6. satu langkah maju

Zacznij od początku
                                    

***

Arga mendekat ke ranjang. Aksa tergolek lemah. Dokter mengatakan tekanan darahnya terlalu rendah. Belum lagi lambungnya yang mengalami luka akibat sebulan lebih makan tak teratur dan sering muntah akibat minum alkohol. Beruntung dia segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dan tidak dibiarkan mati perlahan.

Lelaki itu mencopot kacamata, duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang. Dia memandang iba hingga matanya kembali mengabur, melihat adiknya yang berantakan setelah kepergian ibu mereka.

Walau berusaha tegar, dia tak bisa menahan kesedihan.

"Sa, kumohon. Jangan seperti ini lagi! Aku tahu kamu kecewa, tapi berhentilah menyiksa dirimu." Arga menggigit bibir, menahan genangan di pelupuk matanya. "Benar yang kamu katakan. Aku memang egois dan selalu menyalahkan orang lain. Aku tak sehebat dirimu." Dia memegang pangkal hidung, meredam emosi yang akan pecah.

Terdiam sejenak, Arga berusaha menguasai dirinya agar lebih tenang. Dia tak kuat menatap wajah adiknya, seakan dirinya dihajar oleh penyesalan.

"Kakak sudah pulang, Sa." Arga berdiri dan memberi kecupan di pucuk kepala Aksa. Jika adiknya dalam posisi sadar, dia tak yakin bisa melakukan. Egonya terlalu besar untuk menunjukkan kasih sayang.

Beranjak bangkit, dia berjalan menuju sofa. Sengaja dia memilih kelas vip yang luas dan tenang. Hal yang dilakukan berikutnya adalah membuka ponsel, melihat kabar di beranda media sosialnya. Menunggu hingga Aksa bangun. Namun, kenyataan dia justru terlelap setelah beberapa menit membuka layar.

Aksa tersadar dan memandangi langit-langit kamar. Aroma obat-obatan menguar dan dia mencoba menggerakkan tubuh, melihat punggung tangannya sudah tertempel jarum infus dan selang oksigen di hidung. Kepalanya masih pusing, tubuh juga lemas tak bertenaga. Badannya tak kalah sakit, entah oleh apa.

"Gue pikir sudah di surga."

Aksa menoleh ke arah sofa, mendapati Arga tertidur dengan ponsel di tangan. Samar-samar ingatannya berputar di antara kondisinya yang setengah sadar. Di mana kakaknya seperti berbicara padanya untuk menyudahi kegilaan. Sebuah permintaan maaf juga sempat didengar entah kapan atau mungkin dia hanya bermimpi saja. Entahlah. Yang jelas, Arga masih memiliki sedikit kepedulian.

"Kenapa lo harus pulang? Bukankah lo sudah bahagia dengan kehidupan baru lo? Sama seperti Ayah."

Ah, lagi-lagi ucapan kakaknya tempo hari terngiang di kepalanya. Benarkah Arga memutuskan pulang karena telepon terakhirnya? Terkadang dia tak paham, mengapa kakaknya masih berhubungan dengan ibu dan tidak langsung memutuskan kontak atau menghilang begitu saja. Tanpa kabar. Bukankah akan lebih mudah baginya? Atau dia memiliki alasan yang lain dan itu dirinya. Entahlah. Dia pusing memikirkan dan memilih kembali memejamkan mata. Beberapa hari lagi dia harus sembuh dan menerima semua ocehan atau omelan yang akan mengisi hari-harinya yang sempat sepi. Atau lebih baik jika dia kabur saja? Persetan dengan kakaknya yang mendadak peduli.

"Padahal dulu gue berpikir untuk bercerita banyak hal ketika lo pulang, tapi sekarang ... untuk berbicara dengan lo, rasanya enggan."

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Arga masih belum bangun. Dia berpikir, mungkin saja selama dia tak pulang. Lelaki berkulit kuning langsat itu sudah mencarinya menyebabkan kurang tidur. Ah, kenapa dia jadi kepikiran. Untuk apa dia memikirkan sejauh itu.

Tak lama, Arga bangun dan mendekat melihat Aksa sudah sadar.

"Bagaimana? Apa masih demam?" Arga merutuki kebodohannya yang spontan memegang dahi Aksa. Bukankah dia tahu sendiri, semalam suhu tubuh sudah turun setelah diberi penanganan. "Syukurlah, nyawamu sudah kembali."

Ucapan Arga membuat Aksa mengalihkan pandangan. Dia tak tahu bagaimana bersikap kepada kakaknya yang jelas menunjukkan kasih sayang.

***

Hari berlalu dan kondisi Aksa semakin membaik. Siang ini dia sudah diperbolehkan pulang. Sejak tadi Arga sibuk mengurusi pembayaran dan baru muncul setelah hampir satu jam sejak pamit pergi. Tak lupa dia membawa kursi roda, meminta adiknya duduk sampai di lobi.

"Gak usah. Gue masih kuat."

Arga tak marah meski niat baiknya ditolak. Dia hanya cemas jika memdadak adiknya pingsan saja. Saat mereka berjalan beriringan, dia baru sadar jika kalah tinggi.

"Berapa tinggimu?"

"Yang jelas lebih tinggi dari lo." Sampai di sini, Aksa belum bisa bersikap sopan, tapi Arga tak mempermasalahkan. Mau menjawab pertanyaan tanpa melibatkan urat itu sudah lebih dari cukup.

Begitu tiba di lobi, Arga menyuruh adiknya menunggu sementara dirinya mengambil mobil. Tak lama dia sudah datang. Berniat membukakakn pintu mendapat penolakan.

"Gak usah. Membuka pintu mobil tak akan membuatku pingsan."

Sepanjang perjalanan, Arga berulang kali mencuri lihat. Jujur, dia ingin bertanya banyak hal, tapi adiknya tak akan semudah itu buka suara. Apalagi mendengar cerita jika Aksa berubah sejak kematian sang ibu menjadi pendiam dan pemurung. Namun, dia sendiri tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Rasanya begitu canggung dan jauh.

"Seharusnya aku membawamu ke psikiater." Ah, ini bukan pembuka percakapan yang baik. Yang ada menimbulkan pertengkaran. Mulut Arga memang terkadang tidak bisa diajak kompromi sekedar basa-basi dan langsung to the point. Walau tak ada salahnya menunjukkan kepedulian pada keluarga sendiri.

"Gak perlu. Gue gak pa-pa."

"Gak ada orang gak pa-pa yang mabuk setiap malam." Arga membungkam Aksa yang seketika terdiam. "Menjadi dewasa tak menyenangkan, ya?" Ah, pembicaraan macam apa ini? Seharusnya dia membicarakan hal ringan yang mengundang gelak tawa, bukan seperti ini.

Aksa yang sedari tadi menatap ke depan, mengalihkan pandangan. "Bukan dewasa yang menakutkan, tapi keadaan yang menuntut lebih saat gue belum memiliki bekal apa-apa." Aksa menunduk. "Lo gak akan tahu rasanya, karena lo pernah menggenggam semuanya."

Arga paham apa yang dimaksud Arga. Tentu saja karena dirinya pernah mendapatkan semua kasih sayang ibu dan ayah, berbeda dengan Aksa yang merasakan pahitnya menjadi anak broken home saat masih membutuhkan hangat dekapan. "Mungkin memang benar yang kamu katakan, tapi ada kalanya genggaman itu menyakiti. Justru dirimu yang hebat. Tanpa bekal apapun, kamu bisa melewatinya sampai sekarang, tidak sepertiku yang memilih lari dan sembunyi."

"Gak usah banyak memuji jika cuma untuk meminta gue kembali ke sekolah lalu pergi lagi."

Arga menghela napas panjang. "Apa kamu tak mendengarkan ucapanku kemarin? Aku sudah keluar dari pekerjaan dan akan di sini sampai seterusnya. Apa kamu senang?"

Pertanyaan Arga membuat ingatan Aksa kembali saat mendapatkan pertanyaan serupa waktu kanak-kanak. Dia akan langsung memberikan sebuah pelukan dan menjawab tanpa keraguan 'Ya, Aksa senang', tapi sekarang dia merasa sudah terlalu besar untuk melakukan hal yang sama.

"Kenapa tak memelukku? Bukankah kamu sudah menunggu sangat lama?"

Aksa mengalihkan pandangan, tapi Arga bisa melihat senyum tipis dari pantulan kaca.




Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz