Chapter #26

3.7K 441 41
                                    

Setelah beberapa Minggu berlalu, semenjak kejadian Tuan Rayzan mengetahui Sultan ingin mencoba melecehkan istrinya. Sampai saat ini Tuan Rayzan sama sekali tidak berkomunikasi dengan sang adik.

Pria itu lebih fokus kepada istrinya, apalagi kandungan Kanza sudah menginjak lima bulan. Bahkan Tuan Rayzan mulai jarang ke kantor karena ia lebih memilih untuk menemani istrinya di rumah.

Hari demi hari mereka lalui, tepat pada hari Senin. Pasangan suami istri yang tengah berbahagia itu sedang berada di rumah sakit. Mereka berdua sama-sama tidak sabar untuk menantikan kehadiran anak pertama mereka.

"Sejauh ini kandungan ibu Kanza sangat baik sekali."

"Kapan istri saya melahirkan dokter?"

Plak!

Di bawah sana, tepat pada pahanya Tuan Rayzan mendapatkan pukulan kecil dari istrinya. Kanza tersenyum kepada dokter, sungguh pertanyaan dari Tuan Rayzan sungguh aneh.

"Masih lama pak."

"Tidak bisa dipercepat?" tanya Tuan Rayzan.

"Abang jangan bercanda dong. Kebiasaan nih."

"Abang tidak bercanda Kanza."

"Pak Ray sudah tidak sabar ya?" tanya dokter.

"Iya dokter. Saya sudah tidak sabar, begitu anak saya lahir dia langsung panggil ayahnya."

Bukan Kanza saja, bahkan dokter itu hendak tertawa mendengar perkataan dari Tuan Rayzan

Tuan Rayzan sadar dengan ucapannya, namanya juga sedang berbahagia. Dia pun membayangkan semua tentang hal-hal yang indah bersama anak dan istrinya nanti.

Kanza dan Tuan Rayzan pulang, sebelum itu terlebih dahulu mereka menuju pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu. Itu adalah keinginannya Tuan Rayzan.

Sesampainya di sana, mereka segera berkeliling di dalam mall. Namun satu pun belum ada yang mereka beli.

"Kamu capek?" tanya Tuan Rayzan.

"Enggak," jawab Kanza.

"Sampai keringatan gini lagi."

Tuan Rayzan mengusap dahi Kanza yang berkeringat.

"Kalau kamu capek. Abang antar kamu ke mobil. Kamu tunggu di sana."

"Enggak, abang," ucap Kanza. "Emangnya abang mau beli apa?"

"Mau beli makanan. Hari ini kita ke panti."

"Owh, sekalian belikan baju, bang."

"Kamu mau baju?" tanya Tuan Rayzan.

"Bukan buat Kanza, bang. Tapi buat anak-anak."

"Boleh. Nanti kita belikan."

Mereka terus berjalan, dari bawah hingga ke atas menaiki eskalator. Tuan Rayzan belum juga membeli apapun. Ia masih melihat-lihat apa yang cocok untuk anak-anaknya di panti asuhan.

Kini keduanya sedang berada di depan lift untuk menunggu bilik berjalan itu terbuka. Tuan Rayzan memposisikan satu kakinya untuk Kanza duduki, karena ia tidak akan membiarkan istrinya lelah berdiri.

Tuan Rayzan Untuk Kanza | [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now