BAB 35. Masalalu Yang Memilukan

3.2K 249 21
                                    

Mendengar cerita Mbok Eka, aku tidak bisa membendung tangis ini. Aku ikut menangis deras sembari memeluk wanita paruh baya di samping.

Kisah Mas Bara membuat hatiku ikut tercabik-cabik. Betapa menderitanya kisah hidupnya masa itu. Membuatku lagi-lagi tidak bisa membendung air mata yang kian berjatuhan.

“Non ...Den Bara, dia..."

Aku masih khusu terdiam —mendengarkan dengan seksama cerita dari Mbok Eka. Walau hatiku nyatanya amat pedih mendengarnya.

“Dia, diusir bersama Mbok yang saat itu kepergok. Padahal Mbok hanya memberinya makan tapi tuan..."

Bibir wanita paruh baya ini tercekat bersamaan tangis yang berusaha mungkin ia tahan.

“Saat itu Mbok putuskan membawa Den Bara ke kampung halaman Mbok, tentu bersama suami, karena saat itu suami Mbok juga diusir. Mbok tidak tahu apa yang tuan pikirkan, kenapa dia amat tega kepada anaknya sendiri. Dia ...tidak adil kepada anaknya, sedangkan kepada anak yang lain dia ...amat menyayanginya."

Mbok Eka berusaha berbicara walau sesekali nafasnya tertahan karena tangis, sedangkan aku? Aku menghela nafas berulang kali. Mengusap air mataku yang kian jatuh. Lirikan mata ini menangkap jam yang menunjukan pukul 9. Ah, mood ku bahkan sudah tidak ada untuk berangkat ke kampus. Biar, ini adalah kesempatanku untuk mengetahui seluk-beluk kehidupan Mas Bara.

“Sungguh, saat itu Mbok dan Bapak bingung harus mengurus den Bara seperti apa. Hidup  den Bara yang sebelumnya dipenuhi kekayaan membuat Mbok berusaha keras mencari pekerjaan lagi. Pekerjaan yang setidaknya memberi den Bara makanan sehat. Tapi, cobaan selalu datang. Kami tidak mendapat pekerjaan dari manapun. Namun ajaibnya, kerap kali ekonomi kami menipis den Bara tidak sekalipun mengeluh. Dia bahkan membantu Mbok dan Bapak dalam bekerja.”

Mbok Eka kembali menangis. Tangis yang makin deras membuat bibirnya bergetar.

“Pernah sekali kami tidak mempunyai beras, sebagai jaminan den Bara bekerja jadi pengamen dengan anak Mbok, Sulastri. Dia bernyanyi ke sana-sini untuk mengumpulkan uang. Selepas uang itu ia dapat, dia membelikan beras walau hanya setengah, membeli lauk-pauk walau sekedar tempe. Atau bahkan dia lebih baik membeli garam agar tahan lama. Dia ... den Bara lebih suka makan dengan garam daripada dengan yang lain.”

Aku mengusap sudut mataku. Tidak tahan dengan penderitaan yang Mas Bara rasakan. Dulu, aku hidup dari keluarga yang amat sederhana,tapi dirinya belum pernah sekali saja merasa kekurangan dalam hal makan. Tapi Mas Bara? Dia...

“Begitu senangnya den Bara saat membelikan beras untuk kami makan, walau pada nyatanya hati Mbok begitu tersayat melihatnya. Dulu den Bara amat dimanja oleh Nyonya tapi saat itu ... Mbok merasa amat berdosa padan Nyonya, Non..."

“Mbok ... membuatnya merasakan kesengsaraan. Dia bekerja keras bagaikan tulang punggung kami.”

Kuusap punggung wanita paruh baya ini. Ikut menenangkan, walau nyatanya hati ini ikut perih.

“Namun, saat den Bara beranjak 12 tahun dia mengatakan bahwa ia sangat merindukan saudara kembarnya. Kami tidak bisa berbuat apa-apa akan hal itu, namun den Bara bersi kukuh ingin melihat keadaan Barez karena katanya...saudaranya itu sudah sembuh dari penyakitnya."

Mbok kembali bersuara.

“Tidak ada pilihan untuk Mbok menolaknya Non. Sampai akhirnya Mbok dan Bapak pergi ke jakarta untuk bertemu dengan saudara kembarnya. Saat itu Den Bara amat bahagia melihat saudaranya. Hanya saja dia menatap saudaranya dari jauh,tidak berani bertatap muka dengan jarak dekat, takut mengganggu, katanya. Apalagi bertatap dengan Ayahnya. Tapi nyatanya...takdir berkata lain Non."

Setitik Garis Rahasia [COMPLETED]Where stories live. Discover now