32. Obsesi

519 188 86
                                    

"Cinta tanpa obsesi itu mustahil. Aku mencintaimu sekaligus terobsesi untuk bisa memilikimu seutuhnya."

Selamat Membaca

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selamat Membaca...

Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah jendela, berhasil membuatku terbangun dari mimpi buruk. Baru kali ini aku bermimpi seburuk itu. Bahkan, aku tak ingin mengingat dengan jelas kejadian yang terjadi dalam mimpiku tadi malam.

Aku mengerjapkan mata beberapakali, sembari menghalau cahaya matahari yang menyinari wajahku menggunakan telapak tangan. Rasa silaunya benar-benar menusuk indera penglihatanku. Berkali-kali tanganku berusaha mencari keberadaan ponsel, yang biasanya kutaruh tak jauh dari tempatku tertidur. Tetapi, aku tak juga menemukan keberadaan ponsel itu.

Baru saja aku ingin membangunkan tubuhku dari kasur, untuk mencari ponselku yang tiba-tiba saja menghilang. Namun, aku tak kuasa menahan rasa sakit yang terasa disekujur tubuh. Terlebih saat kepalaku terasa seperti berputar dan sedikit meninggalkan rasa pening.

"Kepala gue kok pusing banget," keluhku pelan sembari memijat kening. "Hape gue mana lagi, biasanya gue taruh di samping guling. Kenapa sekarang tiba-tiba hilang?"

Aku memilih untuk memejamkan mata sejenak, untuk menetralkan rasa pusing yang masih menyerangku. Kemudian kedua netraku menatap sekeliling kamar, memandangi setiap sudut kamar berwarna abu-abu itu.

"Hah?!" Aku menganga saat menyadari kalau ini bukanlah kamarku yang sebenarnya. "Ini gue ada di kamar siapa?!"

Aku berjalan menuju jendela untuk melihat pemandangan sekitar. Mataku benar-benar melotot saat melihat pemandangan yang biasanya menampilkan deretan rumah mewah, kini pemandangan itu berubah menjadi tempat yang sangat menyeramkan.

Sekarang aku sedang berada di sebuah rumah, yang berada di tengah hutan belantara. Kedua mataku tak menemukan satupun rumah penduduk, selain rumah yang sedang kusinggahi sekarang. Semua pemandangan itu terisi oleh deretan pohon besar dan rindang yang menjulang tinggi. Di sebelah kanan terdapat jembatan dengan sungai yang mengalir di bawahnya.

Semuanya terasa sunyi, aku hanya dapat mendengar suara derasnya air dari arus sungai di bawah jembatan itu. Tak ada tanda-tanda kehidupan, selain aku yang masih setia berdiri mematung di dekat jendela.

Aku menggelengkan kepala samar, melihat tempat asing yang sama sekali tak pernah di kunjungi.

"Nggak... Nggak mungkin... Gue pasti mimpi. Iya, gue pasti lagi mimpi..." kataku dengan tubuh yang gemetar.

Berkali-kali aku mencoba untuk mencubit diriku sendiri, bahkan menampar pipiku untuk terbangun dari mimpi ini. Mimpi paling buruk yang pernah menjadi bunga tidurku.

Tubuhku semakin gemetar hebat, terlebih saat aku merasakan rasa sakit akibat dari cubitan dan tamparanku sendiri. Semuanya terasa sangat nyata. Situasi ini semakin membuat dadaku terasa sesak, karena serangan panik yang tiba-tiba saja menyerangku.

Rumah Kedua [COMPLETED]Where stories live. Discover now