19

2.2K 398 41
                                    

"Bi, apa mau ikut denganku setelah melahirkan nanti?" Hinata bertanya kepada kepala pelayan. Semalam Naruto mengatakan akan memberinya sebuah rumah dan seorang pelayan, jika boleh dirinya ingin membawa kepala pelayannya saja, Bibi juga yang sudah merawatnya sedari kecil.

"Nyonya ingin pergi kemana hm?" Kepala pelayan mengusap punggung tangan puannya yang terasa dingin, sepertinya dia agak kurang sehat pagi ini.

"Aku tidak tahu, tapi aku ingin pergi dari Nagoya." Hinata akan mengalah, dirinya yang akan pergi dari sini.

"Ke kampung halaman Bibi di Okinawa bagaimana?" Kepala pelayan berucap lembut. "tempatnya sangat indah dan nyaman."

Hinata mengangguk cepat dan menyetujui ucapan kepala pelayan. "Nanti aku akan mengatakan pada Naruto, aku ingin tinggal di Okinawa."

"Bagaimana dengan pelayan lainnya?" Bibi pelayan sedikit bingung, kenapa hanya dirinya yang diajak pergi?

"Pelayan lain akan tetap di sini, melayani Naruto. Aku memintanya untuk mencari wanita lain yang bisa memberinya anak laki-laki." Hinata menatap kepala pelayan dengan kesedihan yang dia tahan mati-matian di dalam hatinya.

Kepala pelayan masih mengusap tangan puannya. Pantas saja matanya yang indah nampak sembab pagi ini, ternyata dia baru dilukai lagi. "Tuan Hiashi pasti sangat marah jika dia bisa melihat ini."

Hinata menoleh ke arah pekarangan, pusara makam ayahnya. "Tak apa, aku tidak ingin menyesali keputusan Ayah lagi."

Kepala pelayan menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Dia lalu mengusap bahu puannya dengan lembut. "bayi perempuan juga bisa membawa kebahagiaan. Seperti dulu saat Nyonya lahir, Tuan Hiashi dan Nyonya Hikari sangat bahagia." Masih jelas dalam ingatannya pada saat itu. Malangnya saat ini situasi berubah seratus delapan puluh derajat.

Hinata mengangguk "anak ini akan jadi kebahagiaan untukku, bukan untuknya."

...

Naruto menatap map di atas meja ruang kerja. Rencana pembukaan kasino akan dirinya pikirkan mulai sekarang. Ada beberapa titik yang membuatnya tertarik di Osaka.

Dirinya mungkin akan segera pergi ke sana untuk melihat langsung tempat yang dijanjikan Tuan Saito.

Di tengah kesibukannya di ruang kerja tiba-tiba saja pintu geser diketuk pelan, terdengar ragu dan menyedihkan.

Naruto menoleh dan mendapati istrinya yang menghampiri. Ia memadamkan cerutu di atas asbak begitu mendapati wanita itu melangkah masuk.

"Bolehkah aku pergi membeli buah di dekat ladang? Kepala pelayan akan mengantar" Hinata meminta ijin kepada suaminya, sebab sudah lama dia tak diijinkan keluar, saat pria itu ada di sini mungkin dirinya diperbolehkan.

"Minta penjaga membelinya, kau tunggulah di rumah." Ucap Naruto secara mutlak.

"Aku tak pernah pergi keluar rumah sejak tiga bulan terakhir, hanya hari ini saja apa tidak boleh?" Hinata meminta sekali lagi. "Aku akan segera pulang."

Naruto entah kenapa tidak percaya, dia takut wanita itu pergi, mungkin sebab dia tak pernah memperlakukan wanita itu dengan cukup baik sehingga dirinya merasa khawatir akan ditinggalkan. "Biar aku yang mengantar."

Hinata agak terkesiap, namun dia tak menolak justru berterima kasih.

...

Sore itu, angin berembus cukup kencang di kaki gunung Komaki. Suara lonceng-lonceng besar yang tertiup angin di kuil terdengar hingga ke jalan.

Sepasang Uzumaki itu berjalan bersisian, ini bukan kali pertama mereka berada pada situasi seperti inj. Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan.

Hanya sekantung plum dan kiwi yang mereka bawa kembali dari toko buah itu.

As You RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang