Beranjak bangkit, Arga segera menyiapkan obat. Membuka satu per satu dan membawa masuk ke kamar ibunya. Saat membuka pintu, sejenak berpikir bagaimana cara membangunkan tanpa menimbulkan perdebatan mengingat adiknya baru saja terlelap.

Menghela napas panjang, dia meletakkan di nakas dan menunggu beberapa saat di tepi ranjang. Melihat bingkai kebersamaan beberapa tahun silam, tangannya sontak mengambil dan tak sengaja menyenggol pil hingga berjatuhan.

"Sialan! Kenapa kamu bisa seceroboh ini!"

Pil yang sudah disiapkan di piring kecil berhamburan ke lantai. Dengan terpaksa dia mengembalikan foto dan memunguti.

"Kurang satu, di mana lagi?" Arga jongkok dan mencari obat terakhir yang ternyata berada di kolong nakas. Tangannya meraba dan mendapati dua pil.

"Kok ada dua?" Dia heran ketika mendapatkannya. Melihat dua pil dengan bentuk hampir sama di bawah kolong nakas. Sembari mengingat, tangannya mengambil keduanya dan memperhatikan dengan seksama. "Seingatku cuma ada tiga, kenapa jadi empat?"

Arga kembali ke dapur, melihat bungkus obat Aksa yang tergeletak di atas kulkas. Benar ada tiga yang harus diminum, lalu kenapa ada sisa. Milik siapa? Dia terus memperhatikan. seraya memastikan obat milik adiknya lalu menyimpan pil yang sekarang memicu keingintahuan.

Mungkin hanya obat sakit kepala. Dia tak ingin memikirkan lagi. Setelah memastikan obat Aksa dia kembali ke kamar. Membangunkan dengan hati-hati. Beruntung Aksa menurut dan tidak menggunakan emosi seperti beberapa jam sebelumnya.

***
Pagi ini tenang, tak ada kegaduhan atau perdebatan seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa diminta, Aksa sudah mandi dan bersiap untuk sekolah saat Arga berniat membangunkan. Sedikit melegakan baginya. Setidaknya dia tak perlu menggunakan otot dan emosi.

"Apa kamu masih berniat mabuk lagi?" tanya Arga ketika mengantarkan dan sudah sampai di depan sekolah Aksa.

Aksa tak berniat menjawab dan keluar begitu saja diikuti Arga.

"Katanya kamu anak yang pintar, kenapa malah menyia-nyiakan--"

"Gak usah ceramah!" Lelaki setinggi 179 itu berlalu pergi. Siapa yang mau mendengar ceramah di pagi hari. Membuat perutnya mulas saja.

"Nanti kujemput. Awas! Mulai sekarang aku akan mengawasimu!"

Aksa melengos, tak memperdulikan ancaman kakaknya.

Arga menatap adiknya, memastikan hingga jam pelajaran dimulai baru masuk kembali ke mobil dan pergi. Sebuah pesta reuni kecil akan dihadirinya. Itu pun hanya dihadiri dua orang teman SMA-nya yang tahu kepulangannya. Bertempat di sebuah restoran di sebuah mal ternama menjadi lokasi berkumpul mereka.

Tak sampai setengah jam, Arga sudah datang. Berhubung Adi sudah memesan sebelumnya, dia langsung menuju tempat yang disediakan. Berada di outdoor sehingga bisa melihat keindahan kota Jogja. Memang masih pagi. Sengaja agar tak terlalu ramai dan bisa puas bercerita.

Baru saja duduk, kedua temannya yang kebetulan sudah membangun usaha dan tidak terikat jam kerja datang.

"Calon pengangguran bertambah satu," celetuk lelaki tak begitu tinggi yang baru saja datang.

Arga berdiri dan memberi sebuah pelukan.

"Jangan kamu anggap enteng dia, meski pengangguran duitnya bisa buat makan setahun lamanya." Tak seperti Frank yang baru bertemu setelah sekian lama, Adi yang sudah berbincang sebelumnya langsung duduk dan menyandarkan punggung. Tak ada niat untuk menyambut kedua kalinya.

"Ya, setahun kalau cuma makan tempe tahu saja."

Lalu gelak tawa menggema. Suasana langsung berubah, atmosfer dipenuhi kegembiraan. Sejenak Arga bisa melupakan permasalahan tentang adiknya dengan cerita dan gurauan.

"Eh, bukannya kamu punya adik ya, Ga?" Lelaki yang mempunyai kulit sawo matang itu teringat.

"Iya."

"Gak jadi pewaris tunggal dong." Frank mulai menggoda.

"Warisan apa? Yang ada warisan beban."

Kembali gelak tawa terdengar. Lalu tak lama pelayan mengantarkan pesanan. Hanya minuman dan cemilan sebagai teman cerita.

"Gimana rasanya ngurus Adik yang baru SMA?" Frank penasaran. Sebenarnya bukan sepenuhnya ingin tahu, tapi lebih menjurus untuk mengejek karena tahu betapa susahnya mempunyai adik dengan jenis kelamin yang sama. Dia mengambil mocktail lalu mengaduk-aduk sebelum meminumnya.

Arga mengacak-acak rambut. Bingung bagaimana menjelaskan kenyataan yang ternyata tak sejalan dengan pikirannya. Dia pikir akan mudah saja mengurus Aksa yang dulunya begitu penurut dan menyenangkan. Tidak seperti sekarang yang sudah berani membangkang. Jauh sekali dengannya yang tak berani berbuat macam-macam saat seusianya. Jangankan mabuk, bolos saja tak pernah dilakukan.

"Gila asli! Ini lebih stres daripada kerja. Real beban."

"Beban pikiran?" Adi menebak lalu mereka tertawa bersama.

"Bisa gila aku kalau begini terus. Kalau gini terus gak usah nikah deh. Yang ada masuk rumah sakit jiwa ntar."

"Ya, gak usah nikah, kawin saja yang enak." Frank menimpali seraya melirik Adi yang memberikan jari tengahnya.

Arga masih belum sadar apa maksud kedua temannya dan mengabaikan. "Kamu tidak punya tips? Bukankah kamu punya Adik juga, Frank."

Mereka saling bersitatap. Dengan isyarat mata, Frank mempersilahkan teman yang jago ceramah. Siapa lagi kalau bukan Adi  "Baik cewek atau adik itu sama saja kuncinya. Memahami dan mengalah."

Kedua teman Arga saling beradu tos lalu suasana kembali berubah. Gelak tawa tak henti-hentinya terdengar dan waktu bergulir dengan cepat. Makan siang dia lewatkan bersama. Tentu saja sebagai bos yang harus membayar. Tak masalah memang, toh dia memang sedang butuh hiburan dan kedua temannya sudah memberikan.

Sudah hampir seharian mereka bercanda. Waktunya kembali ke pengaturan awal. Mereka pun keluar menuju tempat parkir bersama.

"Jangan dianggap beban, anggaplah aset yang menguntungkan." Adi memberi nasehat pada Arga sebelum pulang.

"Salah, aset yang tidak bisa diperjualbelikan." Frank, lelaki berhidung pesek kembali mengimbuhi.

Arga hanya tertawa menanggapi gurauan kedua temannya lalu mereka berpisah. Meski sebelumnya Adi sempat menanyakan lagi kesanggupan kerja di perusahaannya. Tentu saja dia belum memikirkan lebih.

Tujuannya sekarang adalah ke sekolah Aksa, memastikan tidak lagi ada acara membolos apalagi mabuk. Walau dia yakin adiknya sudah tobat. Setidaknya dalam waktu dekat. Entah jika mereka bertengkar lagi.

Beruntung jalanan tak macet walau waktu pulang sekolah. Setengah jam dan dia sudah sampai.Seperti biasa, dia menunggu di bahu jalan. Sekolah yang berada agak ke dalam dari jalan utama itu masih lengang. Hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang lewat. Di sisi kiri dan kanan pohon perdu menambah kesan asri. Apalagi menjelang sore, angin berembus sepoi-sepoi.

Arga mengedarkan pandangan yang tertuju pada sebuah tempat tak jauh dari sekolah. Ruko kecil dengan tulisan apotek. Lalu ingatannya menuntun pada obat yang ditemukan semalam. Di mana dia menyimpannya? Oh, ya di plastik di atas kulkas. Kenapa dia tak membawanya untuk ditanyakan? Untuk apa? Bagaimana jika memang hanya obat sakit kepala biasa? Bukankah dia hanya malu saja karena terlalu penasaran..

"Kenapa malah kepikiran obat semalam? Ah, nambah beban saja! Sialan!"

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Where stories live. Discover now