BAB 6. Datang Melamar

6.7K 413 3
                                    

"Ummi?"

"Laila? Sini sayang?" Hafisah- Ummi dari Laila itu tersenyum lebar saat mendapati Laila keluar dari kamarnya.

Rahman- Abi Laila juga berada di sana. Tersenyum lebar melihat putrinya. Laila mengernyit heran. Mendekat ke arah Rahman dan Hafisah tatkala mendengar panggilan dari mereka.

Sebelumnya Laila yang tengah di kamar dikejutkan oleh teriakan halus dari Hafisah. Menyuruhnya untuk datang keruang tamu. Entah ada apa, tapi hal itu tentu membuat jantungnya berdetak cepat.

"Iya Ummi?" seru Laila saat dirinya berada di hadapan Hafisah. Namun jantungnya berhenti berdetak saat tatapan mata itu jatuh pada...

"Kak Shaka?" Laila melebarkan pupil matanya melihat Shaka, Abah dan Uminya- Shaka, tengah tersenyum ke arahnya.

"Sini duduk! Gak baik berdiri kayak gitu!" tegur Hafisah sembari tersenyum ramah.

Masih dalam keterkejutan Laila ikut duduk karena intrupsi Hafisah. "Masya Allah, Nak Laila makin cantik aja ya?" goda Aminah- Ummi dari Shaka.

Aminah menatap takjub atas kecantikan Laila yang terpancar alami. Laila tersenyum menunduk. Benar-benar merasa malu sekaligus tidak mengerti akan kehadiran mereka. Namun jantungnya berdegup sangat cepat saat matanya diam-diam menatap Shaka yang tengah tersenyum manis ke arah lain.

"Putra kamu juga Shaka tak kalah tampannya. Cocoklah kalau disatukan." "Uhuk!" Laila tersedak air liurnya mendengar penuturan Rahman sendiri. Apa yang dimaksud Abinya?

"Ekhem. Kayaknya ada yang lagi kebingungan." Rahman menggoda putri kesayangannya. Membuat Laila melirik sekilas ke arahnya. Namun dengan cepat Laila menunduk malu. Benar-benar malu.

Sedangkan yang lain bukannya memberi minum malah ikut tertawa kecil akan tingkah Laila barusan. "Minum dulu?" Shaka menyodorkan segelas air putih di hadapan Laila. Ruangan yang tadinya hening seketika dibuat ricuh oleh seruan kedua orang tua mereka. Bermaksud menggoda keduanya.

Sungguh Laila benar-benar dibuat malu. Arrghh! Kenapa harus Shaka? Tentu hal itu membuat dirinya benar-benar tidak tahan akan jantungnya yang seperti ingin copot.

Hafisah menyenggol lengan Laila agar menerimanya. Dengan malu-malu Laila mengambil air tersebut dan meminumnya pelan. Sebelum itu ia mengucap terima kasih kepada Shaka.

"Baiklah. Jadi, ada hal lain apa yang membuat kalian ke sini sampai malam-malam begini?" tanya Rahman pada akhirnya. Burhan- Abah Shaka tersenyum. Tatapannya mengarah pada Laila yang tengah menunduk.

"Ahh, sepertinya... hanya putraku yang akan menjelaskannya," ujar Burhan sembari menepuk bahu Shaka. Seakan tahu arti tatapan itu Shaka tersenyum menanggapi.

Tatapannya silih berganti antara Rahman dan Laila.

"Sebelumnya maaf untuk Abi dan Ummi karena Shaka datang kemari malam-malam. Tapi, tujuan Shaka ke sini..." ucapan Shaka menggantung. Tatapannya mengarah kepada Laila.

"Dengan Bismillah saya ingin melamar Dek Laila untuk dijadikan istri di dunia juga akhirat." "Uhuk! Uhuk!" Laila seketika kembali tersedak. Kali ia benar-benar tersedak mendengar kenyataan ini.

Apa, melamarnya?

"Permisi sebentar, Umi, Abah." Laila ngebirit ke dapur dengan terbatuk-batuk. Mengambil segelas air untuk diminum. "Apa ini? Ya Allah ... apa yang harus Laila lakukan sekarang?" ucapnya saat tenggorokannya kembali seperti semula.

Laila dibuat mondar-mandir, merasakan resah yang amat gelisah. Disatu sisi ia senang karena ternyata Shaka- orang yang dia cinta melamarnya.

Tapi di sisi lain ia juga bingung akan Bara yang notebane nya terikat akan sebuah janji. Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Laila semakin dibuat frustasi. Bahkan jari telunjuknya ia gigit untuk meluapkan segala bentuk resah. Tubuhnya terus tergerak mondar-merasakan resah. Bukan, bukan karena ingin menolak Shaka. Hanya saja ia takut bilamana ia menerima lamaran ini Bara akan melakukan hal yang lebih gila dari kemarin.

Jika ia menerima, apa Bara akan berhenti mengejarnya?

Tidak! Laila menggeleng. Bara bukan lelaki seperti itu. Ambisinya terlalu besar. Ia takut jika nantinya Bara akan membalas dendam pada keluarganya.

20.05, Laila menatap jam tersebut di layar hp yang ia bawa.

50 panggilan tak terjawab dari Bara. Itulah yang pertama kali terpampang jelas dilayar utamanya. Sungguh menyebalkan! Setelah meninggalkannya tadi di jalanan sekarang dia menelfonnya sampai 50 panggilan?

"Baiklah. Tidak ada cara lain selain cara ini!" monolog Laila tidak perduli lagi.

Dengan cepat Laila menekan ikon panggilan ke nomor Bara. Yang saat itu juga langsung dijawab oleh pelaku.

Laila terdiam, meremas ujung pakaianya saat sambungan itu tersambung. "Baru inget gue, lo?!" intogerasi Bara di sebrang sana.

Laila terdiam. Masih menetralkan terlebih dahulu perasaannya yang sangat campur aduk. "Assalamu'alaikum," salam Laila membuat Bara langsung menjawabnya.

Terdengar kekehan kecil dari sebrang sana. Entah menertawakan dirinya sendiri atau meremehkan si penelfon.

"Bara... aku..." "Besok nikah?" Laila mendengkus mendengar pertanyaan Bara. Bisakah serius sebentar? Kenapa pria brengsek itu selalu bercanda dalam situasi seperti ini?

"Aku tidak bisa menerima pernikahan ini, Bara! Karena..."

"Apa?!" Laila tersentak mendengar teriakan Bara yang terkesan marah. "Oh, jadi lo bener-bener mau gue ambil---"

"Aku bakal nikah dengan yang lain, kamu enggak bisa ngatur akan keinginan aku, dan. Maaf, aku tidak bisa memaksakan atas ketidak-inginan ku untuk menikah dengan kamu. Jadi, kumohon, berhentilah untuk hal ini."

"Enggak! Gak bisa begitu! Lo udah janji Laila, dan lo harus nepatin janji itu!"

"Aku bahkan enggak pernah mengucap janji akan hal ini!" jawab Laila menahan emosinya.

"Gue gak perduli! Alasan lo---" "Baiklah. Kalau kamu benar-benar ingin pernikahan ini terjadi...." Laila menggantung ucapannya. Menghela nafas pelan. "Datangi Abi aku, sekarang juga!"

Laila tersenyum remeh tanpa diketahui Bara. "Pilihan ini hanya ada 2, Bara. Datang dan luluhkan kedua orang tua aku, atau mundur dan masalah ini selesai. So, akupun tidak punya pilihan, sekarang pilihan ada di kamu."

Laila tersenyum puas. Jawaban ini akan menguntungkannya, karena Abinya tidak akan asal dalam memilih.

" Jadilah seorang pria yang mempunyai sejuta harga diri! Kalau kamu bener-bener pria sejati, maka datangi Abi dan Ummi aku sekarang juga!"

Laila memutuskan sambungan telefon tepat mengatakan itu. Kini dirinya tidak perduli lagi akan masalah itu,mungkin. Jika Bara tidak datang maka lamaran ini akan ia terima. Menikahi Shaka, tapi jika dia datang? So, Abinya pasti akan menilik-nilik dirinya. Dan Abinya itu tidak akan salah dalam menilai seseorang. Atau lebih tepatnya ia akan tahu lelaki mana yang lebih pantas untuk putrinya ini.

"Ya Allah... berikan pilihan terbaik untuk Laila," katanya sebelum ia melenggang pergi. Ikut berkumpul kembali.

10 menit kemudian...

Tok... Tok... Tok...

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, membuat suara yang semula ricuh langsung terdiam.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamu'alaikum."

Rahman- selaku pemilik rumah menatap istrinya agar melihat siapa yang tengah mengetuk pintu. "Biar Laila aja, Umi," ucap Laila membuat Hafisah yang sempat berdiri terduduk kembali. Sebelum itu Laila diam-diam mencuri pandang terlebih dahulu ke arah Shaka yang tengah tersenyum ke arahnya. Membuat Laila merah merona menahan malu.

"Wa'alaikumussalam..."

Deg!

Jantung Laila terasa terhenti saat pintu utama terbuka menampilkan... Bara? Langkah kaki Laila bahkan langsung mundur pelan. Menatap pria di depannya yang terkesan lebih keren dari biasanya. Sialnya! Orang di depannya itu malah berkedip sebelah mata bermaksud menggoda.

"Siapa, Laila?"

Setitik Garis Rahasia [COMPLETED]Where stories live. Discover now