirih.
"Mama enggak adil, apa aku ini anak pungut."

Papa menatap Zara seperti ingin menelannya lalu melangkah lebih dulu kembali ke kamarnya, disusul langkah sang isteri yang kini merasa bersalah.Zara menendang kotak pensil yang hendak dipegang Citra.
"Ups sorry anak pungut!”

Citra mengusap air matanya dan menunjuk pintu.
"Keluar sekarang!"

Zara pergi sambil memeluk ranselnya.
"Maling iyuhhh!"

Begitu pintu kamarnya tertutup, Cit merebahkan dirinya di atas ranjang, membiarkan bantalnya basah oleh titik air di ujung rambut dan air mata yang bergulir. Ponselnya berdering, hanya sebuah andorid jadul, bekas Zara yang sedikit bergaris layarnya. Namun berkat ponsel ini juga, ia bisa memiliki kesempatan bertemu dengan Can di dunia nyata.

"Git, aku-aku enggak punya tas," Cit tak kuasa menahan suaranya yang bergetar.

"Cit, sabar. Nanti aku jemput kamu, aku bawain ranselku ya. Oke, jangan nangis ya."

Yigit menjemput Citra yang menunggu di depan pagar sambil memeluk buku-buku serta alat tulisnya di dalam tas karton swalayan. Yigit menyodorkan ransel hitamnya lalu Cit merapikan semua barangnya tanpa suara. Cit naik ke boncengan motor Yigit, lalu mereka pun tiba di sekolah hingga berpisah di depan kelas.

Cit memutar tubuhnya berhadapan dengan Yigit, mengusap wajahnya yang sedikit sembab lalu membesarkan kedua bola matanya dengan senyum palsu yang susah payah ia pasang.
“Aku masih kelihatan cengeng enggak?”Menatap mata Yigit, Cit justru kembali berkaca-kaca. “Air matanya enggak bisa berhenti.”

Yigit mengusap air mata di pipi Cit lalu mencengkram kedua bahunya.
"Cit kalau kamu nangis terus nanti SMA Garuda kebanjiran gimana? Jangan ngerepotin BASARNAS ya Non."

Citra tergelak lalu mengelap air matanya di lengan kemeja Yigit, hingga Yigit menarik telinganya.
"Eh, eh korok banget Non. Tu ada ingusnya ngejiplak lagi."

Cit mengelap hidungnya.
"Apaan si orang enggak ada ingusnya."

Yigit terkekeh, menepuk pelan kepala Citra lalu memutar bahu Citra, Yigit menyingkirkan rambut Citra yang terurai ke belakang telinga dan berbisik.
"If the worst thing that you can't is holding your tears, you should to know that the hardest thing for me to see you get hurt."

PETERCANWhere stories live. Discover now