23. Enigma

2.7K 247 65
                                    

Hujan yang tetiba saja turun begitu derasnya membuat kami terpaksa menginap di mansion yang aku ketahui pemiliknya adalah nenek buyut keluarga Park.

Aku juga baru tahu bahwa Sunghoon dan Jay itu saudara sepupu dari figura foto keluarga yang berderet di tangga menuju lantai ketiga.

Tak ada yang aneh. Tapi aku selalu terpaku pada satu figur dimana ada beberapa bingkai foto dimana Jay terlihat terduduk di kursi roda.

"Apa Jay pernah mengalami cidera?" Tanyaku pada Sunghoon yang berjalan disampingku sementara Jay dan Jake masih berada di lantai bawah menyiapkan makan malam.

"Yah dia sejak kecil terlalu aktif jadi seringkali patah tulang." Katanya yang terasa janggal. Mengapa patah tulang bisa berulang kali?

Aku melihat Jay kecil dan remaja terduduk di kursi roda. Dan ada ia yang seperti biasanya. "Apa mansion ini adalah markas lain kalian?" Tanyaku sesaat tak melihat satu pelayan pun hanya penjaga di depan gerbang saja yang sempat kulihat tadi.

"Begitulah." Sunghoon terdengar enggan dan menghela nafas. "Kau istirahat ya. Nanti aku panggil jika makan malamnya sudah selesai." Sambungnya setelah membuka pintu kamar yang akan aku tempati.

Aku mengangguk dan ia mengusak puncak kepalaku sesaat sebelum turun ke bawah. Tapi bukannya masuk ke dalam kamar aku lebih memilih mengitari sekitar lantai tiga.

Meski tak ada pelayan namun mansion ini terawat bersih yang mungkin keluarga mereka menyewa pelayan untuk membersihkan tanpa harus menginap. Sampai aku terpekur mendapati satu figura foto Sunghoon dan Jay kecil yang terlihat menggemaskan membuatku tertawa.

Lucu sekali. Mereka terlihat polos dengan kedua pipi gembil yang kemerahan saling berpelukan.

Kemudian terhenyak saat melihat satu figura foto lain dimana Jay kecil yang begitu kurus terduduk di kursi roda sambil memeluk boneka. "Jay-ya.."

Aku prihatin dan mengelus foto itu lamat. Bagaimana bisa saat kecil dulu ia tampak serapuh ini?

Lantas terduduk di kursi duduk piano yang terbuka dan aku karna bosan pun mulai memainkan tuts piano yang sempat dulu ibu ajarkan saat kecil.

"Kau ternyata bisa main piano?" Jake mendekat dan duduk di sampingku membuatku terkesiap berhenti menatapnya, "Makan malamnya sudah siap." Katanya dan melanjutkan permainan pianoku.

"Kau tahu lagu itu?" Tanyaku heran.

"Tentu saja. Ayahku sering memainkan lagu ini."

Aku diam, ibu pernah bilang bahwa ini lagu yang ia punya dan rangkai sendiri sejak gadis dulu.

Ia tersenyum dan aku merasa waktu berhenti bergulir hanya bagaimana Jake bermain piano sambil tersenyum ke arahku. "EHEM!!"

Suara dehaman keras terdengar membuatku terkesiap menatap ke asal suara dimana Sunghoon tampak memberenggut kesal. "Ayo turunlah! Aku dan Jay sudah lapar."

"Iya, iya." Aku segera beranjak di ikuti oleh Jake. Sunghoon segera mengamit satu tanganku dan Jake sudah berjalan lebih dulu.

Jay terlihat sibuk menata meja makan dengan celemek yang baru kutahu bahwa ia ternyata pintar masak seperti ini, "Kau yang memasak semua ini?"

"Kami berdua." Sahut Jake.

Jay berdecak, "Kau hanya merecokiku." Decihnya dan memberiku lauk pauk yang banyak di atas piring.

"I-ini terlalu banyak Jay."

"Makan." Titahnya seperti ibu yang galak.

Aku pun mulai makan sama seperti yang lainnya. Sampai setelah makan dengan hebohnya Sunghoon mengajak berkumpul di ruang keluarga untuk menonton film horor.

Yah memang sih aku suka film horor. Tapi keadaannya dalam mansion sepi yang hanya ada kami berempat memberi kesan lain membuatku menghimpit semakin dekat pada Jay.

Ia memeluk bahuku membuatku leluasa bersandar pada dadanya dan mendengar degup jantungnya sampai baru saja film berjalan hampir setengah jalan aku malah tertidur.

Sayup dalam setengah sadarku Jay mengangkat tubuhku dan membaringkanku di atas ranjangnya, "Mau sampai kapan kau seperti ini Jay?"

"Jangan bicara disini Hoon."

"Kau dan Heeseung apa masih--"

"Kita bicara di luar."

Pintu tertutup dan aku perlahan membuka mataku dengan pikiran penuh segala praduga. Apa hubungan Jay dan Heeseung?

Aku terduduk dan mencoba mengingat setiap cerita Heeseung tentang semua temannya yang berujung pada Jay tapi tidak ada yang berhubungan.

"Ah sial." Aku mengusak suraiku dan memilih kembali tidur dengan merubah segala macam posisi tidurku agar kembali tertidur.

"Aku memiliki teman sejak kecil. Dia meski aneh tapi aku suka berteman dengannya dulu."

"Aneh bagaimana?"

"Dia terkadang memakai kursi roda tapi di lain waktu ia akan berjalan tanpa kursi roda."

"Mungkin dia sakit Sung."

"Yah katanya ceroboh. Sering jatuh dan patah tulang, tapi apa harus sesering itu?"

Tetiba saja konversasiku dulu bersama Heeseung di beranda rumah saat musim panas memenuhi kepalaku.

Apa teman kecilnya yang Heeseung maksud dulu adalah Jay?

Aku segera beranjak keluar dan mengamati kembali figura foto tadi di dekat piano. Mengamati foto itu sampai terdiam tercenung saat dalam foto yang memeluk boneka itu tanpa tanda lahir di leher yang Jay punyai.

"Kenapa mengamati foto kecilku seperti itu Bella?" Tanya Jay yang ntah sejak kapan ada di dekatku membuatku terkesiap.

Ia mengambil foto figura itu dan menyimpannya. "Kau menyukai foto masa kecilku?" Tanyanya dan aku sedikit gemetar melirik foto lain dimana Jay dan Sunghoon saling berpelukan.

Itu tak memberikanku sudut yang memperlihatkan leher Jay, "Kau punya tanda lahir sejak kapan?"

"Ah ini?" Jay mengusap lehernya sesaat, "Ini bukan tanda lahir Bella. Pernah terluka jadi seperti tanda lahir." Katanya yang kubalas berupa anggukkan.

Tapi selama malam panasku dengan Jay. Aku bisa tahu setiap inchi kulitnya dan tahu bahwa itu adalah tanda lahir miliknya.

"Ayo tidurlah lagi." Ajaknya menarik tanganku kembali ke dalam kamar, "Kenapa terbangun?"

"Haus." Kilahku.

"Bayimu kehausan?" Katanya pelan setelah berada di dalam kamar seolah tak ingin ada siapapun yang mendengar.

"Mungkin." Lirihku mengusap perutku sesaat dan Jay berlutut tanpa kuduga yang kemudian menyentuh perutku, "Aku memang bukan ayah biologisnya tapi aku akan menjadi ayah terbaik untuknya Bella."

"Dia anakmu Jay."

Jay menghela nafas, "Aku sedang tak ingin bertengkar." Katanya lantas beranjak berdiri kembali. "Tunggulah, aku buatkan susu coklat."

"Tak perlu, aku sudah kenyang." Tolakku segera membaringkan tubuhku di atas ranjang yang Jay ikuti.

Kami berbaring berhadapan dan saling menatap sampai Jay mendekat mengikis jarak menciumku. Aku membalas ciumannya sampai kebutuhan oksigen membuat kami saling melepaskan diri.

Suara gemericik hujan yang bergemericik membuatku terenggah menatapnya sayu, "Jay-ya.." []

FRACTEDWhere stories live. Discover now