13. segenggam kebersamaan

Start from the beginning
                                    

Aksa melongo mendengar pesanan Arga untuk dirinya. "Apa lo gak berlebihan memesan?"

Setelah mengembalikan buku menu pada pelayan, Arga tersenyum mendengar pertanyaan adiknya. "Tak masalah. Kamu bisa memesan yang lainnya kalau mau. Atau kamu mau pesan alkohol. Sepertinya di sini banyak. Kalau mabuk, Kakak tidak akan repot mencarimu."

"Gak." Aksa menelan ludah mendengar pertanyaan Arga yang menjebak. Walau terkadang ada selintas keinginan untuk mabuk lagi, dia sudah menyudahinya sejak mendengar permintaan maaf.

"Syukurlah. Apa dulu Ibu pernah mengajakmu makan keluar?" Padahal Arga sudah tahu jawabannya. Mana mungkin Ibu mereka mempunyai banyak waktu, apalagi sampai mengajak Aksa keluar.

"Gak."

"Kalau begitu, aku akan lebih sering mengajakmu keluar."

"Gak perlu."

"Perlu. Ini akan mendekatkan kita."

"Restoran terlalu mewah. Ingat lo udah gak kerja." Ah, kenapa Aksa menunjukkan sedikit perhatiannya.

Mendengar ucapan Aksa, sebuah simpul terukir di wajah Arga. Walau kadang adiknya marah-marah tak jelas, di hatinya masih ada kepedulian padanya. "Sudah kukatakan, sesekali gak masalah. Ini tak akan membuatku bangkrut atau jatuh miskin. Tenanglah dan nikmati makan malammu."

Rencana Arga berhasil. Sikap Aksa jauh lebih hangat. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja. Tak jarang senyum tipis menghiasi wajah adiknya. Terlihat canggung dan belum bisa lepas seutuhnya. Namun, tembok di antara mereka perlahan mulai runtuh.

Begitu makanan datang, Arga sudah antusias akan melihat adiknya yang lahap dengan menu yang dihidangkan. Ternyata dugaannya salah.

Aksa menatap potongan sushi dengan tatapan aneh. Lantas tersenyum meyakinkan jika bisa menghabiskan makanan yang ada. Padahal dia bingung dan harus menelan ludah berkali-kali. Mengapa makanan Jepang seekstrem ini di hadapannya? Apakah tak ada makanan normal pada umumnya? Ikan goreng misalnya? Pandangan menyapu hidangan di atas meja. Dia masih bisa menerima salad sayur, tapi apa lagi makanan berwarna hijau seperti rumput itu. Saat melihat ramen, tangannya sudah tergerak mengambil. Sayang Arga justru menyodorkan menu yang tak ingin dimakannya.

"Anak sekolah harus banyak makan ikan." Arga menyodorkan berbagai olahan ikan pada Aksa.

Kepalanya mendadak berdenyut, tapi tak berani menolak, Aksa menghela napas. Memantapkan jika menu ini hanya nasi dengan lauk biasa. Walau kenyataan belum matang atau dimasak. Saat potongan sushi sudah berpindah ke mulut, Aksa justru mual. Dia segera menutup mulut dan susah payah menelan. Saat Arga memperhatikan, dia kembali tersenyum meyakinkan dia bisa.

Merasa tidak enak hati dengan niat baik kakaknya yang sudah rela membayar mahal, dia kembali mencoba. Yah, satu suapan berhasil dilewati. Namun, masih ada banyak di hadapan. Seperti tantangan yang begitu berat. Mau tak mau harus menerima. Dia mencoba perlahan dan alhasil perutnya kembali menolak. Dia langsung pergi menuju toilet seraya menutup mulut agar tidak memuntahkan.

Arga heran melihat sikap adiknya. Dia tahu sushi memang makanan mentah, tapi baginya tidak terlalu amis. Nyatanya dia bisa makan dengan santainya. Aksa benar-benar berlebihan. Dia mengambil salah satu potongan milik adiknya dan mencoba. Tak ada yang salah. Masih normal menurutnya.

Sekembali Aksa yang masih tak berselera menghabiskan sushi di hadapannya. Arga pun berinisiatif menukar dengan ramen miliknya.

"Kamu pasti tak terbiasa. Mungkin lain kali aku harus mengajakmu makan di restoran umum saja."

Akhirnya makan malam itu berakhir dengan Arga yang menghabiskan semua olahan ikan dan Aksa hanya makan ramen milik kakaknya.

"Apa kamu kenyang?" Arga yang sudah selesai membayar mendekat ke Aksa yang menunggunya di depan restoran.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now