"Kamu juga nggak mau ngerti gimana perasaan saya."

Rifa berdecak, meringkuk sambil memeluk lutut. "Coba aja kita nggak pernah nikah. Pasti sekarang saya masih aman-aman aja pacaran sama Abian," ujarnya menyesal.

Jujur saja, Raka cukup sakit mendengar penuturan Rifa. Namun, sekali lagi ia harus sadar bahwasanya perasaan suka itu tidak bisa dipaksa. Raka mafhum kalau tidak mudah bagi Rifa menerima semuanya. Wajar, kalau gadis itu galau memikirkan cowok yang selama ini ditaksirnya.

"Kak Raka?" panggil Rifa.

Raka mengangkat wajah, menatap Rifa. "Iya, kenapa?"

"Kak Raka pernah jatuh cinta?"

Raka mengernyit, "pertanyaan macam apa itu? Ya, jelas lah saya pernah jatuh cinta."

"Gimana rasanya?"

Raka berdehem, menatap kosong ke depan. "Ketika saya jatuh cinta, yang saya rasakan hanyalah ketakutan. Takut kalau saya akan menyakiti dia, takut kalau dia tidak bahagia bersama saya. Takut kalau ada orang lain yang jauh menyayangi dia dibandingkan saya. Dan rasa takut yang paling besar adalah.... " Ia menoleh pada Rifa, memandang gadis itu dalam-dalam. "Saya takut sekali kehilangan kamu. Seperti saya kehilangan, Dita."

"Itu yang saya rasain, Kak. Saya takut kehilangan Abian. Saya takut break ini bakal berakhir dengan kata putus yang bikin saya berjarak sangat jauh sama Abian."

"Aneh." Rifa menggeleng cepat menepis segala pikirannya. "Saya nggak abis pikir, kenapa Kak Raka bisa suka sama saya? Sementara Kak Raka tahu sendiri kita itu dua pribadi yang jauh berbeda. Kita dua orang yang saling bertolak belakang dalam hal apa pun."

"Cinta itu nggak harus karena kesamaan, Fa. Justru saya suka kamu karena kita banyak perbedaan. Rasanya nggak monoton."

"Tapi ... sejak kapan?"

Raka menggeleng, "entahlah. Saya juga bingung sejak kapan saya mulai tertarik sama kamu. Tapi yang saya tahu, saya cemburu melihat kedekatan kamu dengan Abian di pasar malam waktu itu."

"Dan Kak Raka juga tau, kan, kalau cinta itu nggak bisa dipaksa?"

"Tapi masih bisa saya usahakan."

"Mau sampai kapan?" tanya Rifa.

"Sampai kamu nemuin laki-laki yang bisa membahagiakan kamu."

"Setelah itu Kak Raka bakal berhenti berjuang buat saya?"

"Saya hanya berusaha membuat kamu bahagia dalam perjalanan. Perihal dengan siapa nantinya kamu akan bahagia, itu pilihan kamu. Dan saat kamu sudah memilih, saat itu pula saya harus ikhlas melepaskan kamu."

Rifa beringsut ke sisi ranjang, menjulurkan kakinya. Sekarang mereka duduk berhadapan, saling tatap satu sama lain. Mata Rifa berkaca-kaca. "Kenapa orang setulus Kak Raka, harus jatuh cinta sama saya?"

"Karena nggak pernah ada pilihan dalam hal sama siapa kita akan jatuh cinta, Fa. Bahkan seorang manusia bisa jatuh cinta sama patung yang nggak bernyawa," tuturnya. "Sekarang lebih baik kamu tidur, besok sekolah."

"Kak Raka nggak mau ajak saya jalan, gitu"

Raka menoleh jam dinding. "Selarut ini?" ia menggeleng. "Besok kamu harus sekolah, lebih baik tidur daripada besok ngantuk."

"Mau ngajak saya jalan, atau saya ajak Udin jalan? Dia masih belum tidur loh jam segini."

"Ambil jaket kamu, biar nggak dingin di jalan." Raka dengan cepat menyambar kunci motornya.

Rifa mengulum senyum melihat wajah Raka yang seketika berubah ketika dirinya menyebut nama Udin. "Masa sama Udin juga cemburu sih, Kak?"

"Berisik, kamu."

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora