"Ya." Raut yang tak bisa dijelaskan terlihat saat menjawab pertanyaan kakaknya.

"Jangan terlalu memaksakan diri berlatih, Sa. Kamu harus menjaga stamina agar tidak sakit lagi."

"Berhentilah basa-basi denganku."

"Oh, bagimu ini basa basi, ya? Kupikir ini kepedulian."

"Lebih baik kamu mencari pekerjaan."

Arga tertawa kecil. "Tenanglah. Aku bekerja meski gajiku tak seberapa."

Aksa mendongak, tak percaya dengan pendengarannya.

"Aku bekerja freelance. Tak seberapa gajinya, tapi lumayan buat jajan."

Senyum tipis terukir di wajah Aksa. "Hebat. Ibu tak salah membanggakanmu."

Arga terkejut mendengar ucapan adiknya. Mengapa juga harus melibatkan ibu mereka dalam percakapan kali ini? Padahal dia berusaha meminimalisir persaingan di antara mereka.

Aksa bangkit setelah menghabiskan makannya. Menuju dapur membawa piring kotor ke wastafel.

"Kamu kurusan, Sa."

"Bajunya yang kebesaran, bukan salah tubuhku." Aksa membela diri.

Arga memutar duduknya, melihat adiknya yang sibuk mencuci piring. Dia cukup yakin adiknya turun beberapa kilo akibat sering begadang. Bukan karena bajunya.

****

Arga tak pulang ke rumah begitu mengantar Aksa ke sekolah. Apalagi setelah mengetahui pertandingan kali ini dan adiknya akan turun ke lapangan, memberikan kontribusi bagi tim walau tak lagi menjadi kapten.

Niat awal akan mengantarkan Aksa ke Gor mendapat penolakan dengan alasan pergi bersama tim, dapat dimaklumi oleh Arga. Oleh itu, dia berangkat terlebih dahulu dan mencari warung kopi seraya menunggu kedatangan.

Setengah sembilan, beberapa mobil dan bus sudah masuk ke Gor, termasuk sekolah Aksa. Begitu pintu sudah terbuka, gegas dia mencari tempat yang pas untuk menyaksikan pertandingan.

Tepat jam sembilan, pemain dari kedua kubu keluar dan berkumpul di lapangan. Arga tersenyum bangga bisa melihat adiknya ada di barisan pemain inti. Bernomor punggung sembilan dengan kaos berwarna biru.

"Kamu bisa, Sa!" teriak Arga ketika permainan akan dimulai.

Aksa mencari sumber suara dan melihat kakaknya melambaikan tangan padanya. Dia pun mengacungkan jempol sebagai jawaban sebelum fokus pada rekan juga permainan. Di lapangan yang sama, seorang lelaki menyeringai menatap Aksa. Dia sudah memotong habis rambutnya sehingga Arga tak mengenali.

Permainan dimulai, pertandingan berjalan cukup cepat. Pihak lawan berusaha menguasai bola dan mencetak angka. SMA Aksa cukup kesulitan menghadang pemain dan hanya bisa bertahan. Selebihnya berusaha maju ke daerah lawan dan mencetak angka.

Babak pertama dan kedua SMA Turi tertinggal beberapa poin. Begitu menginjak set ketiga, mereka berusaha melawan dan maju. Berulang kali Aksa memberikan asist yang disambut pertambahan poin oleh Firdaus atau Fandi.

Gemuruh sorak sorai memenuhi Gor, begitu pula dengan Arga yang senang ketika perolehan poin semakin bertambah. Suara gesekan sepatu dan lantai lapangan terdengar semakin intense, menandakan telah terjadi permainan yang panas.

Berulang kali Arga menahan napas ketika pihak lawan berhasil menguasai bola, lalu sekejab berteriak kegirangan. Melihat adiknya sudah mengoper dan membalikkan keadaan. Selisih angka yang cukup tipis membuat permainan semakin liar. Sementara perolehan nilai masih dipegang SMA Turi dengan selisih lima poin.

