17. Ingatan Masa Lalu

478 277 87
                                    

"Ketika semua orang beranggapan bahwa obat dapat menjadi alasan untuk menyembuhkan luka. Seringkali kita lupa, memaafkan menjadi bagian paling penting sebagai penyembuh dari penyebab luka itu."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Selamat Membaca...

Aku memerhatikan pantulan wajah Salma yang sedang sibuk mengikat rambutku melalui cermin kecil. Rasanya aku harus mengganti baju karena keringat yang terus mengucur membuat baju kemejaku semakin basah. Beruntung aku selalu membawa baju ganti setiap hari, sehingga tak perlu khawatir lagi kalau sewaktu-waktu memerlukan baju ganti.

"Rambut lo ngapain digulung gitu? Jadi makin panas gue liatnya," oceh Ken yang sedang memerhatikanku.

"Ih najis," sahut Salma dengan wajah ketusnya. "Lo minta digebuk sama Hima, ya?"

"Belum ada janur kuning, kan?" Ken kembali bertanya. "Selama dia belum nikahin Sabita, gue bebas dong mau flirting apa aja ke ceweknya?"

Salma melirik sinis laki-laki bule yang sedang memandangnya dengan tatapan menyebalkan.

"Lo emang manusia paling nyebelin seantero dunia."

Ken mendecih. "Dih, ngapa jadi lo yang sewot? Lo cemburu gue godain Bita?"

"Stress, ngapain juga gue cemburu sama lo. Gue cuma mau ingetin aja, jangan godain cewek orang terus. Meskipun lo sahabatnya Bita, tapi lo juga harus bisa hargain perasaan Hima."

Ken menempelkan telapak tangannya di dahi Salma. "Lo kenapa dah? Sakit? Tumben banget nggak bisa diajak bercanda."

Salma menepis kasar tangan Ken yang masih menempel didahi mungilnya.

"Gue lagi nggak mood buat diajak bercanda."

"Kenapa si lo? Lagi datang bulan?"

Salma tak menjawab pertanyaan Ken. Ia hanya fokus memainkan ponselnya.

Aku mengelus punggungnya pelan. "Lo lagi kenapa, Sal? Lagi ada masalah?"

Salma menggeleng samar. "Nggak, Bita. Gue kayaknya lagi laper deh makanya jadi badmood gini."

"Lo yang kelaparan, gue yang kena omelan. Dasar cewek," protes Ken sambil menghisap pelan vape di tangannya.

Aku tersenyum lebar saat melihat keberadaan Mbak Una yang sedang berjalan menghampiri meja kami, dengan membawa ayam geprek dan jus alpukat pesananku. Wanita berumur 35 tahun itu masih terlihat awet muda, apalagi saat ia tersenyum sampai memperlihatkan lesung pipinya.

"Wah, terima kasih banyak, Mbak Una!" ucapku sambil mengambil piring berisikan nasi, ayam geprek dan jus alpukat dari tangannya.

"Sama-sama, Mbak Sabita. Mari mbak saya pamit dulu," jawabnya sambil berlalu pergi.

Rumah Kedua [COMPLETED]Where stories live. Discover now