27. kenyataan yang disembunyikan

Start from the beginning
                                    

"Entahlah, mendadak aku tidak selera makan."

"Bagaimana kalau mi ayam? Mungkin sesuatu yang segar bisa membangkitkan selera." Arga paham jika hilangnya selera makan Aksa akibat sakit kepala.

"Aku mau yang cepat saja. Sudah sangat capek."

Arga memutar kepala, melihat adiknya memijit pelipis seraya menyandarkan kepala di jendela. "Apa kamu sakit?" Tanpa sadar dia menanyakannya.

Dahi Aksa mengernyit saat melirik kakaknya. "Gak. Aku cuma mau tidur saja."

"Oh." Arga masih fokus menyetir dan Aksa mulai memejamkan mata.

"Sa!"

Aksa menjawab dengan sebuah dehaman.

"Apa kamu masih mempunyai rahasia yang belum kamu katakan padaku?"

"Rahasia?" Aksa masih tak membuka matanya dengan posisi sama. "Gak. Kalau pun aku punya pacar atau penggemar rahasia, akan kuceritakan biar kamu iri."

Ucapan Aksa tak membuat raut wajah Arga berubah. Seakan urat di sekitar pipi telah kehilangan daya untuk bergerak membuat sebuah simpul di bibir. Melihat sikap Aksa yang tak mau jujur, air mata meluncur begitu saja.  Dengan cepat dia mengusap dan mengatur napas agar tidak terbawa suasana. Beruntung adiknya tak mengetahuinya.

Tak ada perbincangan selama perjalanan. Aksa tertidur bahkan tak menyadari jika sudah hampir setengah jam Arga memarkirkan mobil di bahu jalan. Tak jauh warung mie ayam langganan yang berada di jalan Magelang sudah terlihat.

Setelah membuka ponsel dan mencari informasi mengenai penyakit adiknya di internet. Dia berusaha untuk tetap tenang dan membangunkan Aksa yang mendadak kesal.

"Bungkus saja, Kak. Nanti aku makan di rumah."

Dia menghela napas panjang dan menuruti kemauan adiknya. Dua buah mi ayam dengan kuah dipisah sudah didapatkan. Dengan segera dia melajukan mobil, pulang.

"Sa, sampai kapan kamu mau tidur?"

Aksa menggeliat dan berlalu keluar tanpa mengambil tasnya. Arga mengekor seolah ingin memastikan.

"Aku rasa tak perlu mengingatkan makan."

Aksa memilih menghempas diri di kamar ibunya. "Iya, nanti aku makan. Di mana tasku?" Dia bertanya dengan kondisi setengah sadar.

Biasanya Arga akan memarahi Aksa jika pulang tidak cuci tangan atau berganti baju, kali ini dia tak mengeluarkan omelannya. "Aku tak mau tahu, tapi kamu harus hidup lebih lama, Sa."

Permintaan Arga tak mendapat respon dari Aksa yang sudah berakhir di pulau mimpi. Dia mendekat dan meletakkan tas di dekat nakas. "Jangan lupa minum obatnya, Sa."

Arga menunduk dan kaca sudah menutupi matanya. Dia memperhatikan wajah, tangannya terulur ingin membenarkan anak rambut tapi diurungkan. "Padahal semua orang mati, lalu kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Kenapa kalian meninggalkanku? Apa karena aku sudah meninggalkan kalian?"

Tak ingin semakin tenggelam dalam rasa sakit yang baru kali ini dirasakan, dia memutar tubuh dan duduk di kursi tengah. Pesannya untuk membuat janji bertemu sudah mendapatkan persetujuan dari dokter yang menangani Aksa.

Meletakkan ponsel di meja. Arga menutup wajah dengan kedua tangan setelah melepas kacamata. Seketika ingatannya memutar kejadian saat pertama kali datang.

"Kenapa kamu gak ikut mati saja?"

"Tanpa elo suruh, gue bakal mati."

"I'm so sorry, Sa." Meskipun berusaha menahan kesedihan, akhirnya buliran bening kembali keluar. Dia terisak setelah sekian lama. Hatinya yang dulu sekeras batu, perlahan hancur.

Butuh waktu lama dia menguasai keadaan dan membenahi penampilannya yang berantakan. Di depan wastafel, dia mencoba menegarkan diri. Sebelum keluar menuju rumah sakit, dia kembali ke kamar ibunya. Memastikan Aksa masih dalam posisi tidur dan tidak mendengar tangisannya.

Pukul dua belas dia sudah sampai di rumah sakit. Bukannya lekas mencari ruangan dokter, dia justru belum keluar dari mobil. Seolah sedang menyiapkan mental ketika mendengarkan penjelasan yang akan disampaikan.

Berulang kali dia mengusap wajah dengan kasar sebelum memantapkan diri keluar. Berjalan menuju gedung rumah sakit, tubuhnya seakan tak bertenaga. Menapaki tangga demi tangga dengan perasaan gamang. Keramaian yang melingkupi area bahkan tak didengarnya. Dia terpenjara dalam dunianya yang sekarang berisi kesedihan.

Sesampai di depan ruangan, pandangan juga pikiran Arga kosong. Begitu namanya dipanggil, dia tersentak kaget. Jiwanya diliputi keraguan untuk melangkah. Apakah dia sanggup mendengar kenyataan yang sama kedua kalinya? Meski begitu tubuhnya sudah melewati pintu dan sebuah senyuman menyambutnya.

"Jadi Anda adalah keluarga dari Chandra Angkasa?" tanya seorang lelaki beruban dengan perawakan kecil juga pendek.

"Ya, benar."

"Silahkan duduk dulu, Pak."

"Tolong jelaskan apa yang terjadi pada Adik saya?"

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now