Tinggal beberapa menit di babak terakhir. Selisih poin belum mengalami perubahan. Setiap mendapat perolehan poin, pihak lawan akan segera bermain cepat dan membuat three point untuk memperkecil selisih.

Waktu tersisa satu menit, rekan tim Aksa lebih fokus bertahan alih-alih menyerang. Selain karena kekuatan fisik yang mulai berkurang, mereka hanya perlu berjaga selama satu menit terakhir demi kemenangan. Sedang pihak lawan semakin masif menyerang, mencari celah menambah angka. Rekan satu tim Aksa berusaha memblokade lemparan dan memberikan pada Aksa yang kosong tanpa penjagaan.

Begitu menerima bola dan berlari ke pihak lawan, seseorang langsung menyusul Aksa. Berusaha merebut dengan menyenggol hingga Aksa kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh. Beberapa rekan langsung mendekat disusul bunyi peluit tanda berakhirnya permainan.

Remaja botak yang memakai kaos kuning, mengulurkan tangan memberi bantuan Aksa untuk bangkit. Mereka saling berpelukan. Sebelum memutar tubuh, dia berbisik di telinga Aksa yang seketika terpaku.

Arga yang melihat dari atas masih belum menyadari siapa lawan Aksa, justru terjebak euforia kemenangan. Dia memberi tepuk tangan dan segera turun dari tribun begitu para pemain kembali ke tim.

Arga tak sabar ingin segera menemui adiknya. Berulang kali melongak kembali ke tim Aksa yang masih bersiap pulang. Hingga pandangannya tak menemukan keberadaan yang dicari. Ke mana Aksa?

Ah, anak itu kenapa hobi sekali menghilang.

Arga lekas mencari ke luar gor dan menuju kamar mandi. Mungkin saja dia kebanyakan minum dan kebelet. Baru beberapa langkah, suara yang sudah hafal terdengar tengah mengumpat.

"Kenapa dari dulu kamu selalu mencari gara-gara denganku, bangsat! Selama ini aku diam, tapi tidak kali ini. Aku sudah capek mengalah." Aksa kalap dan memojokkan tubuh lawan ke tembok. Dia melayangkan sebuah pukulan yang berhasil ditahan.

"Anak hasil selingkuhan lebih baik diam. Kamu tak punya hak, bahkan untuk hidup." Senyum menyeringai hadir di wajah lelaki yang menatap tajam Aksa.

"Kenapa? Apa kamu iri karena aku lebih hebat darimu? Orang tuamu lebih memujiku. Bahkan wanita yang kamu sukai justru menyukaiku, hah?" Aksa berteriak meluapkan kekesalan. "Kamu punya segalanya, bangsat. Ibu, Ayah juga saudara yang begitu menyayangimu. Kamu juga tak kalah hebat dan sehat. Lalu kenapa kamu harus iri padaku?"

Lelaki yang terpojok berusaha melawan.

"Kamu bodoh dan buta! Kenapa kamu hanya fokus pada sakit hatimu?" Aksa kembali menghajar dengan membabi buta.

"Bangsat. Aku menganggapmu sahabat, tapi kamu justru mengatakan pada semua orang. Menghasut untuk menjauhi dan menganggapku sebagai penyakit."

Arga terkejut mendengarnya. Ini bukan kali pertama dia mendengarnya, tapi entah mengapa sangat menyakitkan saat membayangkan berada di posisi Aksa. Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya tentu membuatnya trauma untuk sekedar membagi beban, bahkan padanya. Sekarang dia tahu alasannya sikap diam adiknya.

"Kamu memang penyakit. Jika tidak Ayah juga Ibuku tak akan memaksaku untuk sepertimu! Aku benci kita pernah menjadi sahabat."

Aksa kalap dan kembali melayangkan tinju ke perut lawan. Namun, tangannya tertahan oleh Arga yang datang memisahkan perkelahian.

"Aksa, apa yang kamu lakukan?"

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें