11. lembaran masa lalu

Start from the beginning
                                    

Sungguh Ibu begitu rindu. Sudah berapa tahun kita tidak bertemu? Apa tak ada keinginanmu untuk pulang setelah kuliah? Apa tawaran bekerja di luar negeri sangat menggiurkan? Ibu sudah berubah, Nak. Apa kamu tak merasakannya? Apa ucapan juga pertanyaanku terkesan basa basi saja sekarang? Apa kamu tak bisa merasakan ketulusan juga kerinduan di dalamnya?

Pada akhirnya, aku hanya bisa menatap fotomu, mengira-ngira sudah seganteng apa kamu sekarang? Tak ada foto satu pun yang kamu kirimkan untukku. Pun dengan media sosialmu.

Apakah selama ini kamu tidak kangen masakan lebaran? Apa kamu bahagia dan sudah memiliki pacar? Aku ingin mendengar ceritamu, tapi hanya kata 'ya' dan 'tidak' yang lebih sering kudengar. Apakah sekarang kamu balas dendam padaku?

Rasanya aku ingin mengatakan 'pulanglah, Nak. Ibu rindu.' . Sayang setiap kali sambungan telepon berhasil tersambung, semua kalimat itu membeku, seperti hubungan kita yang semakin dingin. Tak jarang berakhir di kotak suara, tanpa pernah mendengar suaramu. Padahal aku sungguh ingin memeluk dan mengusap wajahmu, Nak.

Setiap tahun, aku menunggumu. Berharap kamu akan memberi kejutan, mengetuk pintu rumah lalu mengatakan 'ibu, aku pulang.' Membayangkan saja rasanya mata ini sudah basah. Kenyataan semua hanya angan-angan belaka. Setahun, dua tahun, tiga tahun ... tak ada yang berubah. Kamu semakin menjauh.

Ada kalanya, aku ingin mengatakan jika mungkin saja waktuku tak akan banyak. Penyakit ini semakin menyiksa, pun dengan kerinduan yang tak pernah menemui muara. Ingin sekali kujadikan rasa sakit ini sebagai alasan, tapi siapa aku? Aku hanyalah wanita yang melahirkan dan merawatmu. Ketika kamu sudah besar dan cukup untuk menantang dunia, bukankah aku yang harus mendukungmu? Membiarkanmu bebas mengarungi kehidupan yang maha luas dan bukan membebanimu dengan kata 'pulang'. Maka aku akan menunggumu di rumah, mengatakan jika aku sangat menyayangimu. Dan akan menunggumu hingga kamu kembali pulang. Semoga bukan saat pemakamanku nanti, sayang.

Buku dalam tangan Arga bergetar, menandakan dia tengah berjuang melawan gejolak emosi yang menghampiri. Air sudah menggenang di pelupuk mata dan cukup yakin akan tumpah jika tak berhasil menguasai diri. Sejenak dia melepaskan kacamata dan meletakkan buku di sampingnya untuk mengontrol emosi.

"Jadi aku hanya salah paham, Bu?"

Arga menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata. Namun, semakin lama butiran bening menganak pinak di wajah mengingat apa yang tertulis di buku ibunya. Tubuhnya bergetar hebat dan tangannya terulur mengambil foto di nakas.

"Bu, maafkan Arga." Dia mendekap dengan penuh kerinduan lalu bayang-bayang masa kecil yang selama ini dikubur dalam, mencuat. Kenangan saat masih bersama. Hangat dekapan. Tawa dan canda menggema di telinga lalu kesadarannya kembali utuh sepenuhnya. Tak ada lagi kebencian juga kekecewaan, yang ada hanya penyesalan.

"Bu. Arga sudah pulang. Maafkan aku."

Cukup lama Arga terisak, menyadari kesalahpahaman yang tak bisa dijembatani dengan komunikasi. Prasangka dan ego yang telah menjadi akar permasalahan mereka. Cukup lama, dia menahan gejolak emosi yang menyerang. Penyesalan juga rindu yang menjadi satu. Semua sudah terlambat. Ibunya sudah tertidur di bawah tanah. Dia tak mungkin bersujud untuk meminta maaf pun membongkar makam untuk mengatakan betapa bodohnya dia sebagai anak tertua.

Setelah lebih tenang, dia kembali mengambil buku dan membuka lembaran lainnya.

Aksa! Kenapa kamu sangat menyebalkan! Kenapa kamu selalu membuat masalah?! Tidak bisakah kamu menurut seperti kakakmu? Tidakkah kamu tahu Ibu sudah sangat lelah? jiwa dan raga? Apa kamu tak bisa melihat berapa banyak air mata yang sudah keluar? Kenapa kamu tak juga memahami betapa hancurnya Ibu sekarang? Kakak juga ayahmu pergi dan ibu sendiri. Tak ada teman berbagi. Harusnya kamu tahu itu? Bukankah kamu yang ada di sisi ibu selama ini?

Kumohon, Nak. Menurutlah! Jangan menambah beban pikiran. Ibu harus kerja, itu juga demi dirimu. Seharusnya kamu paham itu? Sekolah juga makanmu tidak murah, sedang ibu harus pontang-panting mencari uang. Apakah yang ibu lakukan tak terlihat di matamu? Hargailah Ibu.

Berhentilah membuat ulah, Nak. Kamu seharusnya belajar yang giat. Memberikan prestasi yang gemilang seperti halnya kakakmu. Kenapa kamu tak bisa menirunya? Padahal kamu adiknya? Lihatlah dia yang selalu membawa juara di setiap ulangan! Medali di setiap kompetisi. Bukankah itu adalah hal yang mudah? Kakakmu saja bisa lalu kenapa hanya kenakalanmu yang ibu lihat. Mengapa kamu berubah sekarang?

Jangan sia-siakan pengorbanan ibu, Nak!  Kamu harus sehebat kakakmu atau kalau perlu menjadi dirinya. Agar rasa kesepian ini hilang saat kamu mempersembahkan nilai dan angka yang sama hebatnya dengan kakakmu. Agar aku bisa merasakan hadirnya dalam dirimu. Ya, bukankah kamu anakku? Sudah sepantasnya menurut padaku.

Lagi dan lagi, Arga menyeka air mata dengan tisu yang berada di nakas. Meski yang terjadi padanya hanya sebatas kesalahpahaman, kenyataan ibu memang melakukan hal mengerikan pada Aksa.

Meletakkan buku begitu saja, dia berlalu menuju lantai dua. Ketika membuka kamar, Aksa tengah tidur dengan napas teraturnya. Dia mendekat dengan mata memerah. "Sekarang aku sadar. Akulah yang memberimu masa-masa sulit ini, Sa."

Kalimat yang akan terucap seakan tercekat di tenggorokan. Bahkan menyakitinya. "Kamu berhak marah dan melampiaskan padaku karena memang aku yang salah. Aku akan menerimanya mulai sekarang."

Tangan Arga bersiap membelai rambut Aksa, tapi lagi-lagi dia menariknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dengan cepat dia memandang langit-langit kamar agar butiran bening tidak terjatuh di wajahnya. "Maafkan aku, Sa."

Dia tak bisa membayangkan betapa tertekannya Aksa selama ini. Dituntut menjadi dirinya agar sang ibu bisa mengobati sedikit rasa sedih juga rindu akibat kepergiannya. Memaksa untuk seperti dirinya. Benar. Ibu sama egoisnya dengan dirinya dan Aksa yang harus mengalah juga menerima segala hal yang menyakitkan padanya, hanya karena dia seorang anak. Dibilang menurut, tidak. Dikatakan berbakti terlalu memaksa.

Arga memutar tubuh dan menutup pintu sepelan mungkin. Dia tak mau adiknya terbangun karena ulahnya. Begitu pintu tertutup, Aksa membuka mata.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now