Gadis itu menoleh, menatap Abian. "Hebat apa? Apa yang hebat dari gua?"

"Hebat karena lu masih punya pikiran sehat dan memilih hidup sampai sekarang. Banyak orang di luar sana yang dapat masalah langsung nyari jalan pintas. Mereka pikir dengan kematian bisa menyelesaikan masalah."

"Kalo gua milih mati daripada hidup di saat-saat kayak gini, sia-sia bokap gua kerja buat ngidupin gua dari kecil. Sia-sia dia didik gua jadi anak yang kuat."

"Kalo ditanya alasan kenapa gua selalu kagum sama lu. Gua akan dengan sangat percaya diri bilang bahwa, gua kagum sama lu karena lu cewek kuat, Fa. Lu punya pemikiran-pemikiran berbeda dari cewek lain. Dan gua bangga pernah milikin cewek tangguh kayak lu." Abian merengkuh bahu Rifa, mengusap kepala mantannya penuh sayang. "Oh iya, mau jenguk Om Tomi nggak? Kata Papa, kasusnya udah mulai nemu titik terang."

"Serius? Lu mau nganterin gua ketemu Papa?" Abian memgangguk. "Aaaaaaa... Abian lu baik banget sumpah, ayok pergi sekarang."

"Boleh, tapi lu harus makan dulu karena gua tau lu pasti belum makan."

"Nggak mau, makannya abis ketemu Papa aja."

"Sebelum lu nangis-nangisan, lu butuh makan. Makan dulu atau nggak jadi jenguk."

"Dih, ngancemnya gitu. Nggak asik banget sumpah," ujarnya merajuk.

"Bodo amat, penting lu makan dulu. Biar sehat, biar Papa lu seneng juga liatnya. Emang lu mau bokap lu sakit hati liat anaknya pucet nggak makan? Enggak, kan?" Tentu saja Rifa tidak ingin ayahnya sakit hati melihat kondisinya yang buruk. "Kalo nggak mau bokap sakit hati, nurut aja makanya sama mantan."

***

"Kamu datangnya sama Abian?" Tomi menyorot cowok berpostur tinggi di belakang Rifa. Tentu saja dengan ramah Abian membungkuk, menyapa Tomi. "Kamu apa kabar?"

"Baik Om. Om sendiri gimana, udah ngerasa lebih baik?"

"Iya, jauh lebih baik berkat bantuan Papa kamu, Abian."

Abian tersenyum senang, membiarkan Rifa bertemu kangen dengan ayahnya. Gadis itu mengambil jari-jari Tomi, menggenggamnya erat. "Papa apa kabar? Rifa kangen banget sama Papa."

"Papa baik-baik aja, Sayang. Gimana keadaan mama kamu di rumah? Papa benar-benar khawatir sama kondisi kalian. Dan ... Raka di mana? Kok dia nggak ikut ke sini? Mama kamu nggak lagi sakit, kan?"

Rifa menggeleng, berusaha terlihat sebahagia mungkin di hadapan Tomi. "Mama sehat kok, Pa. Umm, Kak Raka nggak bisai ikutan jenguk karena dia masih ada kerjaan di kantornya."

"Kalian baik-baik aja, kan? Kamu udah bisa masak belum buat suami?"

"I...iya, ki-kita baik-baik aja kok, Pa. Aku udah belajar masak buat bikinin Kak Raka sarapan."

Tomi tersenyum, mengusap kepala Rifa. "Memang Papa nggak pernah salah menjodohkan kalian berdua. Papa selalu yakin Raka itu laki-laki baik yang bisa membahagiakan anak Papa."

Seandainya Tomi tahu apa yang telah terjadi pada pernikahan putrinya. Seandainya Tomi tahu sebangsat apa Raka saat ini, dan seandainya Tomi tahu sesakit apa hati Rifa karena laki-laki itu, maka ia pasti akan menyesali segala pujian yang ia berikan terhadap Raka.

"Kamu kenapa nangis?" Rifa terkisap, menyadari air matanya jatuh di hadapan Tomi.

"Enggak kok, Rifa nggak nangis. Ini cuma nggak sengaja jatuh aja air matanya. Mungkin saking kangennya sama Papa. Kangen ngobrol berdua sama Papa, kangen dibawain ikan hasil mancing sama om Firman."

"Papa janji setelah kasus ini selesai, kita akan memperbaiki semuanya. Tolong, kamu tegarkan hati mama, bilang kalau semuanya akan baik-baik saja."

"Tapi pundak Rifa nggak sekuat itu, Pa." Rifa yang sejak tadi berusaha tegar akhirnya tumbang juga. Air mata yang susah payah ia tahan agar tak jatuh pun meluap juga. Banjir membasahi pipinya yang kemerahan. Mana mungkin ia bisa berpura-pura tegar di hadapan laki-laki yang paling tahu siapa dirinya. Rifa menelungkupkan kepalanya di atas meja, menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam tangan Tomi. "Maaf Rifa kalah, Pa. Maaf Rifa nggak bisa setegar apa yang selalu Papa ajarin. Maaf, Rifa harus nangis di hadapan Papa."

Terlalu banyak hal yang ingin Rifa ceritakan namun harus dipendam kuat-kuat. Abian yang melihat kepedihan itu tak bisa hanya tinggal diam. Ia mengusap punggung Rifa meskipun agak canggung di hadapan Tomi.

"Maafin Rifa, Pa." tangis itu kian menjadi, menyayat hati Tomi yang selalu berusaha terlihat sangat kuat di hadapan putrinya. Tangannya terangkat naik, mengusap punggung anak keduanya yang dipaksa harus selalu kuat.

"Kamu akan selalu jadi orang yang tangguh di mata Papa. Menangis bukan berarti kamu kalah dan itu yang tidak pernah Papa ajarkan sama kamu." Tomi memberi isyarat pada Abian agar menenangkan Rifa. Pria itu mengangguk pada sipir yang menunjuk ke arah jam tangan, pertanda bahwa waktu besuk sudah habis. "Nanti kita pasti akan berkumpul lagi. Tunggu Papa bebas ya, Sayang."

Rifa mengangguk sesegukan. Untuk terakhir kalinya sebelum pulang gadis itu memeluk Tomi sangat erat seolah-olah pertemuan esok adalah mitos yang tidak ia percaya. "Rifa sayang banget sama Papa."

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Where stories live. Discover now